Senin, 16 Mei 2011

INOVASI BIMBINGAN DAN KONSELING:MENJAWAB TANGANGAN GLOBAL


INOVASI BIMBINGAN DAN KONSELING:MENJAWAB TANGANGAN GLOBAL
Oleh: H.MOHAMAD SURYA


Tantangan Global
Sejalan dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan (termasuk bimbingan dan konseling) menghadapi berbagai tantangan mulai dari tantangan global, nasional, dan lokal. Tantangan-tantangan itu harus dihadapi dengan sebaik-baiknya mulai dari tatanan konstitusional, kebijakan, manajerial, dan operasional dalam berbagai aspek dan dimensi.. Prof. Dr. Karlheinz A. Geissler (2000) menyatakan bahwa: “Learning has become the citizen’s first duty. ‘Stop learning and you stop living’”. Selanjutnya Geissler menyatakan bahwa di milenium tiga ini kita dituntut untuk melakukan “learning offensive” atau pembelajaran yang bersifat ofensif dan proaktif. Selanjutnya dikatakan  bahwa untuk mampu mewujudkan ofensif pembelajaran diperlukan empat kompetensi yaitu: (1) plurality competence yaitu kecakapan untuk mengidentifikasi aspek produktif dari adanya keragaman, dan toleransi dan menggunakannya secara efektif, (2) socio-communicative competence yaitu kecakapan untuk berinisiatif, mengembangkan, mendukung dan mengelola menyimpulkan secara tepat proses-proses sosial, (3) transition competence, yaitu kecakapan untuk beradaptasi dengan proses transisi dalam kehidupan, (4) equilibrium competence yaitu kecakapan dalam menjaga keseimbangan dalam kondisi ketidak-pastian. 
    
Pada tatanan global Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu: (1) kecepatan (speed), (2) kenyamanan (convinience), (3) gelombang generasi (age wave), (4) pilihan (choice), (5) ragam gaya hidup (life style), (6) kompetisi harga (discounting), (7) pertambahan nilai (value added), (8) pelayananan pelanggan (costumer service), (9) teknologi sebagai andalan (techno age), (10) jaminan mutu (quality control). Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dll.), process approach, Forfolio evaluation, school/community based management, school based quality improvement, life skills, dan competency based curriculum.


             
INOVASI BIMBINGAN & KONSELING
Semua tantangan baik yang berasal dari perubahan global, nasional, maupun lokal pada gilirannya menuntut adanya inovasi bimbingan dan konseling dalam berbagai aspek dan dimensi. Saat ini telah banyak berkembang berbagai inovasi bimbingan dan konseling dalam teori, pendekatan, manajemen, pola-pola pelaksanaan, penelitian dan pengembangan, personil, dsb. Berikut ini akan dikemukakan beberapa di antaranya.

Teknologi dalam bimbingan dan konseling
  Perkembangan teknologi terutama dalam bidang informasi dan komunikasi telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi dunia bimbingan dan konseling. Komunikasi untuk bimbingan dan konseling dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara konselor dengan konseli tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Konselor dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan konseli. Demikian pula konseli dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber counseling” atau konseling maya, yaitu proses konseling yang dilakukan dengan menggunakan internet. Dalam bidang bimbingan karir, telah berkembang publikasi bimbingan dan informasi karir dengan menggunakan cyber publishing yaitu publikasi melalui internet dan teknologi informasi lainnya yang bukan dalam bentuk media cetak. Perkembangan ini sudah tentu menuntut kesiapan dan adaptasi para konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling. Hal yang sama diperlukan pula oleh para konselor dalam menggunakan teknologi untuk bimbingan karir.
             
Bimbingan dan Konseling  multikultural
Pengalaman Amerika Serikat dengan kondisi masyarakatnya yang bersifat multikultural dan tren perkembangan demografis yang mengarah pada konfigurasi budaya plural, telah mendorong berkembangnya layanan bimbingan dan konseling yang lebih bersifat generik. Penggunaan berbagai pendekatan dan teknik  diharapkan mampu memberikan layanan yang lebih efektif dalam kondisi pluralitas budaya. Dalam kaitan dengan bimbingan dan konseling pendekatan budaya ini sangat tepat untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Di Amerika Serikat yang berbudaya pluralistik, dikembangkan pendekatan konseling yang disebut “multicultural counseling”. Paul B. Pederson (1991) menyebutkan “multicultural counseling” sebagai pendekatan generik dalam konseling. Pederson mengelompokkan multicultural counseling ke dalam  angkatan keempat dalam pendekatan konseling sebagai pelengkap dari  ketiga angkatan  pendekatan sebelumnya yaitu psychodynamic, behavioral, dan humanistic. Dikatakan selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai implikasi dalam rentang kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus membuat derajat, bandingan, atau peringkat atau sebutan lebih baik atau lebih jelek antara satu dengan lainnya, serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan saling melengkapi, dan perbedaan bahkan pertentangan satu dengan lainnya. Perspektif pendekatan multikultural memberikan kombinasi antara pandangan universalisme dan relativisme dengan memberikan penjelasan bahwa perilaku dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik,  dan mencari kesamaan landasan  antar  budaya. Dengan mengutip pendapat Brislin (1990), Pederson (1991) menyebutkan ada tujuh aspek budaya pada diri individu yaitu: (1) bagian jalan hidup yang digunakan orang, (2) gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi, (3) pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi, (4) sosialisasi anak-anak ke kedewasaan, (5) pola-pola konsep dan tindak secara konsisten, (6) pola-pola budaya yang dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, (7) rasa tidak berdaya atau kebingungan manakala terjadi perubahan pola-pola budaya.
  Courtland Lee seorang professor dalam bidang konseling multikultural berdasarkan pengalamannnya. dalam bidang multikultural, menyebutkan adanya lima kearifan yang dapat dijadikan landasan konseling yang berbasis multikultural  Kelima kearifan itu adalah: ”(1) Respect your client’s belief in the power of the healer, (2) Promote a holistic perspective, (3) Emphasize the psycholospiritual dimension of the client’s reality, (4) Adopt an active helping role, (5) Accept cultural difference as merely difference and not deviation”  (dalam “Counseling Today”, ACA, April 2009, hal. 14)
Dengan merujuk konsep di atas, maka bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

Bimbingan dan Konseling  spiritual
 Kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa Barat ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagiaan hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana keluarga yang harmonis di atas landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap. Charlene E. Westgate (1996) menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “spiritual wellness” yang dia artikan sebagai suatu keadaan yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan perwujudan diri. Selanjutnya Charlene E. Westgate mengemukakan ada empat dimensi “spiritual wellness” ini yaitu (1) meaning of life, (2) intrinsic value, (3) transcendence, (4) community of shared values and support. Dengan kata lain mereka yang telah memiliki “spiritual wellness” memiliki kemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam dimensi-dimensi hidup secara terpadu dan utuh.
Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya konseling yang berfundasikan spiritual atau religi. Dalam kaitan ini Stanard, dkk. (2000) mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa: “Spirituality includes concepts such as trancendence, self-actualization, purpose and meaning, wholness, balance, sacredness, universality, and a sense of High Power”. Berkaitan dengan isu-isu Agama dalam konseling, Zinbauer & Pargament (2000) mengemukakan ada empatt pendekatan yaitu (1) rejectionist, yaitu yang menolak campur aduk agama dengan konseling, (2) exclusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara agama dengan konseling, (3) Constructivist, yang memberikan peluang pendekatan agama dalam konseling dan konseli sendiri yang membentuknya. (4) pluralis, yaitu pendekatan yang memungkinkan proses konseling yang berlandaskan nilai-nilai agama. 

Pendekatan holistik
 Bersamaan dengan perkembangan global yang mendorong makin besarnya ketergantungan antar berbagai disiplin dan pihak, maka konseling mengalami kecenderungan untuk bergeser dari situasi isolasi atau soliter ke arah keterkaitan dengan berbagai aspek. Konseling holistik merupakan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya. Dengan demikian maka konseling tidak hanya menyentuh aspek permukaan saja akan tetapi lebih menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu masalah dapat dilakukan secara lebih komprehensif sehingga dapat diselesaikan secara tuntas dan mendasar. Pola konseling holistik mempunyai makna bahwa layanan yang diberikan merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait. Dalam kaitan dengan lingkungan pendidikan, konseling dilaksanakan secara terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan di masyarakat luas. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler, interaksi, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Bidang-bidang layanan yang diberikan meliputi aspek sosial, pribadi, belajar, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan yang utuh. Saat ini telah berkembang apa yang disebut ”quantum counseling” atau konseling kuantum yang berpangkal pada teori kuantum, dalam fisika. Dalam ivovasi ini, bimbingan dan konseling dilaksanakan secara holistik dalam suasana menyenangkan dengan lebih berfokus pada aspek-aspek pribadi yang paling mendalam yaitu pikiran dan perasaan.
Penulis (1997) telah menawarkan satu model bimbingan dan konseling holistik yaitu: “Bimbingan dan konseling yang menuju pada pemberdayaan pribadi, berlangsung dalam nuansa pendidikan, berpusat pada keluarga, berintikan nilai-nilai religi, dan berlangsung dalam harmoni budaya bangsa”     

KONSELING SEKOLAH DI ABAD 21
Kenyataan tantangan global di abad 21 sebagaimana dikemukakan di atas, secara langsung atau pun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap corak layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam kaitan ini, terbitan Journal of Counseling and Development Volume 87, Number 1 Winter 2009 (Jurnal yang diterbitkan oleh American Couinseling Association) membahas secara khusus bagaimana kecenderungan peran konseling sekolah di abad 21. Dalam pengantarnya Carol A. Dahir selaku editor, melalui  tulisan  pengantarnya dengan judul “School Counseling in the 21st Century: What Lies the Future? (Introduction to the Special Section). Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa dalam memasuki abad 21, konseling sekolah telah mengalami kemajuan dan pergeseran dari pola-pola tradisional yang berfokus pada pemberian layanan  menjadi pola-pola yang berfokus pada satu sistem yang proaktif dan programatik. Semuanya merujuk pada standar yang telah ditetapkan oleh organisasi (the National Standard oh the American School Counselor Association, 1997) dan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah (Transforming School Counseling Initiative, Education Trust, 1997). Dalam menghadapi tantangan yang dihadapi siswa sekolah di abad 21, konseling sekolah telah dipengaruhi oleh paradigma dan praktek yang mengarah pada profesi dan pembaharuan dalam penekanan memberikan bantuan dan dukungan kepada siswa dalam pencapaian prestasi akademik, advokasi keadilan sosial, dan akuntabilitas konselor.
Para futurist telah merumuskan empat konsep masa depan yang dapat dijadikan rujukan yaitu: (a) probable future atau masa depan yang mungkin terjadi, (b) possible future, atau masa depan yang kemungkinan dapat terjadi, (c) plausible future, atau masa depan yang dapat terjadi, dan (d) preferable future, atau masa depan yang diharapkan terjadi (Inbody, 1984, dalam Tarrell Awe Agahe  Portunan, 2009). Dkemukakan bahwa dalam dua dekade terakhifr ini Inbody,1984 (dalam Carol A. Dahir, 2009) mengidentifikasi ada enam premis dasar yang cukup kritis terkait dengan masa depan konseling sekolah, yaitu:
1.        Apa yang dilakukan oleh profesi konseling sekolah dewasa ini akan berpengaruh terhadap kualitas bidang konseling sekolah dan lingkungan pendidikan di mana koselor sekolah dan siswa berada.
2.        Metode ilmiah dalam penelitian konseling sekolah dapat digunakan untuk  mengantisipasi masa depan konselor sekolah yang belum diketahui,
3.        Tidak hanya satu masa depan yang menunggu profesi konseling sekolah, akan tetapi banyak berbagai kemungkinan masa depan, tergantung pada apa yang dipilih oleh konselor sekolah pada masa kini,
4.        Konselor sekolah harus memiliki landasan moral dalam tanggung jawabnya bagi siswa generasi masa depan dan juga konselor sekolah generasi selanjutnya.
5.        Teknologi akan terus memberikan pengaruh dan dukungan bagi konseling sekolah, akan tetapi konselor sekolah bertanggung jawab untuk memadukan teknologi itu bagi kepentingan masa depan yang mungkin tidak diperlukan di masa dua puluh tahun yang lalu. 
6.        Diperlukan adanya suatu studi ekstensif untuk menunjang gagasan-gagasan bagi profesi konseling sekolah dan siswa.

Menurut Carol A. Dahir (2009) keenam premis itu masih relevan untuk dijadikan rujukan pada masa kini dalam menghadapi tantangan abad 21. Ia mengatakan bahwa konselor sekolah di abad 21 berada dalam posisi yang memiliki kekuatan dan strategis untuk menunjukkan secara efektif bagaimana melengkapi prestasi akademik dan perkembangan afektif sebagai formula yang tepat untuk membantu siswa. Konselor sekolah berperan sebagai kunci tim kepemimpinan pendidikan dan membangun tantangam untuk berbagi tanggung jawab dalam mempersiapkan siswa agar mencapai standar akademik sambil membantu meraka menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bermakna. Dengan demikian, maka konselor di masa depan harus mampu membangun satu cara baru sebagai pemimpin, kolaborator, advokator, dan agen perubahan yang sistemik dalam tatanan dinamika pendidikan, globalisasi masyarakat dan ekonomi, dan keragaman kebutuhan siswa. Konselor sekolah generasi yang akan datang harus memiliki sikap, pengetahuan, dan ketrampilan untuk bekerjasama dengan guru-guru, administrator, keluarga, jaringan sumber masyarakat, dan lain-lainnya untuk meningkatkan keadilan pendidikan dan keberhasilan semua siswa. Yang paling penting adalah program konseling sekolah harus terkait dan berpadanan dengan perubahan tatanan pendidikan dan tujuan perbaikan sekolah.
Sesuai dengan yang dikemukakan di atas, dalam menghadapi tantangan masa depan akan terjadi perubahan dalam strategi pelaksanaan konseling sekolah dan harus terjadi keterpaduan dan kolaborasi yang harmonis antara konselor dengan guru dan staf sekolah lainnya. Sebagai contoh, Mary Ann Clark dan Jennifer Crandall Breman (2009) dalam tulisannya yang berjudul “School Counselor Inclusion: A Collaboretive Model to Provide Academic and School-Emotional Support in the Classroom Setting” (dalam Journal of Counseling and development,  Number 1, Vol. 87, Winter 2009) memberikan gambaran bagaimana para konselor sekolah berkolaborasi dengan guru dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Dalam model inklusi ini, konseling dilaksanakan dalam tatanan kelas (classroom setting) yang dilakukan secara kolaboratif antara guru dengan konselor. Dalam model ini terjadi keterpaduan antara pendekatan konseling dan instruksional sehingga banyak memberikan suasana yang baru dan menyenangkan serta lebih produktif. Konselor tidak lagi melakukan kegiatannya di ruang khusus (Ruang BK) akan tetapi dilakukan di ruang kelas secara terpadu dengan proses instruksional. Dengan demikian para siswa masih tetap berada dalam suasana belajar di kelas tanpa harus meninggalkan pelajaran. Pendekatan layanan konseling dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan baik individual maupun kelompok tergantung urgensi dan masalah yang dihadapi. Melalui model inklusi dan kolaboratif ini, pembelajaran tidak hanya semata-mata akademik akan tetapi telah terjadi pembelajaran secara holistik yang menjangkau seluruh aspek kepribadian.
Tantangan selanjutnya adalah yang terkait dengan akuntabilitas konselor sekolah. Di masa lalu dan juga mungkin hari ini, konselor sekolah lebih banyak terfokus pada pencapaian akademik seperti halnya tuntutan Ujian Nasional yang  lebih mengutamakan pencapaian hasil mata pelajaran yang di-UN-kan. Namun para konselor sekolah harus menyadari bahwa pencapaian akademik harus di imbangi dengan aspek non-akademik lainnya yang dilaksanakan melalui layanan konseling. Dengan demikian konselor sekolah menunjukkan akuntabilitasnya melalui layanan konseling agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara utuh sehingga menghasilkan kualitas kepribadian yang utuh pula. Sebagai contoh berkenaan dengan akuntabilitas konselor, Carol A Dahir dan Carolyn B. Stone (2009) menulis artikel yang berjudul “School Counselor Accountability: The Path to Social Justice and Systemic Change” dalam Journal of Counseling and Development, Number I, Vol. 78, Winter 2009. Dalam tulisan itu kedua penulis menyebutkan bahwa akuntabilitas konselor terletak dalam kemampuannya membantu siswa memperoleh keadilan sosial dan perubahan secara sistemik dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka memberikan gambaran perubahan akuntabilitas konselor dari masa lalu sekarang dan masa yang akan datang, dalam bagan sebagai berikut.

PARADIGMA KONSELOR SEKOLAH
Masa lalu
Masa kini
Masa depan
Layanan konseling sekolah di abad 20:
Counseling
Counsultation
Coordination:
Transformasi konseling sekolah dengan visi baru praktek proaktif:
Counseling
Consultation
Coordination
Leadership
Advocacy
Teaming and Collaboration
Assesment and use of data
Technology

Program konseling yang intensional dan bertujuan, terpadu dengan program pendidikan:
Counseling
Consultation
Coordination
Leadership
Social justice advocacy
Teaming and collaboration
Assesment and use of data
Technology
Acountability
Cultural mediation
Systemic change agent

Dari bagan di atas, nampak bahwa konselor sekolah masa depan harus mampu mewujudkan akutabilitas kinerja profesionalnya, menjadi mediator kultural, dan menjadi agen prubahan yang sistemik. Untuk mewujudkan konselor yang akuntabel, Dahir & Stone menekankan pentingnya penelitian tindakan (action research) dalam keseluruhan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Kedua penulis (2003, 2004, 2007) memberikan satu model penelitian tindakan dengan sebutan model MEASURE sebagai enam langkah langkah pelaksanaan penelitian tindakan yang mendorong konselor sekolah dalam memproses penggunaan data dalam melaksanaan konseling. MEASURE merupakan akronim dari tahapan sebagai berikut:
   
Mission: atau misi yaitu mengaitkan program konseling sekolah dengan visi dan misi sekolah secara keseluruhan
Elements: atau unsur-unsur yaitu mengidentifikasi unsur-unsur data kritis yang penting bagi pemegang kepentingan baik internal maupun eksternal.
Analyse: atau analisis yaitu mendiskusikan secara cermat unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
Stackholders Unite: atau satuan pemegang kepentingan yaitu menetapkan pemegang kepentingan yang perlu dilibatkan dalam upaya pengembangan dan perbaikan program layanan.
Result: atau hasil yaitu menggambarkan hasil yang dicapai dari upaya kolaboratif  untuk menggunakan data unsur kritis untuk digunakan secara kritis dalam pengembangan program
Educate: atau pendidikan yaitu menunjukkan dampak positif program konseling sekolah terhadap keberhasilan siswa dan tujuan sekolah.

Sebagaimana diketahui, pergeseran abad 21 di era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menimbulkan  perubahan dalam berbagai aspek tatanan kehidupan baik yang bersifat positif maupun negatif. Kondisi itu secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap peran konselor sekolah. Seperti dikemukakan dalam bagan di atas, konselor masa depan juga akan bertambah tanggung jawabnya sebagai mediator kultur atau budaya. Konselor akan mempunyai tanggung jawab yang disebut sebagai mediator kultural  yaitu sebuah peran dan tanggung jawab untuk membantu siswa dalam menghadapi berbagai perubahan iptek dan kultural di abad 21. Dalam kaitan dengan peran sebagai mediator kultural, Tarrell Awe Agahe Portman (2009) menyampaikan tulisan yang berjudul: ”Faces of the Future: School Counselors as Cultural Mediators”  dalam Juornal Counseling. and Development Number 1 Vo. 78, Winter 2009. Dalam tulisannya itu penulis menggambarkan perubahan di Amerika Serikat untuk dua puluh tahun mendatang dalam aspek sosio-demografik dengan segala implikasinya termasuk dalam pendidikan dan layanan konseling khususnya penerapan layanan konseling multikultural. Selanjutnya dikatakan bahwa keberhasilan negosiasi perbedaan kultural di masa yang akan datang terkait dengan membangun jembatan dari masa kini yang berfokus pada kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kompetensi kultural kepada aplikasi kompetensi kultural melalui mediasi kultural, yang membawa kepada kesuksesan akademik, pribadi, sosial, dan karir siswa yang berasal dari lingkungan kultur yang beragam. Konselor sekolah adalah arsitek yang harus membangun jembatan itu. Saatnya sekarang konselor sekolah untuk memasuki proses sepanjang hayat untuk mendapatkan kompetensi kultural seperti halnya mengembangkan kepemimpinan dan ketrampilan advokasi yang diperlukan untuk memperluas pengembangan profesional mereka dan perannya sebagai mediator kultural.
Disarankan oleh Bemak, 2000 (dalam Tarell, 2009) ada tiga cara konselor dalam bekerja dengan organisasi kemasyarakatan, yaitu: (1) menghubungkan siswa dan keluarganya kepada sumber-sumber di masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing-masing, (2) merancang dengan pelayanan masyarakat untuk membawa mereka sebanyak mungkin ke sekolah, (3) bekerja dalam kemitraan dalam mengembangkan dan aplikasi layanan pencegahan dan intervensi yang dapat disediakan baik di dalam maupun di luar tatanan pendidikan.
Meskipun apa yang dikemukakan di atas berlatar belakang pengalaman di Amerika Serikat dengan segala keunikannya, namun dalam hal tertentu kita dapat menarik manfaat untuk penerapan konseling di Indonesia. Dalam beberapa hal banyak dijumpai berbagai kesamaan dalam hal kerqagaman budaya, etnis, agama, geografis, demografis, dsb. Kecenderungan yang berkembang di berbagai belahan dunia juga akan dijumpai di Indonesia. Oleh karena itu, tidak terlalu menyimpang seandainya dalam menerapkan upaya mewujudkan konselor yang ideal masa kini kita belajar dari pengalaman orang lain. Hal itu berarti bahwa apa yang dikemukakan di atas dapat secara selektif diterapkan di dunia pendidikan Indonesia sesuai dengan karakteristik Indonesia. 
  
MEMBANGUN WATAK BANGSA
Kalau kita menelaah makna, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka jelas bahwa esensi pendidikan nasional adalah “membangun watak bangsa” atau “national character building”.
Terkait dengan hal itu, bimbingan dan konseling memiliki peran dan posisi yang amat strategis dalam upaya membangun watak bangsa. Semua upaya itu harus diawali dengan inovasi membangun kualitas layanan bimbingan dan konseling yang  utuh dan paripurna. Apakah watak itu? Watak atau karakter pada hakekatnya merupakan ciri kepribadian yang berkaitan dengan timbangan nilai moralitas normatif yang berlaku. Kualitas watak seseorang akan tercermin pada penampilan kepribadiannya ditinjau dari sudut timbangan nilai moral normatif. Seseorang dikatakan memiliki kualitas watak yang baik apabila menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku. Misalnya orang yang melakukan perbuatan “merusak fasilitas umum” dapat dikatakan berwatak tidak baik karena tidak sesuai dengan nilai moral normatif yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “watak yang utuh” merupakan keseluruhan penampilan kepribadian dalam keutuhan perilaku berdasarkan timbangan nilai-nilai moralitas bangsa. Di Indonesia nilai moral normatif yang menjadi landasan timbangan watak adalah moral Pancasila.  Apakah ciri-ciri watak yang utuh itu?
Watak yang utuh merupakan penampilan moralitas kepribadian secara paripurna menurut timbangan keutuhan nilai yang mencakup aspek emosional, intelektual, moral, dan spiritual. Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam Jurnal “The ASCA Counselor” Vol. 35 no. 2 (1998),  Sharon Wisniewski & Keneth Miller menyebutkan bahwa watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik yang sehat antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang maha besar dan abadi dari diri). Atas dasar pandangan itu, ada empat tingkatan kualitas watak yaitu tingkatan 0 (nol), tingkatan satu, tingkatan dua, dan tingkatan tiga.
   Watak tingkatan nol,  merupakan tingkatan watak yang sifatnya sedikit atau tidak ada timbangan-timbangan moral dalam perilaku sebagai ciri-ciri kepribadiannya. Tingkatan nol ini disebut sebagai “reactive personality”  atau kepribadian reaktif yaitu kepribadian yang terwujud dari perilaku-perilaku yang sifatnya reaktif. Dalam tingkatan ini, perilaku  orang lebih bersifat impulsif atau spontan tanpa timbangan-timbangan nilai moralitas. Misalnya kalau dia tersinggung sedikit saja lalu bereaksi dengan memukul atau mengeluarkan kata-kata yang kotor tanpa ada timbangan apakan perbuatan itu sopan atau tidak, baik atau tidak. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh gejolak emosional menurut kepuasannya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai timbangan nilai. Beberapa peristiwa perusakan, perkelahian, perampokan, pembunuhan, dsb. yang berasal dari hal-hal yang sepele, adalah merupakan contoh manifestasi watak tingkatan nol ini. Pribadi dalam watak tingkatan nol, menunjukkan beberapa ciri seperti: lebih bersifat pasif, impulsif, kurang inisiatif, bersifat menunggu, pasrah, menanti belas kasihan, ingin diperhatikan, emosional, tidak peduli dengan resiko, berpandangan pendek, dsb.
Watak tingkatan satu, merupakan watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat terhadap dirinya sendiri dengan kendali emosional yang mantap. Stephen Covey menyebutnya sebagai “proactive personality” atau kepribadian proaktif yaitu kepribadian yang mempunyai keberdayaan sehingga mampu mewujudkan perilaku yang aktif dan terarah sesuai dengan tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan ini disebut juga sebagai watak yang dilandasi oleh “emotional intelligence” atau “kecerdasan emosional”,  yaitu kualitas kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan emosional yang mantap sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan timbangan nilai moral secara bermakna. Menurut Dabiel Goleman (1995) kecerdasan emosional seseorang merupakan sumber watak seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan. Kecerdasan emosional didukung oleh lima kemampuan yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain. Orang yang berwatak pada tingkatan ini mampu menunjukkan perilaku yang terkendali secara emosional dan mencerminkan kepribadian yang baik dari sudut timbangan nilai moralitas. Dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan watak dalam tingkatan ini akan mampu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan emosional yang mantap serta memperhatikan berbagai alternatif dan resiko yang mungkin timbul. Tindakan yang diambil didasarkan atas timbangan resiko minimal dan keuntungan maksimal atau “herang caina beunang laukna”.
Watak tingkatan kedua, merupakan watak dalam tingkatan kemampuan untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Stephen Covey menyebutnya sebagai “interdependent personality” atau kepribadian yang mampu melakukan hubungan timbal balik dengan pihak-pihak di luar dirinya. Watak tingkatan ini merupakan tingkatan yang lebih luhur karena seluruh perilaku kepribadiannya lebih banyak didasarkan atas timbangan moral. Oleh karena itu tingkatan ini disebut juga sebagai watak “moral intelligence” atau kecerdasan moral”  yaitu watak yang terwujud karena kepribadiannya tercermin atas dasar perilaku berdasarkan timbangan moral yang matang. Orang dalam tingkatan ini memahami, menghayati, dan mampu mengamalkan nilai-nilai moral secara utuh dalam keseluruhan perilakunya sehingga mencerminkan kepribadian yang tergolong baik. Dalam menghadapi berbagai situasi masalah (termasuk situasi krisis) orang yang berwatak tingkatan dua mampu membuat tindakan atas dasar timbangan moral secara utuh sehingga tidak hanya menghasilkan kondisi sehat bagi dirinya akan tetapi juga bagi kepentingan orang lain dan lingkungan. Mereka mampu bertindak secara cermat, tenang, berkepala dingin, penuh keyakinan dan optimisme, dsb. sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan orang lain dalam suasana silih asih, silih asah, dan silih asuh. 
Watak tingkatan tiga, adalah watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat dengan lingkungan Maha besar di luar dirinya yaitu “Tuhan Yang Maha Kuasa”, disamping kemampuannya berhubungan timbal balik secara sehat dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Landasan utama dari watak tingkatan ini adalah kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu watak tingkatan ini disebut sebagai watak “spiritual intelligence” atau “kecerdasan spiritual”, yaitu watak yang muncul dari keseluruhan perilaku yang terwujud atas dasar timbangan-timbangan spiritual yang berakar pada nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Pada tingkatan ini akan tercermin keseluruhan kepribadian yang paripurna dan  sehat sejalan dengan keseluruhan nilai-nilai moralitas normatif-religius. Dalam menghadapi berbagai situasi (terutama situasi kritis) orang berwatak tingkatan tiga ini, akan mampu mengendalikan dirinya dan menjaga keseimbangan dengan lingkungan atas dasar keyakinan spiritual yang kuat terhadap kuasa Allah swt. Semua pikiran, sikap, dan tindakan mencerminkan kondisi kepribadian yang sehat, sehinga memberikan makna yang sangat luas bagi dirinya dan umat di sekitarnya.
Dengan memperhatikan uraian di atas, pada dasarnya makna watak yang utuh akan tercermin apabila telah mencapai pada tingkatan ketiga secara kumulatif. Watak tingkatan ketiga itu akan mencerminkan suatu keluhuran budi pekerti uyang bersumber dari keutuhan moral pribadi, sosial, dan spiritual. Bagi bangsa Indonesia, pada hakekatnya nilai-nilai moral Pancasila merupakan rujukan fundamental bagi pembentukan watak bangsa yang utuh. Tujuan Pendidikan Nasional sesungguhnya telah menggariskan arahannya untuk mencapai watak bangsa yang utuh sejalan dengan konsep sebagaimana disebutkan di atas, yaitu yang tersurat dan tersirat dalam Undang-undang Sisdiknas.
Dalam konteks ”national character building”, layanan bimbingan & konseling harus mampu membangun watak tingkatan ketiga sebagai watak paripurna yang dilandasi dengan nilai-nilai kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual. Semua kualitas watak itu harus menjadi haluan dari keseluruhan layanan bimbingan dan konseling.

---------------------------
*)Guru Besar UPI Bandung/Unipa Surabaya.

1 komentar: