KEWAJIBAN BELAJAR MEMBACA AL-QUR’AN
A. PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW., sebagai salah satu rahmat yang tidak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul Wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa yang mempercayai serta mengamalkannya. Bukan itu saja, Al-Qur’an itu adalah Kitab Suci yang paling penghabisan diturunkan Allah, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syariat yang terdapat di dalam Kitab-kitab Suci yang diturunkan sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur’an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.
Setiap Mu’min harus yakin, bahwa membaca Al-Qur’an saja sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Sebab, yang dibacanya itu adalah Kitab Suci Ilahi. Al-Qur’an adalah bacaan yang paling baik bagi seorang Mu’min. Baik dikala senang maupun susah, di kala gembira ataupun sedih. Malahan membaca Al-Qur’an itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.
Oleh barang tentu kita mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap Al-Qur’an. Di antara kewajiban dan tanggung jawab itu ialah mempelajarinya dan mengajarkannya. Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an adalah kewajiban suci dan mulia. Rasulullah s.a.w. telah mengatakan : ” Yang sebaik-baik kamu ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan :” Sesungguhnya seseorang yang berpagi-pagi pergi mempelajari ayat-ayat dalam Kitabullah lebih baik yang seperti itu daripada mengerjakan sembahyang sunat 100 rakaat.” Dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas , Rasululah juga mengatakan :”Siapa-siapa yang mempelajari Kitabullah, kemudian diamalkannya isi yang terkandung di dalamnya, Allah akan menunjukinya dari kesesatan dan akan dipeliharanya pada hari kiamat dari siksa yang berat.”
Jadi belajar Al-Qur’an itu merupakan kewajiban yang utama bagi setiap mu’min , begitu juga mengajarkannya. Dari uraian diatas sehingga penulis ingin membahas lebih jauh mengenai hal ini.
- Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari uraian ini adalah :
a. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an
b. Mengapa harus belajar membaca Al-Qur’an
c. Kapankah belajar Al-Qur’an itu
d. Bagaimana kedudukan orang yang membaca bahkan yang mendengarkannya.
e. Apa keutamaan orang yang membaca Al-Qur’an
f. Seperti apa adab membaca Al-Qur’an
- Tujuan Penulisan atau Rumusan
a. Ingin mengetahui apa alasan harus membaca Al-Qur’an
b. Ingin mengetahui kapan dimulainya belajar membaca Al-Qur’an
c. Ingin mengetahui bagaimana kedudukan orang yang membaca Al-Qur’an dan sekaligus yang mendengarkannya.
d. Ingin mengetahui keutamaan orang yang membaca Al-Qur’an
e. Ingin megetahui adab membaca Al-Qur’an
f. Bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas Tafsir Tarbawi.
B. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan Allah Swt, Tuhan alam semesta, kepada Rasul dan Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. as untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Al-Qur'an berarti bacaan, nama-nama lain dari kitab suci ini adalah Al-Furqaan (Pembeda), Adz Dzikir (Pengingat) dan lain-lain, tetapi yang paling terkenal adalah Al-Qur'an.
Sebagai kitab suci terakhir, Al-Qur'an bagaikan miniatur alam raya yang memuat segala disiplin ilmu, Al-Qur'an merupakan karya Allah Swt yang Agung dan Bacaan mulia serta dapat dituntut kebenarannya oleh siapa saja, sekalipun akan menghadapai tantangan kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih (sophisticated).
C. Alasan belajar Al-Qur’an
Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi lebih baik. Salah satunya adalah belajar membaca Al-Qur’an. Hukum asal membaca Al-Qur’an sesuai dengan kaidah ilmu tajwid adalah wajib ‘ain. Sementara hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Artinya, jika sudah ada beberapa orang yang belajar ilmu tajwid, maka gugurlah kewajiban belajar bagi yang lainnya. Dalam banyak kasus, hal ini sering dijadikan alasan bagi sebagian orang yang enggan belajar Al-Qur’an. “Sudah banyak orang yang belajar Al-Qur’an, maka saya sudah terwakili.” Jika kita melihat dari sisi ini, maka benar jawaban bahwa mempelajari ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Tapi perlu juga dipahami bahwa ada kaidah yang menyatakan,
Lil wasail hukmul maqosid sama dengan hukum sarana disesuaikan dengan hukum tujuan.
Maksudnya adalah, jika melaksanakan shalat hukumnya wajib, maka belajar tata cara shalat menjadi wajib. Begitu pula membaca Al-Qur’an sesuai kaidah ilmu tajwid. Jika kita tidak belajar, bagaimana mungkin kita akan bisa? Jika kita tidak bisa, bagaimana mungkin kita akan shalat? Apakah mungkin ilmu itu akan turun begitu saja? Rasulullah sendiri bertalaqqi kepada Malaikat Jibril, padahal beliau adalah seorang yang ucapannya paling fashih. Tidakkah kita memahami hakikat ini?
D. Proses dan tahapan dalam belajar membaca Al-Qur’an
Belajar Al-Qur’an itu dapat dibagi dalam beberapa tahapan atau tingkatan yakni : belajar membacanya sampai lancar dan baik, dengan menuruti kaidah-kaidah yang berlaku dalam bacaan dan tajwid. Belajar arti dan maksudnya sampai mengerti akan maksud-maksud yang terkandung didalamnya dan yang terakhir belajar menghafalnya diluar kepala sebagai mana yang diajarkan oleh para sahabat pada Rasulullah, demikian pula pada masa sekarang dinegeri islam.
Belajar Al-Qur’an itu hendaklah dari semenjak kecil, yakni sebaiknya dari berumur 5 atau 6 tahun. Sebab, umur 7 tahun sudah disuruh mengerjakan sholat. Rusulullah sudah mengatakan : “suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat bila sudah berumur 7 tahun dan pukullah (marahilah) bila dia tidak mengerjakan sholat kalau sudah berumur 10 tahun.”
Menjadikan anak-anak dapat belajar Al-Quran mulai semenjak kecil itu, adalah kewajiban orang tuanya masing-masing. Berdosalah orang tua yang mempunyai anak-anak, tetapi anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Quran. Tidak ada malu yang paling besar di hadapan Allah nantinya, bilamana anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Quran. Sebaliknya, tidak ada kegembiraan yang lebih memuncak nanti, bilamana orang tua dapat menjadikan anaknya pandai membaca Al-Quran. Rasulullah s.a.w. telah mengatakan :” Tidak ada suatu keuntungan bagi seorang yang telah menjadikan anaknya pandai membaca Al-Quran, kecuali baginya nanti pada hari kiamat akan diberikan suatu mahkota dari dalam syurga.”
Pada tingkat pertama ini, yaitu tingkat mempelajari membaca Al-Quran dengan baik, hendaknya sudah merata dilaksanakan, sehingga tidak ada lagi orang yang buta huruf Al-Quran di kalangan masyarakat Islam. Di tiap-tiap rumah tangga orang Islam hendaknya diaktifkan benar-benar pemberantasan buta huruf Al-Quran, sehingga setiap muslim yang menjadi keluarga rumah tangga itu sudah pandai semuanya membaca Al-Quran dengan baik. Batas untuk mempelajari Al-Quran itu hanya bila seseorang sudah diantar ke liang kubur.
Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mempelajari Al-Quran. Misalnya, karena sudah tua, karena sudah dewasa dan sebagainya. Dalam tingkatan pertama sekedar membaca Al-Quran dengan baik, hal ini berlaku bagi anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, pria ataupun wanita, semuanya berkewajiban untuk mempelajarinya.
Sesudah itu, barulah menginjak ke tingkat yang kedua, yaitu mempelajari arti dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Al-Quran itu betul-betul menjadi pelajaran, petunjuk dan peraturan bagi setiap muslim dalam mencapai kebahagiaan hidup yang diridhai Allah. Untuk itulah terjemahan Al-Quran susun dan diterbitkan oleh pemerintah, dengan maksud agar terjemahan Al-Quran ini dapat dipelajari oleh seluruh rakyat Indonesia dengan mudah.
Selain mempelajari cara membaca serta mendalami arti dan maksud yang terkandung di dalam Al-Quran, yang terpenting adalah mengajarkannya. Jadi belajar dan mengajar merupakan dua tugas yang mulia lagi suci, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedapat mungkin hasil yang dipelajari itu terus diajarkan pula, dan demikianlah seterusnya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rsulullah s.a.w. , demikianlah beliau menerima wahyu, waktu itu juga terus diajarkannya kepada para sahabat, seketika selesai wahyu itu turun. Para sahabatpun berbuat demikian pula. Seterusnya, orang yang mendapat pelajaran dari para sahabat itu, melanjutkannya kepada yang lain. Demikianlah secara sambung mneyambung seperti rantai yang tidak putus-putusnya. Jadi, pekerjaan mengajarkan Al Quran merupakan tugar yang sangat mulia di sisi Allah
E. Kedudukan orang yang belajar membaca Al-Qur’an
Dalam kitab Shahihnya, Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Hajjaj bin Minhal dari Syu’bah dari Alqamah bin Martsad dari Sa’ad bin Ubaidah dari Abu Abdirrahman As-Sulami dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
عَنْ عثمان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلّم قال:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ.
(رواه البخاري والترمذي)
Artinya :
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”[1]
Pesan terkandung yang terkandung adalah Syarat menjadi Muslim terbaik adalah dengan belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Ilmu pertama kali yang harus dikaji seorang muslim adalah al-Qur’an.Belajar dan mengajar adalah kewajiban setiap orang Islam, baik formal atau non formal.
Masih dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Utsman bin Affan, tetapi dalam redaksi yang agak berbeda, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”[2]
Dalam dua hadits di atas, terdapat dua amalan yang dapat membuat seorang muslim menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya sesama muslim lainnya, yaitu belajar Al-Qur`an dan mengajarkan Al-Qur`an. Tentu, baik belajar ataupun mengajar yang dapat membuat seseorang menjadi yang terbaik di sini, tidak bisa lepas dari keutamaan Al-Qur`an itu sendiri. Al-Qur`an adalah kalam Allah, firman-firman-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya melalui perantara Malaikat Jibril Alaihissalam. Al-Qur`an adalah sumber pertama dan acuan utama dalam ajaran Islam. Karena keutamaan yang tinggi inilah, yang membuat Abu Abdirrahman As-Sulami salah seorang yang meriwayatkan hadits ini rela belajar dan mengajarkan Al-Qur`an sejak zaman Utsman bin Affan hingga masa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.[3]
Maksud dari belajar Al-Qur`an di sini, yaitu mempelajari cara membaca Al-Qur`an. Bukan mempelajari tafsir Al-Qur`an, asbabun nuzulnya, nasikh mansukhnya, balaghahnya, atau ilmu-ilmu lain dalam ulumul Qur`an. Meskipun ilmu-ilmu Al-Qur`an ini juga penting dipelajari, namun hadits ini menyebutkan bahwa mempelajari Al-Qur`an adalah lebih utama. Mempelajari Al-Qur`an adalah belajar membaca Al-Qur`an dengan disertai hukum tajwidnya, agar dapat membaca Al-Qur`an secara tartil dan benar seperti ketika Al-Qur`an diturunkan. Karena Allah dan Rasul-Nya sangat menyukai seorang muslim yang pandai membaca Al-Qur`an. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ . (متفق عليه)
Artinya:
“Orang yang pandai membaca Al-Qur`an, dia bersama para malaikat yang mulia dan patuh. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur`an dengan terbata-bata dan berat melafalkannya, maka dia mendapat dua pahala.” (Muttafaq ‘Alaih).[4]
Dan dalam Al-Qur`an disebutkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk membaca Al-Qur`an dengan tartil,
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا . (المزمل : 4)
Artinya:
“Dan bacalah Al-Qur`an dengan setartil-tartilnya.” (Al-Muzzammil: 4)
Adapun maksud dari mengajarkan Al-Qur`an, yaitu mengajari orang lain cara membaca Al-Qur`an yang benar berdasarkan hukum tajwid. Sekiranya mengajarkan ilmu-ilmu lain secara umum atau menyampaikan sebagian ilmu yang dimiliki kepada orang lain adalah perbuatan mulia dan mendapatkan pahala dari Allah, tentu mengajarkan Al-Qur`an lebih utama. Bahkan ketika Sufyan Ats-Tsauri ditanya, mana yang lebih utama antara berjihad di jalan Allah dan mengajarkan Al-Qur`an, dia mengatakan bahwa mengajarkan Al-Qur`an lebih utama. Ats-Tsauri mendasarkan pendapatnya pada hadits ini.[5]
Namun demikian, meskipun orang yang belajar Al-Qur`an adalah sebaik-baik orang muslim dan mengajarkan Al-Qur`an kepada orang lain juga sebaik-baik orang muslim, tentu akan lebih baik dan utama lagi jika orang tersebut menggabungkan keduanya. Maksudnya, orang tersebut belajar cara membaca Al-Qur`an sekaligus mengajarkan kepada orang lain apa yang telah dipelajarinya. Dan, dari hadits ini juga dapat dipahami, bahwa orang yang mengajar Al-Qur`an harus mengalami fase belajar terlebih dahulu. Dia harus sudah pernah belajar membaca Al-Qur`an sebelumnya. Sebab, orang yang belum pernah belajar membaca Al-Qur`an, tetapi dia berani mengajarkan Al-Qur`an kepada orang lain, maka apa yang diajarkannya akan banyak kesalahannya. Karena dia mengajarkan sesuatu yang tidak dia kuasai ilmunya.
F. Keutamaan dan kelebihan membaca Al-Qur’an
Tentang keutamaan dan kelebihan membaca Al Qur’an, Rasulullah telah menyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang maksudnya demikian: ”Ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh orang dengki kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah Kitab Suci Al-Qur’an ini, dibacanya siang dan malam; dan orang yang dianugerahi Allah kekayaan harta, siang dan malam kekayaan itu digunakannya untuk segala sesuatu yang diridhai Allah.”
Di dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pula, Rasulullah menyatakan tentang kelebihan martabat dan keutamaan orang membaca Al-Qur’an, demikian maksudnya:” Perumpamaan orang Mu’min yang membaca Al-Qur’an, adalah seperti bunga utrujjah, baunya harum dan rasanya lezat; orang Mu’min yang tak suka membaca Al-Qur’an, adalah seperti buah kurma, baunya tidak begitu harum, tetapi manis rasanya; orang munafiq yang membaca Al-Qur’an ibarat sekuntum bunga, berbau harum, tetapi pahit rasanya; dan orang munafiq yang tidak membaca Al-Qur’an, tak ubahnya seperti buah hanzalah, tidak berbau dan rasanya pahit sekali.”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah juga menerangkan bagaimana besarnya rahmat Allah terhadap orang-orang yang membaca Al-Qur’an di rumah-rumah peribadatan (masjid, surau, mushalla dan lain-lain). Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang masyur lagi shahih yang artimya sebagai berikut:” Kepada kaum yang suka berjamaah di rumah-rumah peribadatan, membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan ajar megajarkannya terhadap sesamanya, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketenteraman, akan berlimpah kepadanya rahmat dan mereka akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan mengingat mereka” (diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah).
Dengan hadits di atas nyatalah, bahwa membaca Al-Qur’an, baik mengetahui artinya ataupun tidak, adalah termasuk ibadah, amal shaleh dan memberi rahmat serta manfaat bagi yang melakukannya; memberi cahaya ke dalam hati yang membacanya sehingga terang benderang, juga memberi cahaya kepada keluarga rumah tangga tempat Al-Qur’an itu dibaca. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas r.a. Rasulullah bersabda : “Hendaklah kamu beri nur (cahaya) rumah tanggamu dengan sembahyang dan dengan membaca Al-Qur’an.”
Di dalam hadits yang lain lagi, Rasulullah menyatakan tentang memberi cahaya rumah tangga dengan membaca Al-Qur’an itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daru Quthi dari Anas r.a. Rasulullah memerintahkan : “Perbanyaklah membaca Al-Qur’an di rumahmu, sesungguhnya di dalam rumah yang tak ada orang membaca Al-Qur’an, akan sedikit sekali dijumapi kebaikan di rumah itu, dan akan banyak kejahatan, serta penghuninya selalu merasa sempit dan susah.”
Mengenai pahala membaca Al-Qur’an, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa, tiap-tiap orang yang membaca Al-Qur’an dalam sembahyang, akan mendapat pahala lima puluh kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya; membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dengan berwudhu, pahalanya dua puluh lima kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya; dan membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dengan tidak berwudhu, pahalanya sepuluh kali kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya.
Di dalam ajaran Islam, bukan membaca Al-Qur’an saja yang menjadi ibadah dan amal yang mendapat pahala dan rahmat, tetapi mendengarkan Al-Qur’an pun begitu pula. Malahan sebagian ulama mengatakan, bahwa mendengarkan orang membaca Al Qur’an pahalanya sama dengan orang yang membacanya.
Tentang pahala orang mendengarkan bacaan Al Quran dengan jelas dalam surat Al A’raaf (7) ayat 204 disebutkan sebagai berikut:
#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó™$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ
Artinya :
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (Q.S Al-A’raaf 7: 204)
Maksudnya ialah jika dibacakan Al-Qur’an kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik, dapat menghibur perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah dan melunakkan hati yang keras, serta mendatangkan petunjuk. Itulah yang dimaksudkan dengan Rahmat Allah, yang diberikan kepada orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik. Demikian besar mu’jizat Al-Qur’an sebagai Wahyu Ilahi, yang tak bosan-bosan orang membaca dan mendengarkannya. Malahan semakin sering orang membaca dan mendengarkannya, semakin terpikat hatinya kepada Al-Qur’an itu, bila Al-Qur’an itu dibaca dengan lidah yang fasih, dengan suara yang baik dan merdu akan memberikan pengaruh kepada jiwa orang yang mendengarkannya, sehingga seolah-olah yang mendengarnya sudah ada di alam ghaib, bertemu langsung dengan Khaliknya. Bagaimana keadaan orang Mu’min tatkala mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu, digambarkan oleh firman Allah sebagai berikut:
$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sŒÎ)ur ôMu‹Î=è? öNÍköŽn=tã ¼çmçG»tƒ#uä öNåkøEyŠ#y— $YZ»yJƒÎ) 4’n?tãur óOÎgÎn/u‘ tbqè=©.uqtGtƒ ÇËÈ
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah. gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Q.S Al-Anfaal; 8:2).
Diriwayatkan bahwa suatu malam, Nabi Muhammad s.a.w. mendengarkan Abu Musa Al-Asy’ari membaca Al-Qur’an sampai jauh malam. Sepulang beliau di rumah, beliau ditanya oleh istri beliau Aisyah r.a., apa sebabnya pulang sampai jauh malam. Rasulullah menjawab, bahwa beliau terpikat oleh kemerduan suara Abu Musa Al-Asy’ari membaca Al-Qur’an, seperti merdunya suara Nabi Daud a.s.
Di dalam riwayat, banyak sekali diceritakan, betapa pengaruh bacaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah terhadap hati orang-orang kafir yang setelah mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu, tidak sedikit hati yang pada mulanya keras dan marah kepada Muhammad s.a.w. serta pengikut-pengikutnya, berbalik menjadi lunak dan mau mengikuti ajaran Islam.
Rasulullah sendiri sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lJain. Dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan, bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud menceritakan sebagai berikut : Rasulullah berkata kepadaku: “Hai Ibnu Mas’ud, bacakanlah Al-Qur’an untukku!”. Lalu aku menjawab: “Apakah aku pula yang membacakan Al-Qur’an untukmu, ya Rasulullah, padahal Al-Qur’an itu diturunkan Tuhan kepadamu?“. rasulullah menjawab : “Aku senang mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu dari orang lain.”
Kemudian Ibnu Mas’ud membacakan beberapa ayat dari surat An Nisaa’. Maka tatkala bacaan Ibnu Mas’ud itu sampai kepada ayat ke-41 yang berbunyi:
y#ø‹s3sù #sŒÎ) $uZ÷¥Å_ `ÏB Èe@ä. ¥p¨Bé& 7‰‹Îgt±Î0 $uZ÷¥Å_ur y7Î/ 4’n?tã ÏäIwàs¯»yd #Y‰‹Íky ÇÍÊÈ
Artinya :
Maka Bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu. (Q.S An-Nisaa’ 4: 41)
Ayat itu sangat mengharukan hati Rasulullah, lalu beliau berkata: “Cukuplah sekian saja, ya Ibnu Mas’ud!”. Ibnu Mas’ud melihat Rasulullah meneteskan air matanya serta menundukkan kepalanya.
Bagi seorang Mu’min, membaca Al-Qur’an telah menjadi kecintaannya. Pada waktu membaca Al-Qur’an, ia sudah merasa seolah-olah jiwanya menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa; menerima amanat dan hikmat suci, memohon limpah karunia serta rahmat dan pertolongan-Nya. membaca Al-Qur’an telah menjadi kebiasaannya yang tertentu, baik siang ataupun malam. Dibacanya sehalaman demi sehalaman, sesurat demi sesurat, dan se juz demi se juz, akhirnya samapi khatam (tamat). Tidak ada suatu kebahagiaan di dalam hati seseorang Mu’min melainkan bila dia dapat membaca Al-Qur’an sampai khatam. Bila sudah khatam, itulah puncak dari segala kebahagiaan hatinya.
G. Adab membaca Al-Qur’an
Al-Qura’an sebagai Kitab Suci, Wahyu Ilahi, mempunyai adab-adab tersendiri bagi orang-orang yang membacanya. Adab-adab itu sudah diatur dengan sagnat baik, untuk penghormatan dan keagungan Al-Qur’an. tiap-tiap orang harus berpedoman kepadanya dan mengerjakannya.
Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin telah memperinci dengan sejelas-jelasnya bagaimana hendaknya adab-adab membaca Al- Qur’an menjadi adab yang mengenal batin, dan adab yang mengenal lahir. Adab yang mengenal batin itu, diperinci lagi menjadi arti memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah, menghadirkan hati dikala membaca sampai ke tingkat memperluas, memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan demikian, kandungan Al-Qur’an yang dibaca dengan perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya. Kesemuanya ini adalah adab yang berhubungan dengan batin, yaitu dengan hati dan jiwa. Sebagai contoh, Imam Al-Gazhali menjelaskan, bagaimana cara hati membesarkan kalimat Allah, yaitu bagi pembaca Al-Qur’an ketika ia memulainya, maka terlebih dahulu ia harus menghadirkan dalam hatinya, betapa kebesaran Allah yang mempunyai kalimat-kalimat itu. Dia harus yakin dalam hatinya, bahwa yang dibacanya itu bukanlah kalam manusia, tetapi adalah kalam Allah Azza wa Jalla. Membesarkan kalam Allah itu, bukan saja dalam membacanya, tetapi juga dalam menjaga tulisan-tulisan Al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana yang diriwayatkan, ‘Ikrimah bin Abi Jahl, sangat gusar hatinya bila melihat lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an berserak-serak seolah-olah tersia-sia, lalu ia memungutnya selembar demi selembar, sambil berkata:”Ini adalah kalam Tuhanku! Ini adalah kalam Tuhanku, membesarkan kalam Allah berarti membesarkan Allah.”[6]
Adapun mengenai adab lahir dalam membaca Al-Qur’an, selain didapati di dalam kitab Ihya Ulumuddin, juga banyak terdapat di dalam kitab-kitab lainnya. Misalnya dalam kitab Al-Itqan oleh Al Imam Jalaludin As Suyuthu, tantang adab membaca Al-Qur’an itu diperincinya sampai menjadi beberapa bagian.[7]
Diantara adab-adab membaca Al-Qur’an, yang terpenting ialah:
1. Disunatkan membaca Al-Qur’an sesudah berwudhu, dalam keadaan bersih, sebab yang dibaca adalah wahyu Allah.
2. Mengambil Al-Qur’an hendaknya dengan tangan kanan; sebaiknya memegangnya dengan kedua belah tangan.
3. Disunatkan membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih, seperti di rumah, di surau, di mushalla dan di tempat-tempat lain yang dianggap bersih. Tapi yang paling utama ialah di mesjid.
4. Disunatkan membaca Al-Qur’an menghadap ke Qiblat, membacanya dengan khusyu’ dan tenang; sebaiknya dengan berpakaian yang pantas.
5. Ketika membaca Al-Qur’an, mulut hendaknya bersih, tidak berisi makanan, sebaiknya sebelum membaca Al-Qur’an mulut dan gigi dibersihkan terlebih dahulu.
6. Sebelum membaca Al-Qur’an disunatkan membaca ta’awwudz, yang berbunyi: a’udzubillahi minasy syaithanirrajim. Sesudah itu barulah dibaca Bismillahirrahmanir rahim. Maksudnya, diminta lebih dahulu perlindungan Allah, supaya terjauh pengaruh tipu daya syaitan, sehingga hati dan fikiran tetap tenang di waktu membaca Al-Qur’an, dijauhi dari gangguan. Biasa juga orang yang sebelum atau sesudah membaca ta’awwudz itu, berdoa dengan maksud memohon kepada Alah supaya hatinya menjadi terang. Doa itu berbunyi sebagai berikut.
“Ya Allah bukakanlah kiranya kepada kami hikmat-Mu, dan taburkanlah kepada kami rahmat dan khazanah-Mu, ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
7. Disunatkan membaca Al-Qur’an dengan tartil, yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang, sesuai dengan firman Allah dalam surat (73) Al Muzammil ayat 4:
÷rr& ÷ŠÎ— Ïmø‹n=tã È@Ïo?u‘ur tb#uäöà)ø9$# ¸x‹Ï?ös? ÇÍÈ
Artinya:
“….Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil”. (Q.S Al Muzammil 73: 4)
Membaca dengan tartil itu lebih banyak memberi bekas dan mempengaruhi jiwa, serta serta lebihmendatangkan ketenangan batin dan rasa hormat kepada Al-Qur’an.
Telah berkata Ibnu Abbas r.a.:” Aku lebih suka membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran dengan tartil, daripada kubaca seluruh Al-Qur’an dengan cara terburu-buru dan cepat-cepat.”
8. Bagi orang yang sudah mengerti arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, disunatkan membacanya dengan penuh perhatian dan pemikiran tentang ayat-ayat yang dibacanya itu dan maksudnya. Cara pembacaan seperti inilah yang dikehendaki, yaitu lidahnya bergerak membaca, hatinya turut memperhatikan dan memikirkan arti dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibacanya. Dengan demikian, ia akan sampai kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu membaca Al-Qur’an serta mendalami isi yang terkandung di dalamnya.Hal itu akan mendorongnya untuk mengamalkan isi Al-Qur’an itu. Firman Allah dalam surat (4) An Nisaa ayat 82 berbunyi sebagai berikut:
Ÿxsùr& tbrã/y‰tFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ωZÏã ÎŽöxî «!$# (#r߉y`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 ÇÑËÈ
Artinya :
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (Q.S An-Nisaa 4: 82)
Bila membaca Al-Qur’an yang selalu disertai perhatian dan pemikiran arti dan maksudnya, maka dapat ditentukan ketentuan-ketentuan terhadap ayat-ayat yang dibacanya. Umpamanya: Bila bacaan sampai kepada ayat tasbih, maka dibacanya tasbih dan tahmid; Bila sampai pada ayat Doa dan Istighfar, lalu berdoa dan minta ampun; bila sampai pada ayat azab, lalau meminta perlindungan kepada Allah; bila sampai kepada ayat rahmat, llau meminta dan memohon rahmat dan begitu seterusnya. Caranya, boleh diucapkan dengan lisan atau cukup dalam hati saja. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dari Ibnu Abbas yang maksudnya sebagai berikut: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. apabila membaca: “sabbihissma rabbikal a’la beliau lalu membaca subhanarobbiyal a’la . Diriwayatkan pula oleh Abu Daud, dan Wa-il bin Hijr yang maksudnya sebagai berikut:” Aku dengan Rasulullah membaca surat Al-Fatihah , maka Rasulullah sesudah membaca walad dholliin lalu membaca aamin . Demikian juga disunatkan sujud, bila membaca ayat-ayat sajadah, dan sujud itu dinamakan sujud tilawah.
9. Dalam membaca Al-Qur’an itu, hendaknya benar-benar diresapkan arti dan maksudnya, lebih-lebih apabila sampai pada ayat-ayat yang menggambarkan nasib orang-orang yang berdosa, dan bagaimana hebatnya siksaan yang disediakan bagi mereka. Sehubungan dengan itu, menurut riwayat, para sahabat banyak yang mencucurkan air matanya di kala membaca dan mendengar ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menggambarkan betapa nasib yang akan diderita oleh orang-orang yang berdosa.
10. Disunatkan membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus lagi merdu, sebab suara yang bagus dan merdu itu menambah keindahan islubnya Al Quran. Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
Yang artinya “Kamu hiasilah Al Quran itu dengan suaramu yang merdu”
Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam Rasulullah s.a.w. menunggu-nunggu istrinya, Sitti ‘Aisyah r.a. yang kebetulan agak terlambat datangnya. Setelah ia datang, Rasulullah bertanya kepadanya:” Bagaimanakah keadaanmu?” Aisyah menjawab :“Aku terlambat datang, karena mendengarkan bacaan Al-Qur’an seseorang yang sangat bagus lagi merdu suaranya. Belum pernah aku mendengarkan suara sebagus itu.” Maka Rasulullah terus berdiri dan pergi mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang dikatakan Aisyah itu. rasulullah kembali dan mengatakan kepada Aisyah:” Orang itu adalah Salim, budak sahaya Abi Huzaifah. Puji-pujian bagi Allah yang telah menjadikan orang yang suaranya merdu seperti Salim itu sebagai ummatku.”
Oleh sebab itu, melagukan Al-Qur’an dengan suara yang bagus, adalah disunatkan, asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dan tata cara membaca sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu qiraat dan tajwid, seperti menjaga madnya, harakatnya (barisnya) idghamnya dan lain-lainnya. Di dalam kitab zawaidur raudhah, diterangkan bahwa melagukan Al-Qur’an dengan cara bermain-main serta melanggar ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas itu, haramlah hukumnya; orang yang membacanya dianggap fasiq, juga orang yang mendengarkannya turut berdosa.
11. Sedapat-dapatnya membaca Al-Qur’an janganlah diputuskan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain. Hendaknya pembacaan diteruskan sampai ke batas yang telah ditentukan, barulah disudahi. Juga dilarang tertawa-tawa, bermain-main dan lain-lain yang semacam itu, ketika sedang membaca Al-Qur’an. Sebab pekerjaan yang seperti itu tidak layak dilakukan sewaktu membaca Kitab Suci dan berarti tidak menghormati kesuciannya.
Itulah diantara adab-adab yang terpenting yang harus dijaga dan diperhatikan, sehingga dengan demikian kesucian Al-Quran dapat terpelihara menurut arti yang sebenarnya.
H. Penutup
- Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW., sebagai salah satu rahmat yang tidak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul Wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa yang mempercayai serta mengamalkannya. Bukan itu saja, Al-Qur’an itu adalah Kitab Suci yang paling penghabisan diturunkan Allah, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syariat yang terdapat di dalam Kitab-kitab Suci yang diturunkan sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur’an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merasa rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.
Yang telah kita ketahui Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik, dapat menghibur perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah dan melunakkan hati yang keras, serta mendatangkan petunjuk. Itulah yang dimaksudkan dengan Rahmat Allah, yang diberikan kepada orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik. Demikian besar mu’jizat Al-Qur’an sebagai Wahyu Ilahi, yang tak bosan-bosan orang membaca dan mendengarkannya.
Mengenai pahala membaca Al-Qur’an, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa, tiap-tiap orang yang membaca Al-Qur’an dalam sembahyang, akan mendapat pahala lima puluh kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya; membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dengan berwudhu, pahalanya dua puluh lima kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya; dan membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dengan tidak berwudhu, pahalanya sepuluh kali kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya.
Mengingat hal itu sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu membaca atau mengajarkannya kepada orang lain setelah kita mengetahuinya.
- Saran
Dari uraian diatas penulis dapat memberikan saran kepada pembaca, khususnya untuk penulis sendiri.
a. Dengan penulisan ini penulis menyarankan agar kiranya tidak ada alasan lagi dalam membaca atau mengajarkan Al-Qur’an.
b. Mengingat kedudukan orang membaca Al-Qur’an sangat tinggi sudah menjadi sepatutnya hal itu dijadikan sumber motivasi dalam mengamalkan atau membaca Al-Qur’an.
c. Bicara Mengenai pahala membaca Al-Qur’an sangatlah mempesona karena tiap-tiap orang yang membaca Al-Qur’an dalam sembahyang, akan mendapat pahala lima puluh kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya; membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dengan berwudhu, pahalanya dua puluh lima kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya; dan membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dengan tidak berwudhu, pahalanya sepuluh kali kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya. Melihat hal itu apakah kita masih bersedia tidak membaca Al-Qur’an
d. Kami dari penulis membutuhkan saran atau masukan dalam memperbaiki makalah ini, guna tersempurnanya makalah ini.
I. DAFTAR PUSTAKA
Ali bin Husain Abu Luz, Abu Anas, Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an edisi Indonesia tentang fatwa penyusunan Al-Qur’an: Darul Haq.
Sumber: Seri Hadis Rasulullah Untuk Anak 4, DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA
Kitab Shahih Al-Bukhari oleh (Muhammad Isma'l Al-Bukhari)
Kitab Shahih Muslim oleh (Muslim bin Al-hajjaj Al-Naisaburi)
http://aferiza.wordpress.com/2010/03/22/belajar-dan-mengajarkan-al-quran/
[1] Shahih Al-Bukhari/Kitab Fadha`il Al-Qur`an/Bab Khairukum Man Ta’allama Al-Qur`an wa ‘Allamah/hadits nomor 5027
[3] Dalam lanjutan hadits Al-Bukhari yang pertama, Abu Abdirrahman As-Sulami sendiri yang mengatakan demikian. Ibnu Hajar mengatakan, bahwa jarak antara awal Utsman menjadi khalifah dan akhir pemerintahan Al-Hajjaj sebagai gubernur Irak, adalah 72 tahun kurang tiga bulan. Sedangkan jarak antara akhir kekhilafahan Utsman dan masa pertama Al-Hajjaj menjadi gubernur Irak, adalah 38 tahun. Dan Abu Abdirrahman tidak menjelaskan secara pasti kapan dia mulai belajar Al-Qur`an pada masa Utsman, serta kapan terakhir kali dia mengajarkan Al-Qur`an pada masa Al-Hajjaj. (Lihat Fath Al-Bari 9/92)
[4] Shahih Al-Bukhari/Kitab Tafsir Al-Qur`an/Bab ‘Abasa wa Tawalla/4556, dan Shahih Muslim/Kitab Al-Musafirin/Bab Fadhl Al-Mahir fi Al-Qur`an/1329, dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
[7] dalam kitab Al-Itqan oleh Al Imam Jalaludin As Suyuthi
Subahanallah
BalasHapusSemoga antum senantiasa diberikan kebaikan oleh Allah SWT, dan ditunggu artikel" lainnya yg bermanfaat.
Syukron
Subahanallah
BalasHapusSemoga antum senantiasa diberikan kebaikan oleh Allah SWT, dan ditunggu artikel" lainnya yg bermanfaat.
Syukron
Ijin ser gan , Info obat Pasca Operasi. Obat Luka Operasi Caesar Yang Aman Untuk Ibu Menyusui
BalasHapusAssalamu'alaikum wr wb.
BalasHapusSalam kenal dariku, wahai saudaraku.
Semoga upaya saudaraku dalam berbagi ilmu ini, dapat dilihat Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketaqwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya rabbal 'alamin!