BAB I
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan dengan berbagai potensi baik bakat, minat, kreativitas yang unik serta dinamis. Hal ini tentunya tidak akan berkembang secara sempurna tanpa dibarengi dengan mutu pendidikan yang baik yang dapat menunjang perkembangan peserta didik itu sendiri. Baik pendidikan itu bersifat formal, non-formal, dan in-formal yang jelas kesemua itu membawa perubahan yang baik atau positif untuk perkembangan peserta didik pada umumnya. Disinilah fungsi pendidikan islam untuk memberikan sumbangsihnya untuk mempersiapkan individu yang lebih sempurna etika, sistematis dalam berfikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi yang tinggi atau besar terhadap yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa tulisan dan lisan, serta memiliki beberapa keterampilan. Baik dilaksanakan melalui pendidikan formal, non formal, dan in formal. Yang telah kita tahu bahwa pendidikan mencangkup aspek yang sangat luas baik itu dengan lingkungan dan sesama, seperti adat minangkabau menyebutkan “alam takambang jadi guru” (Alam terkembang menjadi guru).
Oleh karena itu, kami ingin membahas lebih jauh mengenai hal ini guna mendapatkan pemahaman yang benar terhadap funsi pendidikan islam . Dengan judul fungsi pendidikan islam, dengan makalah yang singkat ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Berpijak pada pepatah lama yang mengatakan tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada finis dalam menuntut ilmu sampai hayat menjemput, guna mensempurnakan makalah yang singkat ini tidak lupa kritik dan saran kami harapkan agar tersempurnanya makalah yang sederhana ini.
BAB II
FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM
Sebelum kita membahas fungsi pendidikan islam itu apa, kita sebaiknya membahas tugas-tugas pendidikan islam karena fungsi pendidikan menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam itu tercapai dan berjalan dengan lancar. Tugas pendidikan islam senantiasa bersambung (kontinu) dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat pendidikan islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dan rasulnya. Pendidikan yang terus-menerus dikenal dengan “min al-mahdi ila al-lahd” (dari buaian sampai keliang lahat) atau dalam istilah lain “life long education” (pemdidikan sepanjang hayat dikandung badan) (perhatikan QS. Al-Hijr: 99). Demikian juga tugas yang diberikan pada lembaga pendidikan islam bersifat dinamis, progresif, dan inovatif mengikuti kebutuhan peserta didik dalam arti luas.
Menurut ibnu taimiyah, sebagaimana yang dikutib oleh masjid ‘irsan al-kaylani,[4] tugas pendidikan islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman terhadap dua kalimat syahadat; pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid (rubuhiyah, uluhiyah, dan sifat dan asma’); ketundukan, kepatuhan, dan keikhlasan menjalankan islam; dan menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan. Sedang pendidikan pengembangan tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Dan menyediakan bekal untuk beribadah, seperti makan dan minum. Menurut Ibnu Taimiyah, manusia yang sempurna adalah mereka yang senantiasa beribadah, baik beribadah diniyyah maupun beribadah kawniyah. Ibadah diniyyah adalah ibadah yang berhubungan dengan pencipta (ta’abbdudi) dan sesama manusia (ijtima’i). sedangkan ibadah kawniyah adalah ibadah yang berhubungan dengan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Allah SWT. Setelah memahami hukum-hukum alam dan huku-hukum sosial kemasyarakatan.
Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan. Menurut Hasan Langgulung[5] ketiga pendekatan itu tidak dapat berdiri sendiri, karena merupakan satu keutuhan. Tetapi, dalam pelaksanaannya terkadang salah satu di antara ketiga pendekatan itu ada yang lebih dominan, sementara yang lain proporsinya lebih diperkecil.
A. Pendidikan sebagai pengembangan potensi
Tugas pendidikan islam ini merupakan realisasi dari pengertian tarbiyah al-insya (menumbuhkan atau mengaktualisasikan potensi). Asumsi tugas ini adalah bahwa manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemapuan, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut. Pendidikan berusaha untuk menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
Dalam islam, potensi laten yang dimiliki manusia banyak ragamnya. Abdul Mujib[6] menyebutkan tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu :
1. Al- Fitrah ( Citra Asli)
Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana aktualisasinya tergantung pilihannya. Fitrah yang baik merupakan citra asli yang primer, sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra asli yang sekunder.[7] Fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang ada pada system-sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya. Fitrah in ada sejak sejak zaman azali dimana penciptaan jasad manusia belum ada. Seluruh manusia memiliki fitrah yang sama, meskipun prilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan hamba Allah di muka bumi.
Berdasarkan beberapa sudut pandang fitrah dapat diartikan dengan: “citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sistem-sistem psikopisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya.”[8] Dari pengertian ini, sekalipun potensi fitrah manusia itu merupakan gambaran yang suci, bersih, sehat dan baik, namun dalam aktualisasi dapat mengaktual dalam bertuk perbuatan buruk, sebab fitrah manusia itu dinamis yang aktualisasinya sangat tergantung keinginan manusia dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Pendapat lain dinyatakan bahwa jenis fitrah itu memiliki banyak dimensinya, tetapi dimensi yang terpenting adalah:[9]
a. fitrah agama; Sejak lahir, manusia mempunyai naluri atau insting bergama, insting yang mengakui adanya Dzat yang maha pencipta dan Mahamutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di alam roh, manusia telah mempunayai komitmen bahwa Allah adalah tuhannya (QS. Al- A’raf: 172), sehingga ketika dilahirkan ia berkecenderungan pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak (Allah) ( QS. Ar-Rum: 30)
b. fitrah intelek; intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memproleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Allah SWT sering memperingatkan manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya kalimat: afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tadabbarun, dan sebagainya, karena daya dan fitrah intelek ini yang dapat membedakan anatara manusia dan hewan.
c. fitrah sosial; kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang didalamnya terbentuk suatu cirri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan masyarakatnya. Islam dapat disebut sebagai ide, sedangkan kebudayaan disebut sebagai realita. Realita yang ideal adalah realita yang terdekat dengan ide, sehingga membentuk kebudayaan masyarakat yang 100% islami. Walaupun wujud kebudayaan bermacam-macam dan bervariasi substansinya tidak menyalahi ide islam.[10] Oleh karena itu, tugas pendidikan disini adalah menjadikan kebudayaan islam sebagai proses kurikulum pendidikan islam dalam seluruh peringkat dan tahapan.[11]
d. fitrah susila; kemepuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat islam. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya menjadi hina (QS. Al-Anfal: 55, Al-A’Raf: 179).
e. fitrah ekonomi (mempertahankan hidup); daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuahan jasmaniah, demi kelangsungan hidupnya. Fitrah ekonomi tidak menghendaki adanya materialisme atau diperbudak oleh materi bagi manusia, atau mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan diri sendiri. Maksud fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas-tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
f. fitrah seni; kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat al-jamal Allah SWT … tugas pendidikan yang terpenting adalah memberikan suasana gembira, senang dan aman dalam proses belajar mengajar, karena pendidikan merupakan proses kesenian, yang karenanya dibutuhkan “seni mendidik”.
g. fitrah kemajuan; keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin di hargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.
Semua kebutuhan kehidupan manusia merupakan fitrahnya yang menuntut untuk dipenuhi. Sayyid Quthub[12] mengemukakan kebutuhan pokok manusia yang terbagi atas empat macam, yaitu: (1) kebutuhan hati nurani setiap insan untuk memperoleh kepuasaan, ketenteraman dan ketenangan; (2) kebutuhan akal pikiran setiap insan untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan dan kepastian; (3) kebutuhan perasaan setiap insan untuk memperoleh rasa saling pengertian, kasih sayang, dan perdamaian; dan (4) kebutuhan hak dan kewajiban setiap insan untuk memperoleh perundang-undangan, ketertiban, dan keadilan.
Menurut Abd al-Rahman al-Bani, yang dikutib al-Nahlawi,[13] tugas pendidikan islam adalah menjaga dan memelihara fitrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program tersebut secara bertahap.
Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melelui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat di lakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun lewat institusi sosial keagamaan yang ada. Manurut pendapat para ahli sosiologi, secara sosiologis, institusi-institusi sosial itu dapat dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu keluarga, keagamaan, pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan, keolahragaan, dan media massa. Setiap institusi ini mempunyai symbol, identitas fisik, dan nilai-nilai hidup yang menjadi pedoman perilaku anggotanya.
2. Struktur Manusia
Struktur adalah “satu organisasi permanent, pola, atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relative stabil, menetap, dan abadi.” Para psikolog menggunakan istilah ini untuk menunjukkan pada proses-proses yang mepunyai stabilitas.[14]struktur manusia terdiri atas jasmani, rohani, dan nafsani. Struktur nafsani terbagi atas tiga macam, yakni kalbu, akal, dan hawa nafsu.
Struktur jasmani memiliki cirri-ciri: (1) adanya dialam dunia/jasad (materi) atau alam penciptaan ( khalq), yang tercipta secara bertahap atau berproses dan melalui perantara; (2) memiliki bentuk, rupa, kadar dan bisa disifati, yang naturnya buruk dan kasar, bahkan mengejar kenikmatan syahwi; (3) memiliki energi jasmaniah yang disebut dengan al-hayah (nyawa/daya hidup), yang eksistensi energijasmani tergantung pada makanan yang bergizi; (4) eksistensinya menjadi eadah roh; (5) terikat oleh ruang dan waktu; (6) hanya mampu menangkap satu bentuk konkret dan tak mampu menangkap yang abstrak; (7) subtansinya temporer dan hancur setelah kematian; dan (8) dapat dibagi-bagi dengan beberapa komponen.
Struktur rohani memiliki cirri; (1) adanya di alam arwah (imateri) atau alam perintah (amar), yang tercipta secara langsung dari Allah tanpa melalui proses graduasi; (2) tidak memiliki bentuk, rupa, kadar, dan tidak dapat disifati, yang naturnya halus dan suci (cenderung ber-islam atau bertauhid) dan mengejar kenikmatan rohaniah; (3) memiliki energi rohaniah yang disebut dengan al-amanah; (4) eksistensi energi rohaniah tergantung pada ibadah, yang memotivasi kehidupan dunia manusia; (5) tidak terikat oleh ruang dan waktu; (6) dapat menangkap beberapa bentuk yang konkret dan abstrak; (7) subtansinya abadi tanpa ada kematian; dan (8) tidak dapat dibagi-bagi karena satu keutuhan.
Struktur nafsani memiliki cirri-ciri: (1) adanya di alam jasad dan rohani, yang terkadang tercipta secara bertahap atau berproses dan terkadang tidak; (2) antara berbentuk atau tidak, berkadar atau tidak, dan bisa disifati atau tidak, yang naturnya antara baik buruk, halus-kasar, dan mengejar kenikmatan rohani-syahwati; (3) memiliki energi rohahaniah-jasmaniah; (4) eksistensi energi nafsani tergantung pada ibadah dan makanan bergizi; (5) eksistensinya aktualisasi atau realisasi diri; (6) antara terikat dan tidak mengenai ruang dan waktu; (7) dapat menangkap antara yang konkret dan abstrak, satu bentuk atau beberapa bentuk, yang substansinya antara abadi dan temporer; (8) antara dapat dibagi-bagi dan tidak.
Sedangkan kalbu cirri-ciri: (1) secara jasmaniah, berkedudukan dijantung; (2) daya yang dominan adalah emosi (rasa) atau afektif, yang akhirnya melahirkan kecerdasan emosional; (3) mengikuti natur roh yang ketuhanan (ilahiyyah); (4) potensinya bersifat dzawqiyyah (cita rasa) dan hadsiah (intuitif) yang sifatnya spiritual; (5) berkedudukan pada alam suprasadar atau atas dasar manusia; (6) intinya religiositas, spiritualitas, dan transendensi; (7) apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).
Sedangkan akal mempunyai cirri: (1) secara jasmaniah, berkedudukan diotak (al-dimagh); (2) daya yang domonan adalah kognisi (cipta), yang akhirnya melahirkan kecerdasan intelektual; (3) mengikuti antara nature roh dan jasad yang kemanusiaan atau insaniah; (4) potensinya bersifat istidhlaliah ( argumentatif) dan aqliah (logis) yang sifatnya rasional; (5) berkedudukan pada alam kesadaran manusia; (6) intinya isme-isme seperti humanisme, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya; dan (7) apabila mendominasi jiwa manusia, maka menimbulkan kepribadian yang labil (al-nafs al-lawwamah).
Sementara hawa nafsu memiliki cirri: (1) secara jasmaniah, berkedudukan di perut dan alat kelamin; (2) daya yang dominan adalah konasi (karsa) atau psikomotorik, yang akhirnya melahirkan kecerdasan kinestetik; (3) mengikuti natur jasad yang hayawaniah, baik yang jinak maupun yang buas (bahimiyyah dan subu’iyyah); (4) potensinya bersifat hissiah (indrawi) yang sifatnya empiris: (5) berkedudukan pada alam pra atau bawah sadar manusia; (6) intinya produktivitas, kreativitas, dan komsumtif; dan (7) apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang jahat (al-nafs al-ammarah).
3. al-Hayah (Vitality)
Hayah adalah daya, tenaga, energi, atau vitalitas hidup manusia yang karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-Hayah ada dua macam, yaitu: (1) jasmani yang intinyaberupa nyawa (al-hayah), atau energi fisik( al-thaqat al-jismiyyah) atai disebut roh-jasmani. Bagian ini amat tergantung pada susunan syarat sentral, dan sebagiannya yang dapat ditampilkan denga tanda-tanda fisiologis pembawaan dan arakteristik yang kurang lebih konstan sifatnya; (2) rohani yang intinya berupa amanat dari tuhan (al-amanah al-ilahiyyah) yang disebut juga roh-rohani. Amanah merupakan energi psikis (al-thaqat al- ruhaniyyah) yang mebedakan manusia dengan makhluk lain. Melalui dua bagian ini, maka vitalitas manusia menjadi sempurna. Tanpa nyawa maka jasmani manusia tidak dapat hidup, dan tanpa amanah maka rohani manusia tidak bermakna. Al- Hayah tidak sekedar dapat menghidupkan manusia, tapi juga menjadi esensi (al-haqiqah) bagi kehidupannya.
4. al-khuluq (karakter)
Akhlak (bentuk tunggal dari akhlaq) adalah kondisi batiniah (dalam) bukan kondisi lahiriyah (luar) individu yang mencangkup al-thab’u dan al- sajiyah. Orang yang ber-khuluq dermawan lazimnya gampang memberi uang pada orang lain, tetapi sulit mengeluarkan uang pada orang yang digunakan untuk maksiat. Sebaliknya, orang yang ber-khuluq pelit lazimnya sulit mengeluarkan uang, tapi boleh jadi ia mudah menghambur-hamburkan uang untuk keburukan. Khuluq adalah kondisi (hay’ah) dalam jiwa (nafs) yang suci ( rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Khuluq bisa disamakan dengan karakter yang masing-masing individu memiliki keunikan tersendiri. Dalam termologi psikologi, karekter (character) adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas; satu sifat atau kualitas yang tetap terus menerus dan kekal yang bisa dijadikan cirri untuk mengedentifikasikan seseorang pribadi.[15]
5. al-Thab’u (tabiat)
Tabiat yaitu citra batin individu yang menetap (al-sukun). Citra ini terdapat pada konstitusi (al-jibillah) individu yang diciptakan oleh Allah SWT. Sejak lahir. Menurut Ikhwan al-Shafa, tabiat adalah daya dari daya nafs kulliyah yang menggerakan jasad manusia.[16]berdasarkan pengertian tersebut, al-thab’u ekuivalen dengan temperamen yang tidak dapat diubah, tetapi didalam Al-Qur’an, tabiat manusia mengarah pada prilaku baik atau buruk,[17]sebab Al-Qur’an merupakan buku pedoman yang menuntun manusia berperilaku baik dan menghindarinya dari prilaku buruk.
Dlam psikologi, temperamen adalah disposisi reaksi seseorang.[18]ia juga konstitusi psikis atau aku-nya psikis yang erat kaitannya dengan konstitusi fisik yang dibawa semenjak lahir, sehingga heriditas sifatnya. Misalnya, temperamen sanguinikus yang mempunyai sifat dominan darah, sehingga menimbulkan sifat gembira, suka berubah. Temperamen flegmatikus yang mempunyai sifat dominan lendir sehingga menimbulkan sifat tenang, tak suka bergerak. Temperamen kholerikus yang mempunyai sifat dominan empedu kuning sehingga mempunyai sifat yang lekas marah dan mudah tersinggung. Dan, temperamen melanklholis yang mempunyai sifat dominan empedu hitam sehingga menimbulkan sifat pesimis dan suka bersedih hati.
6. al- Sajiyah (bakat)
Sajiyah dalam kebiasaan (adah) individu yang berasal dari hasil integrasi antara karakter individu (fardiyyah) dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (al-muktasab). Dalam termologi psikologi,sajiyyah diterjemahkan dengan bakat (aptitude) yaitu kapasitas, kemampuan yang bersifat potensial.[19] Ia ada pada faktor yang ada pada individu sejak awal dari kehidupan, yang kemudian menimbulkan perkembangan keahlian, kecakapan, keterampilan, dan spealis tertentu. Bakat ini bersifat laten (tersembunyi dan bisa berkembang) sepanjang hidup manusia, dan dapat diaktualisasikan potensinya. Potensi yang terpendam dan masih lelap itu dapat dibuat aktif dan aktual. Bakat asli yang merupakan hasil karekter individu akan sulit berkembang apabila tanpa dibarengi oleh upaya-upaya lingkungan yang baik, seperti pendidikan, pengajaran, , pelatihan, dan dakwah amar ma’ruf atau nahi munkar.
7. al-sifat (sifat-sifat)
Sifat yaitu satu ciri khas individu yang relatif menetap, secara terus-menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas dala diri individu dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu deferensiasi, regulasi, dan integrasi. Deferensiasi adalah perbedaan mengenai tugas-tugas dan pekerjaan dari masing-masing bagian tubuh. Misalnya fungsi jasmani seperti fungsi jantung, lambung, darah, dan lain-lain. Regulasi adalah dorongan untuk mengadakan perbaikan sesudah terjadi suatu gangguan di dalam organisme manusia. Integrasi adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan rohani manusia yang menjadi satu kesatuan yang harmonis, karena terjadi satu system pengaturan yang rapi.
8. al-Amal ( prilaku)
Amal adalah tingkah laku lahiriyah individu yang tergantung dalam bentuk perbauatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian individu dapat diketahui, sekalipun kepribadian yang dimaksud mencangkup lahir dan batin. Hokum fikih memiliki kecenderungan melihat aspek lahir dari kepribadian manusia, sebab yang lahir itu mencerminkan yang batin, sementara hokum tasawuf lebih melihat pada aspek batiniahnya. Kepribadian islam yang ideal mencangkup lahir batin.
B. Pendidikan sebagai pewaris Budaya
Tugas pendidikan islam ini sebagai realisasi dari pengertian tarbiyah al-tabligh (menyampaikan atau transformasi kebudayaan). Tugas pendidikan islam selanjutnya adalah mewariskan nilai budaya islami. Hal ini karena kebudayaan islam akan mati bila nilai-nilai dan norma-normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan pada generasi berikutnya.
Dalam pendidikan islam, sumber nilai budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian,[20]yaitu:
1. Nilai ilahiyah, nilai yang dititahkan Allah SWT. Melalui para rasul-nya yang diabadikan oleh wahyu. Inti nilai ini adalah iman dan taqwa. Nilai ini tidak mengalami perubahan, karena mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, tidak berubah karena mengikutu hawa nafsu. Konfigurasi nilai ini dimungkinkan dinamis, walaupun nilai instrinsiknya tetap abadi. Pelaku pendidikan memiliki tugas untuk menginterprentasikan nila-nilai itu, agar nilai-nilai itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
2. nilai insaniyah; nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis, yang berlakuannya relative dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai insani yang kemudian melembaga menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Pelaku pendidikan memilki tugas tidak saja menginterpretasikan nilai-nilai itu, tetapi juga bagaimana mengontrol nilai-nilai itu untuk mendekati pada nilai idealnya (ilahiyah), sehingga terjadi keselarasan dan keharmonisan batin dalam menjalankan nilai itu.
Tugas pendidikan adalah bagaimana pendidikan mampu melestarikan dan mentransformasikan nilai ilahiyah kepada peserta didik. Nilai ilahiyah yang instrinsik (qath’i) harus diterima sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada upaya ijtihad, sementara nilai ilahiyah yang instrumental (zhanni) dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi zaman, temapat dan keadaan. Sedangkan untuk nilai insaniyah, tugas pendidikan senatiasa melakukan inovasi dan menumbuhkan kreativitas diri agar nilai itu berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pengembangan ini tidak berarti membongkar atau membuang nilai budaya lama secara total, melainkan “memelihara budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik”.
Keberadaan peradaban dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari lahirnya islam. Islam lahir dengan membawa sejuta peradaban dan kebudayaan masyarakat. Kalau diukur jarak waktu yang dipakai dalam toggak-tongak sejarah, islam telah berhasil mencapainya seolah-olah hanya dalam tempo sekejab saja. Mukjizat ini terjadi karena islam mempunyai kemapuan untuk memlihara prinsip dan identitasnya. Pada saat yang sama, mukjizat tersebut membuka kesempatan untuk menampilkan berbagai corak masyarakat yang masing-masing berdiri di atas prinsip dan identits itu. Pokok pangkal dari keistimewaan ini karena prinsip dan identitas yang mengaturnya justru menjadi hukum dasar yang mengatur fitrah manusia sendiri, juga mengatur kehidupan masyarakat, bahkan pada hakikatnya mengatur semua yang ada. Hukum dasar ini mengandung kepastian dan keabadian, sedangkan sifat perkembangan dan perubahan masyarakat tercangkup dalam jangkauan pasl-pasal pengaturnya. Oleh karena itu, dibawah naungan hukum dasar tiadak akan terjadi tabrakan antara kemajuan manusiawi dengan syariah Allah yang tetap itu.[21]pada tataran ini terdapat hubungan simbiotis antara pewarisan agama dan budaya kepada peserta didik. Agama butuh aktualitas dalam budaya, sementara budaya butuh kerangka ideal dan membingkai kreativitasnya. Budaya yang baik adalah budaya yang mendekati cita-cita ideal dalam agama, sementara agama yang “populer” adalah agama yang dapat diwujudkan dan diaplikasikan dalam kehidupan berbudaya.
Selanjutnya yang tidak boleh diabaikan adalah intraksi antara potensi dan budaya itu harus mendapatkan tempat dalam proses pendidikan, dan jangan sampai ada salah satunya yang diabaikan. Tanpa interaksi itu, harmonisasi kehidupan akan terhambat. Untuk harmonisasi interaksi antara potensi dan budaya, diperlukan adanya ‘intervensi’ eksternal yang datangnya dari sang Mahamutlak, karena baik pengembangan potensi maupun pewarisan budaya, keduanya memiliki tingkat relativitas yang tinggi. Pada tataran ini ‘hidayah’ Allah menjadi penting dalam pemandu aktivitas pendidikan islam. Hidayah Allah sangat membantu manusia dalam menemukan jati dirinya. Manusia dengan kemampuannya sendiri tanpa diberi hidayah maka sulit menemukan jati dirinya. Adam as. Telah menggunakan semua potensinya, bahkan menguasai seluruh disiplin ilmu ( dengan menguasi asma/konsep), namun ia belum mampu menjaga eksistensinya yang baik, sehingga ia tergincir dan terlempar dari surga. Adam as, baru sadar memiliki eksistensi sebenarnya ketika ia diberi hidayah dari Allah ( QS. Al-Baqarah: 31-33,38).
Sedangkan fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional.
Arti dan tujuan struktur adalah menuntut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertical maupun horizontal. Faktor-faktor pendidkan bisa berfungsi secara interaksional (saling mempengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsistem dan berkesinambungan yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung kearah tingkat kemapuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan yang formal, informal, dan non formal dalam masyarakat.[22]
Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutib Ramayulis,[23] fungsi pendidikan islam adalah sebagai berikut:
- Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
- Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
Jadi, tugas dan fungsi sangat bertalian erat yakni sama-sama membantu pembinaan peserta didik pada ketaqwaan dan berkhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan,[24] lima aspek keislaman,[25]dan multi-aspek keihsanan.[26]selain itu, tugas dan funsi pendidikan mempertinggi kecerdasan dan kemapuan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, beserta manfaatnya dan aplikasinya dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan, serta meningkatkan “budaya” dan lingkungan, dan memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komuniktif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan sesame manusia serta sesame makhluk hidup lain. Jelasnya, tugas itu dapat menumbuhkan kreativitas peserta didik, melestarikan nilai-nilai, serta membekali kemampuan produktivitas pada peserta didik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional.
Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutib Ramayulis, fungsi pendidikan islam adalah sebagai berikut:
- Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
- Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
Jadi, tugas dan fungsi sangat bertalian erat yakni sama-sama membantu pembinaan peserta didik pada ketaqwaan dan berkhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman, dan multi-aspek keihsanan. selain itu, tugas dan funsi pendidikan mempertinggi kecerdasan dan kemapuan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, beserta manfaatnya dan aplikasinya dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan, serta meningkatkan “budaya” dan lingkungan, dan memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komuniktif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan sesame manusia serta sesame makhluk hidup lain. Jelasnya, tugas itu dapat menumbuhkan kreativitas peserta didik, melestarikan nilai-nilai, serta membekali kemampuan produktivitas pada peserta didik.
Saran :
Untuk menyempurnakan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca atau pihak yang menggunakan makalah ini. Berpegang pada prinsip tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada final dalam ilmu. Dengan kerendahan hati penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, dengan senang hati kritik dan saran dan pandangan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Abdul Mujib, M.A.g dan Dr. Jusuf Mudzakir,M.Si,(2006).Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana prenada Media Group
Ramayulis, Metodologi pengajaran agama islam (Jakarta: kalam mulia, 1990), h. 19-20.
Noeng Muhadjir, ilmu pendidikan dan perubahan sosial; suatu teori pendidikan, (yogyakarta: rake sarasin, 1987
[4]Majid ‘Irsan al-Kaylan, al-fikr al- Tarbawi ‘inda ibn Taymiyah, (al-Madinah al- Munawwarah: Maktabah Dar al-Tarats, 1986), h. 91-103.
[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi abad ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), h. 57-65.
[6] Adul Mujub, kepribadian dalam psikologi islam, ( Jakarta: rajawali press, 2006), h. 43-48.
[7] Fitrah asli manusia itu boleh jadi baik dan boleh jadi buruk, sekalipun fitrah yang baik merupakan yang primer, sedangkan yang buruk merupakan skunder. Hal in berbeda dengan malaikat yang hanya berfitrah baik, ataukah setan yang berfitrah buruk, ataukah hewan dan tumbuh-tumbuhhan dan benda-benda mati lainnya yang tidak ada baik atau buruk pada fitrahnya. Uraian fitrah lebih lanjut baca, Abdul Mujib, fitrah dan kepribadian islam: sebuah pendekatan psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
[8] Baca lebih lanjut: Abdul Mujib, fitrah dan kepribadian islam: sebuah pendekatan psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 8-36. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa.nuansa Psikologi Islam ( Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 78-85
[9] Baca: Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip dasar konsepsi pendidikan islam,( Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 5-9
[10] Endang Saifuddin Anshari, Agama dan kebudayaan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1082), h. 107.
[11] Hasan Langgulung, Op.cit., h. 135.
[12] Warmita Masykar, Gaung Ukhuwah dan fenomena Agama sebagai Kesadaran Insani. Al- Muslimun, 230. XX/1989, h. 101.
[13] Abd al- Rahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuhan, (Beirut: Dar al- Fikr, 1979), h. 13.
[14] James P. Chaplin, Kamus lengkap psikologi, terj. Kartino Kartono, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 489.
[15] Ibid., h. 82.
[16] Ikhwan al- Shafa, Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-wafa, (Beirut: Darsadir, 1957), jus II h.63.
[17] Natur tabiat manusia dapat diklafikasikan menjadi dua bagian, yaitu pertama, natur baik meruapakan unsure asli tabiat manusia, sebab nature ini bersumber fitrah. Bentuk-bentuk nature tabiat baik diantaranya adalah (1) mampu memikul amanah Alah (Qs. Al-Ahzab:72) untuk menjadi hambayang setia ( QS. Adz- Dzariyah:56) dan khalifah-nya (QS. Al-Baqarah: 30); (2) memiliki potensi untuk memahami, meliht, dan mendengarkan ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat qur’ani maupun kawni; (3) memiliki ilmu pengetahuan pmelalui penguasaan asma-asma; (4) memiliki beberapa sifat dan insting yang lengkap. Eksperesi sifat dan insting yang baik akan mendapatkan balasan surga, sedangkan yang buruk diberi pilihan untuk tobat; (5) tabiat biologisnya diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya (ahsan taqwim); kedua, nature tabiat yang buruk. Bentuk-bentuk nature buruk di antaranya adalah (1) diciptakan dalam kondisi lemah (al-dha’if); (2) tergesa-gesa (‘ajl) ( Qs. Al-Anbiya’: 37); (3) keluh kesah dan kikir (halu’a). pabila ditimpa suatu kesusahan maka ia berkeluh kesah, tetapi apabila ia diberi suatu kebaikan maka ai amat kikir;(4) memilki kebiasaan putus asa dan kufur nikmat; (5) suka melampau batas; (6) tidak mau menyadari kerunia Allah yang diberikan kepadanya: dan (7) mudah lalai apa yang telah diberikan.
[18] Ibid., h. 503.
[19] Ibid., h. 35.
[20] Baca: Noeng Muhadjir, ilmu pendidikan dan perubahan sosial; suatu teori pendidikan, (yogyakarta: rake sarasin, 1987), h.144)
[21] Sayid Quthub, Masyarakat islam, terj. Mu’thi Nurdin HA., (bandung: al-Ma’arif, 1983), h. 40-41.
[22] Arifin HM., filsafat pendidikan islam (Jakarta: bina aksara, 1987), h. 34-
[23] Ramayulis, Metodologi pengajaran agama islam (Jakarta: kalam mulia, 1990), h. 19-20.
[24] Kompetensi ini melahirkan kepribadian rabbani, kepribadian malaki, kepribadian qur’ani, kepribadian rasuli, kepribadian yawm akhiri, dan kepribadian taqdiri, uraian lebih lanjut, baca: Abdul Mujib, kepribadian dalam psikologo islam. (Jakarta: rajawali press, 2006), h. 185-248.
[25] Kompotensi ini melahirkan kepribadian syahadatain, kepribadian mushalli, kepribadian shaim, kepribadian muzakki, dan kepribadian hajji. Uraian lebih lanjut, baca: Abdul mujib, Ibid., h. 249-304.
[26] Kompotensi ini melahirkan kepribadian taib, zahid, wari’, khaif, raji’, mukhlis, mustaqim, shabir, mutawakkil, qani’, radhi, syakir, haya’, shadiq, mu’tsir, mutawadhi’, muri’, muhibb, dan puncaknya adalah muttaqi.uraian lebih lanjut, baca: Abdul Mujib, Ibid., 308-350.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar