ISLAM DAN TAMADDUN MELAYU PADA MASA KERAJAAN MALAKA
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang kerajaan Malaka sangatlah menarik karena membahas kerajaan yang cukup tenar di bumi melayu khususnya di riau bahkan di negeri seberang (Malaisia dan singapura). Kerajaan malaka ini di dirikan oleh Parameswara, seorang raja keturunan Sriwijaya yang melarikan diri setelah kerajaan Sriwijaya runtuh.[1]dan pada awalnya Melaka bukanlah sebuah kerajaan islam, Melaka berubah menjadi kerajaan islam pada tahun 1409.[2] apabila Parameswara menikah dengan puteri dari pasai dan ia masuk islam. Ia mewarisi kepandaian politik dan karisma yang besar sehingga di waktu pelariannya itu, ia masih mendapat penghormatan dan dukungan dari tempat-tempat yang ia lalui. Setelah diusir dari Palemban
Parameswara pergi ke Tumasik (Singapura) dan berhasil membunuh rajanya. Ia menjadi raja di sana untuk beberapa tahun sebelum mendirikan Malaka. Tome Pires mengatakan ini menjadi pengalaman dan intrik politik secara alami untuk akhirnya bisa menjadi seorang penggagas sebuah kerajaan.[3]
Dan kerjaan malaka mengalami kemajuan atau kegemilangan pada kemuncak zaman kegemilangannya. Pada tahun 1459, Sultan Mansur Shah (1459 - 1477) menaiki takhta dan Pemerintahan Sultan Mahmud Shah juga mengalami rancangan jahat dan ketidakadilan. Beliau bukan seorang raja yang cakap, akan tetapi beliau juga seorang korban keadaan. Ayahandanya (Sultan Alaudin Riayat Shah) mangkat pada usia yang masih muda. Oleh karena itu baginda menaiki takhta ketika masih kanak-kanak. Portugis pada awal abad ke-16 sedang melancarkan imperialisme ke luar negeri. Malaka ditaklukan oleh Portugis pada 24 Agustus 1511.
B. Letak Geografis
Negeri Malaka terletak di pantai barat semenanjung Malaysia, luas wilayahnya 1.657 km², panjang dari utara ke selatan 40 km² dan dari barat ke timur 69 km². Malaka bersebelahan dengan negeri tetangga. Di sebelah utara negeri Sembilan dan Johor di sebelah selatan. Tanahnya subur ditanami padi dan karet. Terdapat sungai Kesang, sungai Malaka dan sungai Linggi yang merupakan sungai terpenting di Malaka. Dan Malaka merupakan selat terpanjang di dunia. Selat Malaka di masa kejayaannya merupakan salah satu perairan tersibuk di dunia. [4]
C. Asal-Mula Kerajaan Malaka
Malaka didirikan oleh Parameswara, seorang raja keturunan Sriwijaya yang melarikan diri setelah kerajaan Sriwijaya runtuh.[5]dan pada awalnya Melaka bukanlah sebuah kerajaan islam, Melaka berubah menjadi kerajaan islam pada tahun 1409[6] apabila Parameswara menikah dengan puteri dari pasai dan ia masuk islam. Ia mewarisi kepandaian politik dan karisma yang besar sehingga di waktu pelariannya itu, ia masih mendapat penghormatan dan dukungan dari tempat-tempat yang ia lalui. Setelah diusir dari Palembang, Parameswara pergi ke Tumasik (Singapura) dan berhasil membunuh rajanya. Ia menjadi raja di sana untuk beberapa tahun sebelum mendirikan Malaka. Tome Pires mengatakan ini menjadi pengalaman dan intrik politik secara alami untuk akhirnya bisa menjadi seorang penggagas sebuah kerajaan.[7]
Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli.[8]
Kemudian, bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah. Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki. Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah Melayu ( Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir pantai. Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka.[9]
D. Peranan Hang Tuah dalam Kerajaan Melaka.
Peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar. Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina. Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat.[10]
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki semboyan berikut.
1. Esa hilang dua terbilang
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.
Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.[11]
E. Malaka sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab.
Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak berkembang. Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. apa bila proses islamisasi mendasarkan informasi sejarah melayu dan beberapa sumber lainnya, maka berkesan bahwa konversi kepada islam berawal dari seseorang sultan, barulah kemudian ke kalangan elite penguasa lainnya dan seterusnya perintahkan kepada rakyat untuk menerimanya. ini memperlihatkan islam tersebar dari atas kebawah. kesan seperti itu ada benarnya, namun tidak berlaku terhadap semua model-model islamisasi lainnya. sebelum seorang raja diislamkan, lebih dahulu banyak masyarakat yang telah muslim, terutama melalui jasa pedagang muslim, ulama dan guru-guru agama yang secara persuasive bertemu mereka. bahkan perlak, aceh, rakyatnya yang bersepakat mengangkat seorang raja pemimpin yang seiman dengan mereka, sebagai perkampungan islam pertama abad ke 9 atau 10 M. tidak salah apabila Syed Husein Al-Attas perpendapat bahwa “pengislaman di asia tenggara bermula dari bawah yaitu dari daripada masyarakat ke istana.[12] dengan demikian sejarah melayu terlalu kentara mengagungkan raja, bahkan baginda dikatakan menerima islam langsung dari nabi Muhammad, melalui mimpi. sementara yang menerimanya dari manusia biasa yaitu ulama-ulama dari arab, seperti fakir Muhammad di samudera pasai dan maulana Abdul Azis di malaka.[13]
islamisasi dimalaka semakin insentif dan mengalami kemajuan yang berarti di tangan kesultanan Melaka. islam disebarkan keseluruh wilayah kekuasaannya, mulai Pahang, trengganu, Kelantan, selat malaka, rokan, Kampar, siak, riau-lingga dan Indragiri. penyebaran cara ini mendapat penilaian negative dari sarjana barat. bahkan Melaka dikatakan menyebarkan islam secara kejam dan paksa.
Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam. Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antar keluarga. Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan). [14]
F. Kejayaan dan Kegemilangan Kesultanan Melaka
Kebesaran Malaka dalam waktu yang relatif singkat merupakan fakta sejarah yang mengagumkan. Dalam masa beberapa generasi Malaka telah tumbuh sebagai wilayah perdagangan internasional. Disamping itu Malaka juga sebagai tempat terpenting penyebaran agama Islam.[15] Pemerintahannya itu berkembang dengan pesat dan menjadi sebuah pelabuhan yang terpenting di Kepulauan Melayu pada abad ke-15 dan ke-16. Tambahan pula, Melaka merupakan tempat perdagangan rempah dengan berfungsi sebagai pintu kepada negeri-negeri rempah untuk memasarkan rempah mereka. Ini dapat digambarkan menerut Duarte Barbosa yang berkata, "Sesiapa yang menguasai Melaka, dia dapat menguasai perdagangan dunia" (He who is lord of Malacca has his hand on the throat of Venice.) Faktor-faktor yang menyumbang kepada Melaka menjadi sebuah negeri yang maju adalah karena pelabuhannya terlindung daripada ancaman Monsun Barat Daya dan Monsun Timur Laut. Pedagang-pedagang dari Jawa, Arab, India, China dan lain-lain dapat berlindung di Melaka sehingga selamat mereka seperti saat mereka datang. Semasa pemerintahan Parameswara, ramai orang Cina menetap di Melaka, berdekatan kawasan Bukit Cina yang mempunyai feng shui yang terbaik pada masa itu.
Kemudahan-kemudahan selat Melaka antara lain yang tidak langsung mendorong kemajuannya. pertama, kedudukan selat Melaka sebagai kawasan lalulintas diantara timur dengan barat. pada mulanya, Melaka serperti juga pelabuhan yang setaraf dengannya memainkan peranan sebagai pelabuhan transit bagi kapal-kapal yang berpulang-balik melalui selat Melaka. kedua, pengumpulan, penyaluran dan pertukaran barang-barang dagangan. ketiga, terdapat dua jenis angin monsoon yang menentukan panduan dan arah pergerakan kapal. dan yang keempat, kemudahan-kemudahan fiscal dan material yang disediakan dipelabuhan-pelabuhan entrepot oleh kerajaan-kerajaan melayu.[16] |
Melaka pada kemuncak zaman kegemilangannya. Pada tahun 1459, Sultan Mansur Shah (1459 - 1477) menaiki takhta. Disebabkan kedudukannya yang strategik, Melaka menjadi sebuah pangkalan luar yang penting bagi kapal-kapal hal ini mengeratkan hubungan diplomatik dengan Melaka, Maharaja China telah menganugerahkan anaknya Puteri Hang Li Po dengan tujuan untuk dikahwinkan dengan Sultan Mansur Shah. Untuk menyambut Hang Li Po, Sultan Mansur Shah juga menghantar Tun Perpatih Putih dengan segolongan pengiring ke negeri China untuk mengiringnya. Hang Li Po tiba di Melaka pada tahun 1458 bersama-sama 500 orang pengiring.
Salah satu kesan kebudayaan yang tertinggi dari peristiwa ini ialah wujudnya kelompok kaum Peranakan, yaitu hasil daripada perkawinan campur di antara pendatang Cina dengan penduduk tempatan. Kaum Peranakan ini juga dikenali sebagai orang Baba dan Nyonya pada hari ini.
Semasa pemerintahan Sultan Mansur Shah, empayar Melaka mencapai kemuncak kuasanya dan terdiri daripada Semenanjung Malaysia, Singapura, dan sebahagian besar Sumatera. Pesaing utama Melaka ialah Siam di utara dan Majapahit di selatan. Majapahit kemudiannya tumbang pada kurun ke-15. Siam pula telah menyerang Melaka sebanyak tiga kali tetapi kesemua cobaan serangan tersebut telah gagal.
Selepas Malaka muncul sebagai sebuah pusat perdagangan baru menggantikan Sriwijaya pada Abad ke-15, Malaka telah berjaya mencapai kejayaan yang lebih besar, terutama pada sektor perdagangan yang semakin berkembang pesat. Malaka telah muncul sebagai pemegang kekuasan terbesar di Kepulauan Tanah Melayu yang setaraf dengan kerajaan lain seperti Siam, Sriwijaya, dan China. Malaka yang pada mulanya merupakan sebuah kerajaan kecil telah berkembang dan mengambil alih peranan pusat perdagangan yang dulunya dipegang oleh Sriwijaya. Kejayaan Malaka telah menarik pedagang dari Sriwijaya tentunya hal ini telah mengangkat martabat Malaka ke tahap yang lebih tinggi karena pada zaman dahulu hanya kerajaan saja yang mampu untuk mengendalikan pusat perdagangan yang lengkap dan berupaya menyediakan kemudahan infrastruktur yang modern. Usaha usaha Malaka telah menyebabkan beberapa negeri yang dulunya berada di bawah kekuasaan kerajaan Siam dan Jawa telah meminta naungan dan perlindungan dari kekuasaan Malaka. Contoh negeri tersebut ialah seperti Bernam, Klang, Selangor, Sungai Ujung, Kedah, dan Patani yang secara sukarela datang mendapatkan nobat dari Malaka. Ketika Pasai yang merupakan ‘abang tua’ dalam perdagangan dan agama, mereka selalu ‘berkirim salam’ kepada Malaka. Bukti kemunculan Malaka sebagai satu kerajaan yang baru ialah Malaka telah dua kali berhasil menangkis serangan Siam dan akhirnya berhasil menguasai Kelantan, menjelang kurun ke-16 Malaka telah memutuskan hubungan dengan Siam. Hal ini menunjukkan Malaka bukan saja berhasil mencontoh kejayaan Sriwijaya dalam perdagangan tetapi juga dari segi perluasan wilayah. Kejayaan Malaka memainkan peranannya sebagai sebuah enterport baru dapat dilihat dalam tiga bentuk yaitu bertindak sebagai penerima atau pembeli barang-barang dagangan, menjadi perantara menemukan pedagang Timur dan Barat termasuk Nusantara, dan juga bertindak sebagai penyebar barang-barang yang dibawa ke Malaka ke tempat lain. Walaupun Malaka merupakan warisan Sriwijaya, namun pencapaian Malaka adalah berbeda daripada Sriwijaya karena Malaka merupakan tempat yang menjadi urat nadi baik dalam perdagangan maupun dalam menggerakan seluruh kegiatan pemerintahan dan rakyatnya hingga sekarang.
G. Runtuhnya Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1488, Sultan Mahmud Shah mewarisi Malaka yang telah mencapai puncak kejayaan dan merupakan pusat dagang yang unggul di Asia Tenggara. Bendahara Tun Perak, pencipta keunggulan Malaka, mulai beranjak tua. Begitu juga dengan Laksamana Hang Tuah. Pemerintahan Sultan Mahmud Shah juga mengalami rancangan jahat dan ketidakadilan. Beliau bukan seorang raja yang cakap, akan tetapi beliau juga seorang korban keadaan. Ayahandanya (Sultan Alaudin Riayat Shah) mangkat pada usia yang masih muda. Oleh karena itu baginda menaiki takhta ketika masih kanak-kanak. Portugis pada awal abad ke-16 sedang melancarkan imperialisme ke luar negeri. Malaka ditaklukan oleh Portugis pada 24 Agustus 1511. Dipimpin oleh angkatan perang Portugis Alfonso d’Albuquerque. Peperangan yang hanya berlangsung sekitar satu bulan, telah menaklukan kebesaran Malaka. Pasukan yang berperang bersama Alfonso d’Albuquerque terdiri dari 16 buah kapal dengan jumlah prajurit Portugis 800 orang dan 300 orang tentara bayaran dari India.
Setelah patah harang orang Melaka, Sultan Mahmud dan pengikutnya yang menurut sejarah melayu melepaskan diri (melarikan diri) dan mundur ke batu hampar, kawasan di pedalaman Melaka. dari sini, mereka ke hulu muar terus ke penarikan. dari penarikan mereka pergi kepahang untuk berlindung untuk sementara waktu. dari Pahang, baginda menyeberang selat bulang untuk mendarat dipulau bentan. disitu Kemudian, Sultan Mahmud Shah berpindah ke selatan dan mengasaskan Kesultanan Johor sebagai pusat dagangan saingan kepada Melaka. Dengan ibu kotanya di pulau Bentan yang terletaknya berdekatan dengan Temasik (Singapura), beliau terus menerima ufti dan kesetiaan dari kawasan-kawasan sekeliling yang diberinya sewaktu beliau masih menjadi Sultan Melaka. Sultan Mahmud Shah menjadi ketua gabungan Melayu dan berkali-kali menyerang Melaka. Pada tahun 1525, Laksamana Hang Nadim berjaya mengepung Kota A Famosa. Pada 1526, pihak Portugis membalas dengan seangkatan kapal yang besar di bawah Pedro Mascarenhaas dan memusnahkan ibu kota Bentan. Sultan Mahmud Shah melarikan diri ke Kampar (Riau). Tetapi anakandanya, Tengku Alauddin Shah tinggal dan mengembangkan Johor sebagai sebuah empayar yang berkuasa dan yang mencapai keunggulannya pada abad ke-18 dan ke-19. Seorang anakanda Sultan Mahmud Shah, Tengku Muzaffar Shah, dijemput oleh orang-orang utara untuk menjadi sultan mereka dan beliau mengasaskan Kesultanan Perak. Sultan Mahmud Shah mangkat dua tahun kemudian di Kampar pada tahun 1526.[17]
H. Bebarapa Raja atau Kesultanan Melaka yang pernah mangkat
1. Sultan Iskandar Syah ( 1338/1400-1414)
2. Sultan Megat Iskandar Shah (1414-1424)
3. Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4. Sultan Abu Syahid (1444-1445)
5. Sultan Muzaffar Syah (1445-1456)
6. Sultan Mansur Shah (1456-1477)
7. Sultan Alauddin Riayat Shah (1477-1488)
8. Sultan Mahmud Shah (1488-1511)
I. Wilayah Kekuasaan Melaka
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3.Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4. Brune dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).[18]
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1. Indragiri.
2. Palembang.
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.[19]
J. Masyarakat Melaka 1400-1500 M
Melaka sebagai pelabuhan entrepot tradisional melayu, tentunya banyak orang asing yang masuk kemelaka pada waktu itu. akibatnya, peranan sosiobudaya masyarakat asing yang datang mempengaruhi di Melaka, yang akhirnya meresap ke dalam berbagai bidang instituti pribumi dalam kehidupan sehari-hari. selain peranan mereka dalam kegitan ekonomi, telah dipencilkan begitu sahaja.[20] sejak terwujudnya institusi kesultanan, orang laut[21] yang sama-sama mengiringi parameswara meninggalkan singapura dan muar, telah diserapkan kedalam institusi ini. integrasi antara kelas melayu daripada kelangan diraja dan bangsawan dari Palembang ini dengan orang laut dan suku-sukunya, telah melahirkan perpaduan masyarakat yang sungguh kokoh.[22]kekokohan ini menjadi sumber tenaga yang sangat besar untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, politik, ketentaraan dan social pada tahap-tahap berikutnya.
Iskandar Syah yang didakwa liberal dan adil[23] telah menggalakan orang dan saudagar asing datang dan bertumpu di Melaka. maka terwujudlah masyarakat yang bercorak cosmopolitan- bukan kaum dan berbagai etnik dari nusantara saja, bahkan dari berbagai bangsa seperti china, india, dan parsi dan tentunya dari semenanjung arab. kehadiran berbagai bangsa dan suku kaum ini[24]menyebabkan munculnya 84 jenis bahasa yang dipertuturkan oleh anggota masyarakatnya. bahasa perantaraan mereka (lingua franca) tentulah bahsa melayu. bahasa melayu juga menjadi bahasa kebudayaan, kesusasteraan dan digunakan di istana dan diluar istana, bahasa resmi untuk surat menyurat dalam hubungan diplomatic Melaka dengan negeri-negeri asing.[25] kemunculan masyarakat yang sedemikian adalah karena kedudukan dan peranan sosio-ekonomi tradisional Melaka itu sendiri. dan dari sejarah melayu secara umum mendakwa, “ …maka negeri Melaka pun makin makmurlah lagi dengan ramainya”.[26]dari masa kemasa kemunculan berbagai jenis institusi kebudayaan dalam system pentadbiran, terdapat bukti yang menunjukan bahwa telah muncul golongan masyarakat yang mempunyai peranan tertentu dalam system kemasyarakatan. kelahiran golongan masyarakat inilah yang menyebabkan terwujudnya kelas-kelas dalam masyarakat. sebenarnya pengkelasan ini bukanlah tergantung pada cirri pemisah dan keranggangan anggota masyarakat dan perana social anggota tadi serta hak-hak keistimewaan yang dinikmati oleh individu. suasana seperti ini terjadi karena wujudnya sesuatu kelas masyarakat yang kaku dan terpisah jauh antara satu sama lain, tidak mungkin melahirkan sebuah masyarakat yang dinamik dan membangun dalam konteks perkembangan kebudayaan melayu sejak zaman awal lagi. suasana ini tentunya berbeda daripada bentuk masyarakat yang terdapat di negeri-nergeri melayu semenanjung selepas keruntuhan empayar Melaka itu.[27]
K. Undang-undang Melaka
Pengertian undang-undang Melaka, dilihat dari ilmu antropologi undang-undang dapat dilihat dari dua pendekatan yakni; pertama, undang-undang dilihat sebagai suatu system yang berfungsi. fungsi ini bergerak (operate) diberbagai-bagai peringkat dikalangan kelompok –kelompok masyarakat dan dengan berbagai cara pula. tujuan udang-undang yang paling asas atau mendasar adalah untuk menentukan peraturan Karena untuk menjaga dan mengawal keamanan dan keselarasan social serta keharmonisan masyarakat.[28] kedua, undang-undang dilihat sebagai suatu system yang berkonsep (conceptual system), adalah berbagai kategori system yang tersusun secara formal (formally organized system of categories).[29]
Sebagaimana yang pernah diajukan oleh Mac Gluckman bahwa undang-undang dalam rangka pengajian antropologi adalah merupakan suatu penegasan. undang-undang atau system perundangan adalah suatu cara (means) untuk menyelesaikan berbagai bentuk konflik dan kekecohan dalam masyarakat (antara sesama individu, di kalangan sesama kelompok atau antara individu dengan kelompok dengan system keadilan yang telah pun ditentukan dalam masyarakat tersebut).[30]
penduduk Melaka adalah bercorak cosmopolitan. bialangan bahasa yang dipertuturkan oleh penduduk ini berjumlah 84 semuanya.[31] penduduknya diperkirakan 190 000 orang menjelang kedatangan portugis[32] dengan diperkirakan jumlah hulu baling sekitar 100 000 orang.[33] oleh karena itu, sangat mustahil Melaka tidak mempunyai sebuah undang-undang atau seseuatu yang dapat mengawal tindak tanduk anggota masyarakatnya sama ada di Bandar atau kota Melaka itu sendiri, atau diluar malaka. undang-undang bertujuan untuk melahirkan sebuah masyarakat yang bersistem. tome pires, pelapor portugis sezaman yang lebih berminat pada keadaan ekonomi dan perdagangan Melaka, pernah juga menyebut tentang wujudnya the law of Malacca, yaitu unit kalimat yang rujukannya kepada organisasi system dan urusan perdagangan.[34]
Terdapat dua buah teks undang-undang tradisional di Melaka. teks yang pertama ialah hokum kanun malaka. ia dikenali juga sebagai undang-undang darat Melaka dan risalat hukum kanun. Konstitusi di kerajaan Malaka dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah konstitusi yang sejak awal menjadi tradisi dari kerajaan Palembang yang diterapkan oleh raja Malaka dengan para pembesar-pembesar yang sejak awal mengikutinya dan turut membangun Malaka. Kedua, Munculnya konstitusi baru (Undang-undang Malaka) yang disebabkan oleh kompleksnya keadaan sosial masyarakat Malaka, hal ini wajar dan memang umum terjadi di kerajaan manapun. Undang-undang Malaka disusun dan ditulis melalui tradisi lisan dan ingatan yang dimiliki oleh para menteri Malaka. Pada tahap tertentu, peraturan- peraturan yang sudah dituliskan dan didokumentasikan tidaklah berarti bahwa sasaran dan tujuan Undang-undang Malaka itu ‘wajib’ digunakan untuk semua permasalahan hukum. Ia hanya merupakan salah satu bukti eksplisit tentang hakikat adanya undang undang dalam sebuah kerajaan Melayu lama berdasarkan “...supaya jangan lagi bersalah adat segala hukum menterinya”. Ia hanya digunakan seperlunya, atau hanya menjadi kitab rujukan para hakim ketika hendak mengambil keputusan (untuk hukum-hukum Islam, untuk Bendahara, Laksamana dan Syahbandar; dan Penghulu Bendahari untuk undang-undang rakyat).
Undang-undang Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu :
1. Hukum Adat yang meliputi kebiasaan, moral, etika, peraturan-peraturan resmi (tidak tertulis)
2. Naskah dan dokumentasi Undang-undang tertulis
3. Undang-undang Islam
4. Titah Raja, patik, murka, karunia dan nugraha.
Bahwasanya Undang-Undang Malaka yang sebenarnya tidak mengacu pada Undang-Undang secara universal seperti halnya yang dibuat oleh negara-negara selain Malaka. Namun undang-undang Malaka mengacu pada masa kesultanan Malaka tidak lain adalah hukum adat itu sendiri Bukan itu saja, undang-undang di sini juga mengikutsertakan hukum syari’at Islam.
Sedangkan peran yang terbesar dalam manifestasi undang-undang adalah titah raja itu sendiri. Raja sebagai simbol kekuasaan tertinggi sekaligus sebagai sumber hukum yang mutlak, apapun yang diucapkannya merupakan undang- undang. Raja mempunyai hak mutlak. Adapun ucapan-ucapan raja terbagi menjadi lima. Pertama, titah, kedua patik, ketiga murka, keempat karunia, dan kelima nugraha.[35]
Raja dianggap sebagai “wakil” Tuhan di dunia yakni dzulillah fil’ard atau dzulillah fil’a’lam. Otoritas inilah yang secara emplisit menegaskan kuasa raja atas segala-galanya. Hal ini sebenarnya merupakan suatu sistem politik untuk mengekalkan status quo kerajaan. Di samping itu, hukum yang terangkum dalam Undang-undang Melaka ini dijelaskan mengikuti dan menurut hukum adat istiadat sejak zaman Sultan Iskandar Zulkarnain.[36]
Pengenalan status quo ini telihat dalam proses dan tujuannya. Hukum Kanun Malaka atau Undang-undang Malaka dibuat istana Malaka. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung untuk menyusun undang-undang tersebut ialah raja sendiri dan para pembesarnya. Rakyat jelata yang berada di luar istana mungkin tidak tahu tentang undang-undang tersebut. Begitu juga dengan raja-raja ‘lokal’ yang berada dalam wilayah taklukan Malaka mungkin tidak terlibat di dalamnya. Akan tetapi penggunaan undang-undang yang luas dan menyeluruh bagi semua wilayah kekuasaan kerajaan Malaka adalah suatu kewajiban.[37]
L. Fungsi Undang-Undang Malaka
Selain sebagai maksud politis di atas, Undang-undang Malaka juga mempunyai fungsi untuk penegakan hukum dalam kehidupan Malaka saat itu. Adalah wajar Malaka mempunyai undang-undang secara tertulis di tengah masyarakatnya yang terus berkembang. Menurut laporan Tome Pires (tahun 1512- 1515) Ketika Masa pemerintahan Kasultanan Muhamad Syah, jumlah bahasa yang digunakan oleh penduduk Malaka berjumlah 84. Penduduknya diperkirakan berjumlah sebanyak 190.000 orang menjelang kedatangan Portugis dengan jumlah hulubalangnya kurang lebih 100.000 orang. Jadi tidaklah heran jika Malaka mempunyai undang-undang yang diperuntukkan untuk mengatur kehidupan rakyatnya, baik di kota Malaka itu sendiri ataupun daerah-daerah yang berada di luar Malaka.[38]
Tujuan ditulisnya Undang-undang Malaka, selain sebagai hukum tertulis yang diperuntukkan untuk semua ‘anak negeri’, yang mengatur hukum pidana dan perdata, juga diperuntukkan untuk pengekalkan adat. Terutama dalam sistem Manajemen. Adat Melayu ini dikenal dengan Adat Temenggung, agar tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan adat-istiadat tersebut.
Adat Temenggung diyakini sebagai adat pertama yang perkenalkan di dunia Melayu, ia berasal dari Minangkabau, Sumatera. Adat ini mempunyai pengaruh agama Hindu-Budha dan ketika Islam datang adat Temenggung juga ikut kena pengaruhnya. Jika dibandingkan dengan adat Melayu yang lain, adat Temenggung adalah adat yang paling lengkap. Ia meliputi kesseluruhan aspek dalam kehidupan manusia. Terdapat dua hal terpenting dalam adat ini, pertama. sistem kekeluargaan dan sistem politik. Dalam adat perkawinan, adat Temenggung mengamalkan sistem perkawinan endogami yaitu perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang tidak melanggar hukum dan hanya boleh sama satu agama, yakni Islam. Dalam perkawinan ini banyak mengambil dari hukum Islam bermahzab Syafi’i. Dalam sistem waris, Adat Temenggung mengamalkan sistem dengan hukum Islam walaupun terdapat sedikit perbedaan pada masalah persenannya. Kedua, untuk soal politik. adat Temenggung meletakkan sistem autokrasi. Raja atau Sultan yang memerintah diberi kuasa penuh untuk menjalankan kekuasaan secara penuh dan mutlak. Konsep daulat dan durhaka menjadi bagian dari sistem ini. Dalam konsep ini rakyat tidak boleh mempersoalkan setiap keputusan raja atau sultan dalam hal apapun. Berbeda dengan adat Temenggung, ada adat Perpatih yang juga berasal dari Minangkabau. Perbedaannya dalam beberapa hal adalah adat Perpatih dalam konsep kekeluargaan lebih mengutamakan mashab atau keturunan dari sebelah ibu.[39]
Kekuatiran akan terjadinya kesilapan dan kekeliruan dalam pelaksanaan adat-istiadat kerajaan mungkin tidak merisaukan raja-raja Malaka, karena di sekeliling raja ada para menteri yang sudah sangat mengerti akan hal itu. Akan tetapi hukum adat raja diraja dirasa perlu untuk dimengerti semua rakyat agar tidak disalahgunakan. Hukum adat ini pada dasarnya untuk memperlihatkan wibawa raja-raja yang secara tegas harus dipisahkan dan diberi hak istimewa dari rakyat biasa. Karena raja adalah simbol yang harus ditaati.[40]
M. Manuskrip Undang-undang Malaka
Undang-undang Malaka terbagi dua bagian. Pertama, Undang-undang darat, yang sering disebut dengan Undang-undang Melaka, ia ditulis sebanyak 46 salinan dengan berbagai judul seperti Undang-undang Malaka, Undang-undang Negeri dan Pelayaran, Surat Undang-undang, Kitab Undang-undang, Undang- undang Melayu, Undang-undang Raja Malaka, Undang-undang Sultan Mahmud Syah, Kitab Hukum Kanun dan Surat Hukum Kanun. (Liaw Yock Fang 1976 :3)
Kedua, Undang-undang laut, atau juga dikenal sebagai Adat Pelayaran Melaka, Kitab Peraturan Pelayaran, dan Hukum Undang-undang Laut. [41]
N. Undang-Undang Malaka sebagai Alat Propaganda
Di tengah masyarakat yang majemuk dan menjadi bandar metropolitan, karena disingagahi oleh banyak saudagar asing, baik yang hanya ingin berdagang atau mengadu nasib di rantau ini, Malaka telah menjadi pelahuhan yang sangat ramai.[42] Pembauran budaya pun menjadi keniscayaan, baik lewat interaksi sosial sesama anggota masyarakat ataupun lewat hubungan perkawinan. Sultan Muhammad Syah misalnya mempunyai dua orang istri dari suku yang berbeda. Istri pertama beliau adalah Tun Wati, campuran Melayu-Tamil dan yang kedua berasal dari keturunan Melayu-Rokan, Sumatra.[43] Bentuk kerajaan dengan sistem warisan (seperti di Malaka), menurut Machiavelli akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang relatif lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan dan mitos yang terdapat pada masyarakat yang menghasilkan “kekuasaan ideologis” masih mudah didapati dan terus dimanfaatkan dan dilestarikan oleh penguasa. Keyakinan tentang legitimasi Tuhan, keturunan tokoh-tokoh yang hebat dan istimewa serta kewibawaan yang diturunkan langsung lewat garis keturunan melahirkan bentuk kekuasaan ideologis, yakni kekuasaan yang diperoleh dari gagasan (ide) yang datang dari kekuasaan kharismatik yang memiliki daya persuasi yang kuat. atau arketipe.[44] Rezim penguasa berkepentingan untuk terus menyakinkan rakyat bahwa rajanya adalah mempunyai kekuatan mukjizat. Dengan pola budaya protokoler yang ribet penguasa mendapatkan nilai kesucian, kewibawaan dan kemuliaan lewat jubah kebesarannya, ritual-ritual, upacara dan sebagainya. Upacara-upacara dan protokoler merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang sengaja dibuat untuk menciptakan jarak sosial dan dengan demikian akan menjaga kekuasaan kelas elit dengan rakyat biasa.[45] Untuk kepentingan ini, Undang-undang Malaka memberikan hak-hak istimewa kepada para penguasa.[46]
Ada beberapa Pasal-pasal dipengaruhi oleh hukum adat dan pengaruh Hindu-Budha. Warna kuning misalnya, mempunyai nilai yang tinggi, karena ia adalah wama emas, dimana dalam keyakinan agama Hindu-Budha emas mempunyai nilai sakral. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada raja merupakan salah satu instrument penguasa, hal tersebut di atas jelas merupakan dasar hukum yang kuat karena Undang-undang Malaka dibuat oleh elit penguasa. Sehingga secara dalam menjaga suatu susunan pemerintahan.. Undang-undang merupakan alat dalam mepropaganda satu kekuatan sistem kerajaan yang secara hukum kanun tetap berlangsung hingga akhir zaman. Dari propaganda tersebut dapat melahirkan satu kekuasaan ideologi sebagai hasil kemajuan secara intelektual. Namun ‘kekuasaan ideologi’ ini telah melahirkan konflik baru, bukan pada tataran penguasa versus rakyat tapi pada elit penguasa yang selama ini berlindung dan mengambil keuntungan dari pengaruh ideologi tersebut. Konflik elit ini justru menciptakan pola idialistis dimana kesetiaan rakyat-sebagai ‘korban ideologi’ justru dicari justifikasinya untuk mencari pembenaran lewat menghitam-putihkan” keyakinan ke dalam Undang-undang oleh segelintir elit penguasa yang berseteru menjadi hukum Kanun Malaka.
Undang-undang Malaka atau Hukum Kanun Malaka dianggap sebagai salah satu kemajuan peradaban intelektual terpenting temyata diawah oleh misi- misi politik tertentu yang boleh juga disebut sebagai mediator elit penguasa dengan dasar pembodohan mengatasnamakan keyakinan hakiki. Dengan demikian Undang-undang Malaka digunakan sebagai instrument penguasa untuk kekuasaan.
O. P E N U T U P
Pengungkapan kembali sejarah kerajaan Malaka dalam bentuk yang formal dalam ulasan tadi dalam bentuk penyamjian makalah dan oleh karenanya pemakalah dapat mengambl kesimpulan bahwa Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli.
Kemudian, bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah. Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki. Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah Melayu ( Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir pantai. Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka.
Dalam versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka berasal dari bahasa Arab Malqa, artinya tempat bertemu. Disebut demikian, karena di tempat inilah para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga. dan undang-undang merupakan skenario politik besar para elit penguasa untuk terus menanamkan sistem-sistem pemerintahan yang sudah berkembang di masyarakat, yang pada akhirnya bagaimana dapat mendominasi kekuasaan secara berkelanjutan, keperluan untuk mengungkapkan kembali sistem pemerintahan yang penuh intrik politik tentang, keyakinan-keyakinan masyarakat, bukan karena sistem kepercayaan sudah mulai luntur atau berkurang kualitasnya, tapi lebih kepada penjustifikasian baru elit penguasa yang berada dalam konflik internal terus menerus
Guna menyempurnakan makalah yang penuh dengan kekurang kami dari penulis membutuhkan kritik dan saran agar tersempurnanya makalah ini. Berinjak kepada pepatah tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada final dalam menuntut ilmu kecuali kematianlah yang menjemput.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manaf, Azmah. (2001). Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia; Kuala Lumpur. Lohprint SDN. BHD. Cet. Ke-1.
Ahmad, Kassim. (1975). Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur; Dewan Bahasan Pustaka.
Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP).
Fang, L. Y. (1976). Undang-undang Malaka; Biblioteca Indonesica 13. Koninkljk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde. The Hague. Martinus Nijhoff.
Hasim, Muhammad Yusoff. (1989). Kesultanan Melayu Melaka; Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran.
Mohamed, Mustafa Ali. (1987). Melaka, Selangor; Pelanduk publication.
Mahdini , (2002), Islam dan Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Daulat Riau.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kesultanan _Melayu_Melaka
[1] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP). hal 132.
[2] Pemerintah Pertama Melaka: Parameswara (1394-1414)". Sejarah Malaysia. Perpustakaan Negara Malaysia. 2000.
Atau http://sejarahmalaysia.pnm.my/portalBM/detail.php?section=sm01&spesifik_id=1&ttl_id=1. Retrieved 2009-01-22
[3] Ahmad, Kassim. (1975). Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur; Dewan Bahasa Pustaka. hal 87
[4] Mohamad, Mustafa Ali. (1987). Melaka, Selangor; Pelanduk publication. hal 2
[5] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP). hal, 132
[6] Pemerintah Pertama Melaka: Parameswara (1394-1414)". Sejarah Malaysia. Perpustakaan Negara Malaysia. 2000.
Atau http://sejarahmalaysia.pnm.my/portalBM/detail.php?section=sm01&spesifik_id=1&ttl_id=1. Retrieved 2009-01-22
[7] Ahmad, Kassim. (1975). Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur; Dewan Bahasan Pustaka hal. 87.
[8] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP). hal 182
[9] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP). hal 123
[10] Ahmad, Kassim. (1975). Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur; Dewan Bahasan Pustaka hal 56
[11] Ahmad, Kassim. (1975). Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur; Dewan Bahasan Pustaka. hal 71
[12] Syed Husein Al-Attas. “Archaelogy, History and Sosial Science in South East Asia”. dalam federation museums journal, jilid 9, hal. 23.
[13] Mahdini , (2002), Islam dan Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Daulat Riau. hal 75.
[14] Hasim, Muhammad Yusoff. (1989). Kesultanan Melayu Melaka; Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran. hal 97
[15] Winstedt (Winstedt,1940 : 78) dalam bukunya yang berjudul, A History of Malay Literature, mengatakan: Mendekati abad ke -15 orang-orang datang dari Nusantara ke Malaka untuk belajar teologi Islam seperti halnya pada permulaan dan pertengahan abad itu Malaka lebih dipilih daripada ke Samodra Pasai, Malaka adalah sebenar-benarnya Mekah, Sultan Mahmud berkata kepada bapaknya dan beberapa orang Jawa mencatat bahwa ada dua orang wali terkenal, Sunan Bonang dan Sunan Giri datang ke Malaka untuk belajar pada triwulan terakhir abad ke 15.
[16] Hasim, Muhammad Yusoff. (1989). Kesultanan Melayu Melaka; Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran. hal 236
[17] Hasim, Muhammad Yusoff. (1989). Kesultanan Melayu Melaka; Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran. Hal. 56
[18] http://ms.wikipedia.org/wiki/Kesultanan _Melayu_Melaka"
[19] http://ms.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Melayu_Melaka"
[20] suatu kajian pendahuluan yang khusus bertumpu kepada bentuk kelas dalam masyarakat pribumi Melaka dilakukan oleh Muhd. Yusoff Ibrahim, some observations on social classes during the Malacca sultanate, (1400-1511), dalam conference on the malay sultanate and culture, kertas kerja yang tidak diterbitkan, dewan bahasa dan pustaka, kuala lumpur, 1997.
[21] sering juga dikenali sebagai orang selat atau cellates (selat) dan seletar di kalangan pengembara barat. liaht paul Wheatley, op. cit., O.Wolters, the fall of srivijaya in malay history, kuala lumpur, 1970; L.Y Andaya, the kingdom of johor 1641-1728, kuala lumpur, 1975; C.A Gibson Hill, “the orang laut Singapore river and the sampan panjang”, dalam JMBRAS, 25, 1, 1952, hlm 161-174; J.V. Mills. op. cit., dan lain-lain. orang laut ini juga terdiri daripada berbagai-bagai puak dan suku.
[22] konsep kelas disini digunakan dengan artian yang longgar dengan merujuk pada peranan social dan politik serta factor milikikan ekonomi seseorang individu dalam masyarakat malaka. secara langsung ataupun sebaliknya, individu tadi sadar dalam kategori masyarakat yang diduduki. beberapa implikasi terhadap terwujudnya fenomena masyarakat ini boleh dilihat dengan penggunaan bahasa dan soal taraf anggota masyarakat Melaka sila lihat Liaw Yock Fang, op. cit., fasal 2:1, 7:1, 7:3, 8:1 dan lain-lain; rujuk muhd yusoff Ibrahim, op. cit., 8-8: lihat juga Muhammad yusuf hasim, Aspek in the social history of Malacca sultanate, 1400-1511, kertas kerja yang tidak diterbitkan, dibentangkan pada bengkel kesultanan dan kebudayaan melayu, ujung pandang, makasar, Indonesia 1978.
[23] untuk gambaran lanjut tentang perkara ini, silahkan rujuk rencana oleh Wang Gungwu dalam J. Bastin dan R. Roolvink, op. cit., 1964; dan penulisannya, “the first three rulers of Malacca”, op. cit., 1968; Armando Cortesao, op. cit., hlm 234-238; rencana hsu yun-tsiao yang bertajuk, :note on the relations to admiral cheng ho’s expedition” dalam JMBRAS, 40:1, 1967, hal 154-160; dan O.W Wolters, op. cit,. bab 7.
[24] A. Cortesao, hlm 269; menurut keterangan hervey, bahasa melayu juga menjadi bahasa perdagangan. lihat hervey, “ valentyn’s Accaunt,,,”, 1884, hlm 52-53.
[25] dalam sejarah melayu beberapa peristiwa berhubung dengan perkara ini kerap ditulis apabila Melaka menghantarkan utusan ke negeri asing seperti ke siam, china, brunei, jawa dan seterusnya. surat utusan dikatakan ditulis dalam bahasa melayu oleh bendahara Melaka sendiri di bawah naungan raja Melaka.lihat W.G Shellabear, passim.
[26] W.G Shellabear, hlm 82.
[27] lihat catatan oleh pengkaji seperti J.M Gullick dalam indigenous political system of westerm Malaya, London 1958, hlm 15-35, juga rencananya, “selangor 1876-1882; the bloomfield douglas diary”, dalam JMBRAS, 48, 2, 1975, hal 1-15; frank Swettenham, british Malaya, London, 1908; P.J Begbie, the Malayan peninsula…, kuala lumpur, 1967.
[28] Levi-Strauss, “social structure”, dalam A.L. Kroeber, (ed), Antropology Today (Chicago and London, 1953), hal 524-553.
[29] David S. Moyer, The Logic of laws (verhandelingen, the Hague, Matinus Nijhoff, 1965)hlm 258.
[30] Max Gluckman, the ideas in barites jurisprudence ( new haven and London, 1965), hlm 17-18.
[31] laporan tome pires dalam Armando corteseo (ed), the suma oriental of tome pires, vol 2 (London, the Hakluyt society, 1944), hlm 261. pires juga pernah melapor bahwa , “the have civil and criminal (jurisdicition) in their lands,,,”.
[32] disebut dalam sejarah melayu sebagai. “ … rakyat Melaka Sembilan belas laksa banyaknya yang didalam negeri juga”. (selaksa = 10 000). 19 x 10 000 = 190 000.
[33] D.F.A. Hervey, “Valentyn’s description of Malacca”, dalam JMBRAS, No 16, 1884, Hlm 301; E. Koek, “Portuguese Hostory of Malacca”. dalam JMBRAS, No 17, hlm 117-138.
[34] Armando Corteseo, op. cit., hlm 257.
[35] Sebagaimana terdapat dalam pasal 2.1 Undang-undang Malaka yang berbunyi:
“ Pasal yang kedua menyatakan hukum bahasa segala raja-raja itu perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini melainkan dengan titah tuan kita juga maka dapat. Pertama titah, kedua patik dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada dapat dikatakan oleh kita sekalian. Adapun berpatik dan bertitah dan murka itu dan karunia itu tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan bahasa itu tertentulah kepada raja-raja juga...“. (Liaw Yock Fang,1976:64)
[36] . Pasal 0.1 menyebutkan:
“...Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan adat ini turun temurun daripada zaman Sultan Iskandar Dzulkarnain yang memerintahkan segala manusia... “.(Mohamed, Mustafa Ali. 1987 : 112).
[37] Pasal 44:11 menyebutkan:
“ Undang-undang Melayu yang dititahkan Duli Yang Dipertuan yang tersurat diatas ini, dilimpahkan kepada segala negeri, dari suatu negeri kepada suatu negeri, daripada suatu dusun kepada suatu dusun daripada suatu teluk kepada suatu teluk, dari pada suatu anak sungai kepada anak sungai sekalian“.(UU.Malaka,44:11)
Dari pasal 44:11 mengandung maksud bahwa undang -undang Malaka dibuat dan dituliskan untuk bisa disebarluaskan dari segala penjuru negeri sampai kepelososk-pelosok negeri. Undang-undang tersebut agar dapat dilaksanakan dan dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari pada rakyat segala negeri dengan segala peraturan perundang-undangannya sesuai isi yang tersurat dan tersirat pada kitab undang-undang tersebut. (Fang, L.Y, 1976:175).
[38] laporan tome pires dalam Armando corteseo (ed) 1944, the suma oriental of tome pires, vol 2 (London, the Hakluyt society, 1944), hlm 261. pires juga pernah melapor bahwa , “the have civil and criminal (jurisdicition) in their lands,,,”.
[39] Keterangan lebih lengkap lihat Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia (Azmah Abdul Manaf, 2001: 187-197 ).
[40] Dalam bahasa Melayu harus “disembah”. Disebutkan dalam pasal 1.1:
Pasal yang pertama pada menyatakan adat majelis segala raja-raja dan pakaian segala raja-raja segala larangan raja-raja itu, maka dipakai oleh rakyat. Ketahuilah olehmu bahwa tiada harus memakai seperti kekuningan dan kepada segala orang besar-besar sekalipun, jikalau tiada dengan anugraha raja-raja, maka iaitu dibunuh hukumnya. Dan demikian lagi tiada dapat memakai kain yang nipis berbayang-hayang seperli khasa (h) pada balai raja-raja atau pada pagar raja itu melainkan dengan kurnia titah raja atau diluar boleh dipakai. Jikalau lain dan pada itu niscaya dicarikan atau ditolakkan hukumnya. Dan demikian lagi memakai hulu keris emas seperti merubi dan bawang sebongkol. Itupun tiada dapat dipakai oleh orang keluaran, jikalau tiada dengan nugraha raja akan dia. (jikalau ada dengan nugraha raja-raja akan dia), maka dapat dipakai. Jikalau ada orang yang memakai dia, hukumnya dirampas. (UU.Malaka, pasal 1.1)
Dari pasal 1.1 : mempunyai pengertian bahwa segala pakaian kebesaran kerajaan baik aksesoris dan atributnya, tidak diperbolehkan rakyat jelata mengenakannya bahkan meniru atau menyerupainya, kecuali merupakan penghargaan raja, baru boleh memakainya, apabila hal tersebut dilanggarnya maka segala pakaian atau atribut yang melekat akan dirampas oleh pihak kerajaan. Pasal 3 menyebutkan:
Pasal yang ketiga menyatakan hukum segala rakyat mati dan orang besar besar dan orang yang mulia-mulia tiada dapat berpayung dan berpuadai dan mengambur dirham itu melainkan dengan nama anugraha, dirampas hukumnya itu. Demikian lagi bertilam beralas kuning atau batang bantal segala yang melihat dia, satupun tiada perkataan lagi. Itulah majelissegala raja-raja itu, baik diketahui oleh segala rakyat dan segala sakai bala tentara sekalian itu akan perintah martabat raja-raja supaya jangan kena murka raja-raja akan kami sekalian itu. (UU.Malaka, pasal 3)
Penjelasan akan pasal 3 : tentang kekuasaan Raja bahwa, segala lapisan rakyat, orang besar bangsawan, tidak dapat berbuat sekehendak hati hidup berfoya -foya kecuali atas izin dari pihak kerajaan, dan apabila ada suatu pergerakan pada sekelompok rakyat, maka harus diketahui secara luas dan tidak menimbulkan kemurkaan Raja yang memerintahnya.(Liaw Yock Fang 1976 :13)
[41] Saat ini kajian terhadap Undang-undang laut lebih banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Raffless misalnya, telah menerjemahkan kedalam bahasa Inggris pada awal tahun 1818. Pada tahun 1845, J. M. Pardessus dalam bukunya Collention de lois maritimes anterieures au XVIII e siècle yang lalu diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh E. Dulaurier dan pada 1956 terbit edisi baru yang dipublikasikan oleh R.O. Winstedt dan P. E. de Josselin de Jong.(Liaw Yock Fang 1976:3)
Sedangkan kajian terhadap Undang-undang darat sejauh ini hanya ada satu yang telah diterbitkan. Kajian tersebut berjudul Risalah Hoekoem Kanoen jaitoe Oendang-Oendang Melaka editor Ph. S. van Ronkel yang diterbitkan di Leiden tahun 1919. Kajian inipun menurut Liaw masih jauh dan memuaskan, seperti asal manuskrip yang menjadi acuannya, bukanlah merupakan text yang bagus. Di samping itu ada sedikit kajian tentang Undang-undang Malaka yang terdapat pada .IMBRAS Vol. XXIpt. I berjudul “A Malay Legal Digcst compiled for Ahd al-Gi’zafiir A’ ‘cl-din Shah, Sultan of Pahang l529-I A. D. Oleh John F. Kempe dan R. 0. Winstedt pada tahun 1948. Kajian yang lengkap tentang Undang-undang Malaka sesudah itu, dilakukan oleh Liaw Yock Fang dalam bukunya yang berjudul Undang-undang Malaka, baru dipublikasikan pada tahun 1976 Ia berhasil mengumpulkan sejumlah empat puluh empat (44) manuskrip. Ke empat puluh empat (44) manuskrip tersebut dibagi kedalam tujuh kelompok : 1. Undang-undang Melaka yang sebenarnya (Undang-undang Melaka proper), 2. Versi Ahceh (The Achehnese version) ,3. Versi Patani (The Patani version), 4. Versi yang “panjang” (The “long” version) ,5. Undang-undang Islam dan Johor (The Muslim and Johor Laws version) ,6. Versi “pendek” (The “short “ version), 7. Naskah yang terpisah-pisah (The fragmentary ones). Umumnya naskah-naskah tersebut ditulis pada abad ke-19, ini menunjukkan bahwa naskah yang sampai kepada kita saat ini bukanlah merupakan naskah yang asli, melainkan salinannnya. Bahkan naskah-naskah tersebut merupakan salinan yang kesekian kalinya. Satu contoh manuskrip tertua yang ditemukan adalah Dublin 1638 yang ditulis pada tahun 1801. Hal ini wajar karena mengingat bahwa naskah itu berada dalam iklim tropis yang lembab, sehingga dengan mudah lapuk dan usang. Kegiatan penyalinan berlangsung pesat pada abad ke-19, yang sebagian besar dilakukan oleh perintah para pembesar yang berkuasa pada saat itu atas pesanan para kolektor barat. Naskah-naskah tersebut umumnya banyak tersimpan di Belanda dan Inggris dan beberapa tempat lainnya. Di samping itu mungkin ada juga sebagian naskah yang tidak diketahui jumlahnya berada di tangan pero- rangan, sebagai warisan keluarga turun-temurun, dan tidak pernah terjamah.
[42] Tome Pires menyebutkan bahwa pada saat itu Malaka dihuni oleh 190.000 ribu orang dan memiliki 100.000 ribu hulubalang, dengan jumlah 86 bahasa yang dituturkan., Kesultanan Melayu Malaka, ( Muhammad Yusoff Hasim,1989).
[43] .(Martin., 1989:20)
[44] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP). hal, 73
[45] .(Chumaidi Syarief Romas,20 raan rakyat Melayu biasanya diungkapkan melalui ucapan-ucapan seperti “demikianlah adat istiadat, masing- masing orang sesuai dengan bahagiannya”, “masing-masing duduk sesuai dengan jabatannya,” “masing-masing duduk sesuai tempat duduknya, seperti adat istiadat purba yang tidak pernah berubah”, “masing-masing duduk sesuai dengan ukurannya”, “masing-masing sesuai dengan porsinya”,(W.G. Shellabear,1970:59)
[46] Disebutkan pada pasal 1.1, 2.1 dan 2.2 Yakni Pasal 1.1 mengatakan : Pasal yang pertama pada menyatakan adat majelis segala raja-raja dan pakaian segala raja-raja segala larangan raja-raja itu, maka dipakai oleh rakyat. Ketahuilah olehmu bahwa tiada harus memakai seperti kekuningan dan kepada segala orang besar-besar sekalipun, jikalau tiada dengan anugraha raja-raja, maka ia itu dibunuh hukumnya. Dan demikian lagi tiada dapat memakai kain yang nipis berbayang-hayang seperli khasa (h) pada balai raja-raja atau pada pagar raja itu melainkan dengan kurnia titah raja atau diluar boleh dipakai. Jikalau lain dan pada itu niscaya dicarikan atau ditolakkan hukumnya. Dan demikian lagi memakai hulu keris emas seperti merubi dan bawang sebongkol. Itupun tiada dapat dipakai oleh orang keluaran, jikalau tiada dengan nugraha raja akan dia. (jikalau ada dengan nugraha raja-raja akan dia), maka dapat dipakai. Jikalau ada orang yang memakai dia, hukumnya dirampas. Dan Pasal 2.1 mengatakan : Fasal yang kedua menyatakan hukum bahasa segala raja-raja itu lima perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini melainkan dengan titah tuan kita juga, maka dapat. Pertama titah, kedua patik, dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada dapat dikatakan oleh kita sekalian….. Adapun berbatik dan bertitah dan murka itu dan karunia itu, tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan bahasa itu tertentulah kepada raja-raja juga …(Liaw Yock Fang 1976 :9 dan 16)
Pasal 2.2 menyebutkan :
Demikianlah lagi pada hal menjunjung duli, itupun dibunuh, jikalau tiada dengan anugraha itu. Demikianlah berbuat surat titah itu. Dan demikian adat hamba kepada tuannya, supaya bermulia tuannya pada hukum kanun. (Liaw Yock Fang 1976 :16)
Thanks atas bantuan infonya bapak, membantu saya menyelesaikan makalah ttg Qonun Malaka.. (y)
BalasHapus