PENGEMBANGAN KOMPETENSI KONSELOR SEKOLAH MENENGAH ATAS MENURUT STANDAR KOMPETENSI KONSELOR INDONESIA
(Studi Berdasarkan Profil Diskrepansi Kompetensi Aktual
dengan Kompetensi Standar pada Konselor SMA Negeri di Wilayah X)
Oleh:
Kartika Hajati*)
Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan tersedianya perangkat instrumen yang efektif untuk digunakan dalam pengembangan kompetensi konselor di lapangan. Didasari keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan perangkat instrumen berupa program dan panduan implementasinya yang efektif untuk mengembangkan kompetensi konselor selaras dengan Standar Kompetensi Konselor Indonesia, dirancang berdasarkan kesenjangan profil kompetensi aktual dengan kompetensi standar pada konselor SMA Negeri di wilayah X. Pengembangan produk tersebut dilakukan dengan menerapkan pendekatan research and development, melalui tahapan: (1) Studi Pendahuluan, (2) Pengembangan dan Validasi Produk, serta (3) Uji Efektifitas Produk. Perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor hasil penelitian ini, telah teruji efektif untuk mengembangkan kompetensi konselor.
Kata Kunci: Pengembangan, diskrepansi, Kompetensi Konselor, Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Indonesia dewasa ini mengemban tugas menghasilkan sumberdaya insani bermutu, yakni: “….manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU RI, No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, 2003). Definisi tersebut menggambarkan sosok individu yang berkembang dalam segenap aspek; bukan saja aspek akademis-intelektual, tetapi juga aspek pribadi, sosial, dan sistem nilai. Oleh karenanya, pendidikan sebagai pendukung utama bagi terwujudnya insan bermutu semacam ini adalah pendidikan yang mengantarkan peserta didik pada pencapaian standar akademis yang diharapkan, dan kondisi perkembangan diri yang sehat, berjalan secara utuh dan optimal.
Perspektif optimalisasi dan keutuhan dalam memperkembangkan diri individu siswa sebagai insan yang dididik melalui intervensi pendidikan formal (sekolah), menjadi dasar esensi dan relevansi keberadaan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah. Posisi tersebut seperti halnya kebutuhan terhadap layanan pengajaran yang diberikan oleh seorang guru mata pelajaran, sebagai komponen integral dalam pendidikan sebagai suatu sistem.
Bimbingan dan Konseling dalam konteks sistem pendidikan nasional Indonesia ditempatkan sebagai bantuan kepada peserta didik untuk dapat menemukan pribadi, memahami lingkungan, dan merencanakan masa depan. Subjek yang ditangani konselor adalah subjek didik yang berada dalam perkembangan normal. Kehadiran bimbingan dan konseling turut memberikan berbagai kontribusi positif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Namun demikian, berbagai masalah masih dirasakan bimbingan dan konseling terutama didalam penyelenggaraannya.
Beberapa penelitian terkait dengan penampilan konselor di sekolah menunjukkan perilaku konselor yang kurang profesional. Penelitian oleh Asrori, M. (1990) menunjukkan bahwa kinerja petugas bimbingan 40,63% yang termasuk kategori ‘tinggi’ dan 59,37% termasuk kategori ’sedang’. Konselor dianggap oleh siswa masih belum memiliki kemampuan seperti yang diharapkan dalam aspek keterampilan konseling individual. Nurhisan, A.J. (1993) dalam penelitiannya menemukan pelaksanaan konseling oleh guru bimbingan dan konseling belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Penelitian Marjohan (1993), menunjukkan: baru 39,47% guru bimbingan dan konseling yang dapat menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori ’tinggi’, adapun 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori ’sedang’. Hasil studi di beberapa SMU negeri Jawa Barat (Nurhisan, A.J, 1998) menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan siswa dengan layanan bimbingan yang diperolehnya. Melalui studi ini juga diperoleh bukti sistem manajemen layanan bimbingan di SMU tersebut masih perlu ditingkatkan. Radam (dalam Murad, 2003) melakukan penelitian di SMA negeri Samarinda memperoleh hasil masih bercampur aduk mekanisme kerja dan penggunaan ruang kerja konselor dengan guru bidang studi. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan bagi pemeliharaan kerahasiaan siswa sehingga hak siswa yang mestinya dipelihara untuk menunjukkan kepercayaan terhadap profesionalis-me konselor menjadi kurang baik.
Indikasi rendahnya kompetensi konselor di DKI Jakarta, terungkap dari laporan ”Uji Kompetensi Guru SMA dan SMK DKI Jakarta tahun 2005” (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta; & Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta).Uji kompetensi untuk guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam penelitian itu, mencakup empat rumpun kompetensi: (1) pengua-saan konselor terhadap konsep/materi, kurikulum, metode dan evaluasi bimbingan; (2) kemampuan dalam menyelenggarakan dan mengelola pelaksanaan bantuan atau bimbingan kepada peserta didik, (3) pengembangan potensi diri; (4) sikap dan kepribadian. Hasil uji kompetensi konselor di wilayah DKI Jakarta, dari 385 responden, kepemilikan keseluruhan rumpun kompetensinya: 2% sangat baik (A), 9% baik (B), 47% sedang (C), 38% kurang (D), dan 4% sangat kurang (E). Lebih lanjut diinformasikan, bahwa kompetensi yang ditunjukkan oleh guru BK tersebut paling rendah di antara guru-guru lain (guru mata pelajaran). Penelitian itu merekomendasikan pentingnya program pemberdayaan, yakni upaya pembinaan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan konselor dan dirancang secara sistematik. Maka, perlu studi khusus guna mengembangkan perangkat instrumen penyelenggaraan pembinaan kompetensi konselor, sebagai tindak lanjut pasca uji kompetensi yang telah dilakukan untuk diterapkan dalam upaya pengembangan kompetensi konselor lebih lanjut.
Muara dari serangkaian kegiatan penelitian ini adalah dihasilkan produk berupa perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor, yang dirancang berdasarkan profil diskrepansi kompetensi aktual dengan kompetensi standar pada konselor Sekolah Menengah Atas Negeri di Wilayah X. Studi tersebut dipandang krusial untuk dilakukan dan diimplementasikan berdasarkan pemikiran:
Pertama, persoalan dan keluhan tentang pelayanan yang diberikan konselor sekolah masih banyak dilontarkan, meskipun keberadaannya telah memberikan kontribusi positif bagi pencapaian perkembangan diri siswa melalui intervensi pendidikan di sekolah, dan sebagai salah satu ragam tenaga kepen-didikan eksistensi konselor semakin terkuatkan. Keluhan atau kritikan tersebut mengarah pada kurangnya profesionalisme konselor dalam menjalankan tugasnya. Salah satu hal yang ditengarai sebagai penyebab yang menentukan itu adalah rendahnya kompetensi mereka.
Kedua, arus globalisasi yang melanda kehidupan dunia dewasa ini telah melahirkan sejumlah peluang dan tantangan. Pendidikan dan bimbingan pun mendapat tantangan untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya agar melalui pelayanannya, peserta didik dapat menjadi manusia sumber yang berkualitas, mampu menghadapi dan mengatasi arus perkembangan kehidupan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin kompleks. Tuntutan demikian mengimplikasikan perlunya tenaga pendidik, termasuk konselor yang profesional sehingga mampu menyelenggarakan aktifitas pendidikan secara profesional pula.
Ketiga, dapat teramati bahwa telah dilakukan berbagai upaya pengembangan kompetensi konselor melalui berbagai kegiatan in-service seperti penataran, seminar, lokakarya, dan semacammya. Namun tampaknya, itu belum memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan kinerja profesional konselor. Meski demikian, upaya semacam ini bukan berarti tidak bermanfaat. Berbagai faktor dapat mengakibatkan ketidakberhasilan tersebut, diantaranya faktor penyiapan program dan penyelenggaraannya yang tidak dilakukan secara seksama. Oleh karena itu, dipandang penting dilakukan studi yang terkait dengan pengembangan dan penerapan program pengembangan kompetensi konselor sebagai salah satu faktor determinan terwujudnya kinerja konselor profesional, konselor yang handal dalam menjalankan tugas profesinya.
Keempat, keterandalan konselor menjadi penting bagi profesi konselor, karena secara langsung terkait dengan perolehan kepercayaan publik (public trust) maupun akuntabilitas. Sehingga dengan demikian profesi ini semakin diakui tidak hanya sampai pada tataran kebijakan-legalitas formal, tetapi sampai pada tataran praksis yakni pemanfaatan keberadaannya. Oleh karena itu, intervensi yang ditujukan untuk mengembangkan profesionalitas konselor disamping dilakukan melalui pendidikan prajabatan, juga penting dilakukan dalam jabatan yang diselenggarakan secara kontinyu. Hal yang sama penting yakni perencanaannya harus dilakukan secara matang, mencakup substansi maupun metodologinya. Oleh karena itu, perangkat instrumen untuk diterapkan dalam upaya pengembangan kompetensi konselor yang dihasilkan dalam penelitian ini, dilakukan secara seksama melalui prosedur yang sistemik berdasarkan pendekatan ilmiah dibawah payung ”penelitian dan pengembangan”.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kebutuhan konselor untuk mengembangkan kompetensi-nya, yang direfleksikan melalui peta diskrepansi kompetensi aktual konselor dengan kompetensi standar berdasarkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia?
2. Bagaimana gambaran kelayakan konseptual dan operasional ”perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor berdasarkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia” yang dihasilkan dalam penelitian ini sebagai produk hipotetik yang dirancang untuk dapat memenuhi validitas isi baik, sesuai dengan kebutuhan subjek sasarannya, dan memungkinkan untuk diterapkan dengan baik?
3. Bagaimana gambaran efektifitas ”program dan panduannya” sebagai perangkat yang diterapkan dalam upaya pengembangan kompetensi konselor berdasarkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia dalam penelitian ini?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan sebuah perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor berupa program yang selaras dengan Standar Kompetensi Konselor Indonesia dan panduan implementasinya, dirancang berdasarkan kesenjangan profil kompetensi aktual dengan kompetensi standar pada konselor SMA Negeri di wilayah X. Secara operasional, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai:
1. Kebutuhan konselor untuk mengembangkan kompetensinya yang direfleksikan melalui peta diskrepansi kompetensi aktual konselor, dengan kompetensi standar mencakup kompetensi teoretik konselor pada SMA negeri di wilayah X dan keterlaksanaan pelayanan bimbingan dan konselingnya berdasarkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia.
2. Kelayakan konseptual dan operasional “perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor berdasarkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia” yang dihasilkan dalam penelitian ini sebagai produk hipotetik yang dirancang untuk dapat memenuhi validitas isi baik, sesuai dengan kebutuhan subjek sasarannya, dan memungkinkan untuk diterapkan dengan baik.
3. Efektifitas ”program dan panduannya” sebagai perangkat yang diterapkan dalam upaya pengembangan kompetensi konselor berdasarkan Standar Kompetensi Konselor Indonesia yang pada penelitian ini diterapkan kepada konselor SMA negeri di Wilayah X’.
KAJIAN TEORETIK DAN KEBIJAKAN TERKAIT KOMPETENSI KONSELOR SERTA PERANCANGAN PROGRAM PENGEMBANGANNYA
Competence diartikan dalam Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, a Meridien Webster Inc, sebagai:
…. (1) The quality or state of being competent as a: the properties of an embryionic field that enable it to regard in a characteristic manner to an organizer, (2) the knowledge that enables a person to speak and understand a language-compare performance.
Spencer, L.M. & Spencer, S.M. (1993) mengemukakan, “A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-referenced affective and/or superior performance in a job or situation.” Karakteristik-karakteristik yang mendasari berarti bahwa kompetensi adalah suatu bagian kepribadian seseorang yang akan dalam dan tahan lama dan dapat memprediksi tingkah laku dalam keberagaman situasi yang cukup luas dan tugas-tugas pekerjaan. Berhubungan sebab akibat berarti bahwa suatu kompetensi menyebabkan atau memprediksi siapa yang melakukan sesuatu dengan baik atau sebaliknya, sebagaimana diukur berdasarkan standar atau kriteria yang spesifik.
Kompetensi merupakan satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai, yang dimiliki seseorang yang terkait dengan profesi tertentu berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat diaktualisasi-kan atau diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi tersebut. Untuk mengukur tingkat kompetensi konselor dalam penelitian ini digunakan indikator-indikator dari Standard Kompetensi Konselor Indonesia yang disebut sebagai Standar Kompetensi Konselor (SKK), dalam naskah akademik yang disusun oleh Tim ABKIN disajikan dalam Konvensi Nasional XV ABKIN di Palembang 1-3 Juli 2007 (Standar Kompetensi Konselor ini selanjutnya disebut secara bergantian dengan SKK dan SKKI). Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa sebagai pendidik profesional, konselor dituntut memiliki kompetensi akademik dan profesional (dua sisi yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan), serta kualitas dan disposisi kepribadian yang mendukung hubungan layanan bantuan (helping relationship). Lebih lanjut dikemukakan, kompetensi konselor mengandung lima rumpun kompetensi yaitu: (1) Sikap, nilai, dan disposisi kepribadian yang mendukung (13 indikator), (2) Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani (12 indikator), (3) Menguasai kerangka teoretik BK (7 indikator), (4) Menyelenggarakan layanan BK yang memandirikan (7 indikator), dan (5) Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan (6 indikator).
Kompetensi konselor sekolah sebagai suatu keutuhan dari beberapa komponen, tidak hanya menyangkut penguasaan konsep tetapi juga unjuk kerja. Ini mengindikasikan bahwa untuk mengungkap kompetensi, diperlukan beberapa instrumen. Beberapa instrumen yang dipandang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini, yaitu: tes “Uji Kompetensi Teoretik Konselor Sekolah” untuk mengukur penguasaan konsep Bimbingan dan Konseling; pedoman wawancara & observasi, serta pedoman dokumentasi digunakan untuk mengungkap implikasi aktual Bimbingan dan Konseling di sekolah sebagai aplikasi kompetensi yang dimiliki konselor dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling. Namun, meski beberapa instrumen tersebut diterapkan dengan observasi dan tes sebagai prosedur penerapannya, tetap disadari itu belum mencukupi untuk mengukur area kompetensi profesional konselor. Untuk mengukur area kompetensi profesional konselor, seperti diamanatkan oleh ABKIN dalam buku “Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal” sub pembahasan “Asesmen Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor” dapat ditarik simpulan bahwa penguasaan kemampuan profesional hanya dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya: (a) sering disertai dengan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement), (b) pengamatan dilakukan berulang, tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot atau moment opname), (c) assesmen bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan terlebih-lebih penting lagi, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja konselor (2008). Maka dapat dikatakan, bahwa dalam penelitian ini pengukuran kompetensi konselor yang dilakukan cenderung mengarah pada area kompetensi akademik, dan tidak sampai kepada area kompetensi profesionalnya. Lebih lanjut kompetensi akademik yang mendapat porsi garapan lebih banyak adalah area pengetahuan, dan selebihnya pada area keterampilan (praktek) yang dalam hal ini terdapat pada materi “Asesmen Non-tes”, Konseling “Kelompok Behavioral” dan “Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif: Konsep dan Implementasinya di SMA” melalui tugas praktek yang diberikan oleh pengajar.
Hasil dari penelitian ini, diantaranya suatu produk yakni program dan panduan operasionalnya yang teruji efektifitasnya sebagai perangkat utama yang digunakan dalam pengembangan kompetensi konselor. Program tersebut berisi serangkaian kegiatan pembelajaran yang akan disampaikan dengan berbagai metode dan materi, alat dan media belajar serta pelibatan orang-orang sumber yang akan berfungsi sebagai pengajar/fasilitator pembelajaran. Program kegiatan pembelajaran ini disebut sebagai pelatihan yang dikenakan kepada konselor sekolah guna mengembankan kompetensinya. Panduan program merupakan petunjuk teknis operasional dalam mengimplementasikan program. Panduan program memberi penjelasan implementatif mengenai butir-butir tahap implementasi program yang telah selesai dirancang dan divalidasi.
Pelatihan merupakan suatu pendidikan yang dilakukan melalui jalur ’dalam jabatan’. Menurut Danim, S. pelatihan didasari asumsi bahwa, sungguh-pun karyawan telah menjalani proses orientasi ketika mulai meniti karir dan yang sudah lama bekerja telah memahami seluk-beluk pekerjaan, namun dalam praktik tidak jarang muncul kebiasaan buruk dan produktifitas yang rendah (2002).
Penyusunan program pengembangan kompetensi konselor dalam penelitian ini, dirancang berdasarkan pendekatan studi kompetensi (Competency study) yang merupakan salah satu dari empat pendekatan yakni: performance analysis, task analysis, competency study, dan training needs survey dalam menentukan kebutuhan suatu pelatihan yang dikemukakan oleh Craig, R.L, dkk. (1978). Menurutnya, penyusunan kebutuhan pelatihan yang menggunakan pendekatan studi kompetensi dilakukan melalui kegiatan: (a) menanyakan kepada orang kunci (key people) mengenai kompetensi yang mereka pikir atau rasakan diperlukan oleh peserta pelatihan dalam melakukan pekerjaannya, (b) menentukan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dilatihkan, dan (c) menentukan prioritas pengetahuan dan keterampilan yang direkomendasikan sebagai kurikulum atau agenda pelatihan (program pelatihan). Pendapat senada dikemukakan oleh Cushway, B agar pelatihan memiliki peluang besar bagi pencapaian tujuan yang telah dirumuskan, pengelolaan pelatihan dilakukan melalui tahapan: (1) analisis kebutuhan pelatihan, (2) program pelatihan terrencana yang memenuhi kebutuhan di atas, (3) penerapan program pelatihan, (4) evaluasi keefektifan pelatihan yang ada. (Alihbahasa, Rahadjeng, P.T, 1996). Hal ini selaras dengan tahapan penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini, menggunakan Research & Development.
Pogram pelatihan merupakan kegiatan yang sistemik, yaitu kegiatan yang memiliki komponen, proses, dan tujuan program. Berdasarkan sub sistemnya, pelatihan terdiri atas komponen: masukan lingkungan (instrumental input), masukan sarana (instrumental input), masukan mentah (raw input), dan masukan lain (other input). Proses yaitu interaksi edukasi antara masukan sarana, terutama instruktur, dengan masukan mentah, yaitu peserta pelatihan, untuk mencapai tujuan program pelatihan. Pelatihan yang dikembangkan dalam penelitian ini ditujukan untuk mengembangkan kompetensi konselor, yang dengan demikian pada gilirannya nanti mereka dapat memperbaiki kualitas kinerjanya.
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Research & Development (R&D) merupakan pendekatan yang dipilih untuk melaksanakan penelitian ini, dengan embedded mixed method research design (Creswell, 2008). Pendekatan R&D digunakan dalam pengembangan dan validasi suatu produk atau model pendidikan (Borg, W.R., & Gall, M.D, 1983; 1989). Serangkaian kegiatannya, dikemas dalam tiga kelompok kegiatan inti, yaitu: studi pendahuluan, pengembangan dan validasi, serta uji efektifitas produk.
Subjek Penelitian
R&D dengan beberapa tahap kegiatannya, melibatkan subjek beragam. Berdasarkan pentahapan yang dilalui dengan jenis kegiatannya, subjek yang dilibatkan yakni:
Pada tahap studi pendahuluan, dilakukan asesmen kebutuhan ditujukan untuk memperoleh informasi awal yang menggambarkan kebutuhan nyata calon subjek sasaran produk. Kegiatan itu melibatkan calon subjek sasaran produk yakni (1) bertugas sebagai konselor di suatu SMA negeri wilayah X, dan (2) berlatar belakang pendidikan sarjana bimbingan dan konseling. Penentuan subjek yang dilibatkan dalam asesmen kebutuhan dapat dilihat dalam prosedur berikut ini.
1. Mengundang semua konselor berlatar belakang pendidikan sarjana Bimbingan & Konseling yang bertugas pada SMA negeri di wilayah X (teridentifikasi sejumlah 120 orang), untuk melakukan tes uji kompetensi.
2. Sebanyak 84 konselor hadir mengikuti tes uji kompetensi teoretik. Berdasarkan skor yang mereka capai, diambil 50 orang yang memperoleh skor tes terendah.
3. Dilakukan observasi, wawancara, dan studi dokumenter ke sekolah tempat tugas 50 orang konselor tersebut (19 SMA negeri), guna memperoleh data yang komprehensif menyangkut implementasi pelayanan BK di sekolah tersebut.
Pada tahap Pengembangan dan validasi dilakukan melalui: (1) validasi isi produk yang dilakukan oleh para ahli (validator) yang telah ditentukan kriterianya, dan (2) Validasi empiris, dilakukan oleh kolaborator bersama timnya selaku pengelola implementasi program, dan personil calon pengajar. Proses validasi empirik ini dilakukan juga oleh subjek sasaran program sepanjang implementasi program berlangsung.
Pada tahap uji Efektifitas produk, subjek yang dilibatkan yakni: konselor peserta pelatihan subjek penelitian, tim dari Jurusan BK-FIP-UNJ (kolaborator implementasi program), dan personil pengajar dari jurusan BK-FIP-UNJ dan UPI.
Gambaran langkah penentuan subjek penelitian demikian, menunjukkan penggunaan purposive sampling dan sampling jenuh (Sugiyono, 2006).
Pengumpulan Data
Pada studi pendahuluan, dilakukan asesmen kebutuhan untuk memperoleh informasi awal mengenai peta aktual kompetensi teoretik konselor, dan keterlaksanaan layanan bimbingan dan konseling pada SMA negeri di wilayah X. Perolehan data menggunakan ”Tes Uji Kompetensi Teoretik Konselor Sekolah”, “Pedoman Wawancara & Observasi”, serta “Pedoman Dokumentasi”.
Pada pengembangan dan validasi dilakukan validasi isi dan empirik. Validasi isi dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai tingkat validitas isi produk hipotetik, mencakup: (1) kesesuaian isi/materi dengan kebutuhan calon subjek sasaran produk, (2) kejelasan tujuan, (3) kecocokan strategi pelatihan, (4) kecocokan metode penyampaian, serta (5) kemungkinan dukungan dan hambatan implementasinya. Instrumen yang diterapkan dalam validasi produk, yakni: digunakan oleh validator ahli, mencakup; Lembar Validasi Kelayakan Isi Program (Lembar A), Lembar Validasi Kelayakan Panduan (Lembar B), dan Lembar Validasi Kelayakan Operasional – masing-masing topik materi (terdiri dari Lembar C.1.1, C.1.2, C.1.3; C.2, C.3, dan C.4); dan digunakan oleh konselor calon subjek sasaran dalam menilai keberterimaan produk, yakni “Angket Keberterimaan Materi Semlok/Pelatihan”. Di samping itu, bahan/produk hipotetik berupa ”naskah program” dan ”naskah panduan program”. Validasi empirik dilakukan untuk memperoleh masukan dari pihak yang menjadi pelaksana dalam implementasi program beserta panduannya. Instrumen/bahan yang digunakan dalam kegiatan ini, yaitu produk hipotetik (naskah program dan panduan penerapannya).
Pada uji efektifitas produk dibutuhkan data yang diperoleh dari instrumen berikut ini.
1. Skor pengetahuan awal peserta tentang materi pelatihan (pretest), diperoleh dari tes materi pelatihan.
2. Skor hasil belajar setelah peserta menyelesaikan pelatihan (posttest), yang diperoleh dari tes materi pelatihan.
3. Hasil pekerjaan peserta pelatihan berupa ”laporan hasil analisis SWOT” tertuang dalam ”format tugas” dan hasil ”anecdotal record”.
4. Catatan hasil observasi mengenai keterlibatan peserta dalam mengikuti pelatih-an pengembangan kompetensi.
5. Skor kepuasan peserta pelatihan terhadap pelaksanaan program pengembangan kompetensi, diperoleh dari Oppinionaire dan skala kepuasan peserta.
6. Skor keberterimaan peserta terhadap materi pelatihan, diperoleh dari angket Keberterimaan materi semlok/pelatihan.
Analisis Data
Data dalam tahap studi pendahuluan, khususnya dari studi lapangan, dianalisis secara deskriptif-naratif. Pendeskripsian dilakukan berdasarkan pada persentase tingkat kategori dan dimensi dari variabel kompetensi konselor, yang mengindikasikan aspek teoretik-nya. Di samping itu, merujuk pula pada hasil wawancara, rekam data hasil cermatan observasi, dan studi dokumenter yang mengindikasikan aspek praktik implementasi aktual pelayanan BK di lapangan.
Data dalam tahap pengembangan dan validasi, juga dianalisis secara deskriptif-naratif. Itu dilakukan berdasarkan kritik, saran ahli terkait dengan validitas isi dan tingkat peluang penerapan program; jawaban, kritik, dan saran dari kolaborator penyelenggara implementasi, calon personil pengajar, dan subjek sasaran program mengenai kelayakan produk untuk diimplementasikan.
Berbagai data diperoleh dalam tahap uji efektifitas program, untuk mengetahui efektifitas produk pengembangan. Data yang diperoleh dari ”Pedoman Observasi” keterlibatan peserta pelatihan dan Rating Scale serta Oppinionaire kepuasan peserta dalam mengikuti pelatihan, angket keberterimaan peserta terhadap materi semlok/pelatihan, dan hasil pekerjaan peserta berdasarkan penugasan dari pengajar, dianalisis secara deskriptif-kuantitatif disertai deskripsi naratif. Data yang diperoleh melalui pre-test dan post-tes penguasaan materi pelatihan dianalisis dengan statistik uji perbedaan rata-rata, yaitu uji-t (t-test) yang dilakukan melalui bantuan Program SPSS 12,0 for Windows.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hasil Studi Pendahuluan
Hasil asesmen kebutuhan menyangkut kompetensi konselor, menunjukkan peta diskrepansi kompetensi aktual dengan kompetensi standar pada konselor SMA negeri di wilayah X, berikut ini.
1. Sebagian besar konselor kurang menguasai kompetensi teoretik pada kese-luruhan rumpun kompetensi.
2. Hasil asesmen kebutuhan tentang kompetensi teoretik konselor, dan keter-laksanaan pelayanan bimbingan dan konselingnya (kemampuan konselor merancang program, dan menerapkannya), menunjukkan:
a. Rata-rata konselor kurang memiliki sikap, nilai, dan disposisi kepribadian yang mendukung.
b. Sebagian besar konselor kurang menguasai kemampuan guna mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani.
c. Sebagian besar konselor sangat kurang dalam penguasaan kerangka teoretik bimbingan dan konseling; rata-rata sangat kurang menguasai teori, prinsip, dan prosedur bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, layanan, teknik dan prosedur penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
d. Rata-rata konselor kurang melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan atau mengindikasikan banyak diantara kegiatan yang telah terprogram, ternyata tidak diimplementasikan.
e. Rata-rata konselor sangat kurang dalam mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan.
Produk yang Dikembangkan
Berdasarkan validasi isi dan empirik, perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor berdasarkan SKKI telah memenuhi validitas isi baik, sesuai dengan kebutuhan subjek sasarannya, dan memungkinkan untuk diterapkan dengan baik. Singkatnya, perangkat tersebut telah memiliki kelayakan konseptual dan operasionalnya.
Berdasarkan uji efektifitas produk, perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor berdasarkan SKKI hasil penelitian ini, telah teruji secara signifikan dapat mengembangkan kompetensi konselor.
Keunggulan dan Keterbatasan Produk
Keunggulan Program:
1. Dilihat dari proses penyusunannya, dilakukan secara sistemik dan tahapan kegiatan yang ada dilalui dengan tertib.
2. Perancangan substansi dan strategi penyampaian program sungguh-sungguh memperhatikan kesesuaiannya dengan kebutuhan peserta sasaran program.
3. Program juga telah melalui penilaian para pakar bimbingan dan konseling, sebelum diimplementasikan dan dievaluasi untuk mengetahui efektifitasnya.
4. Program telah diuji efektifitas penerapannya berdasarkan panduan implementasinya.
Keterbatasan Produk:
1. Program pengembangan kompetensi konselor hasil penelitian ini berisi area kompetensi yang terbatas pada teori dan praktik berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling khususnya di seting Sekolah Menengah Atas. Kompetensi terkait dengan penguasaan teori, mencakup materi: “Pendalaman BK Komprehensif (Konsep dan implementasinya di SMA)”, “Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Menengah (Usia Remaja) dan Implikasinya Terhadap Bimbingan dan Konseling”, “Asesmen non-tes”, “Konseling Kelompok Behavioral”, serta “Penyusunan Program BK Komprehensif (Konsep dan Implementasinya di SMA)”. Kompetensi terkait dengan keterampilan praktik, yakni praktik melakukan analisis SWOT dan membuat laporannya, serta membuat catatan anekdot yang didahului dengan melakukan observasi terhadap perilaku yang akan dijadikan objek bagi pembuatan catatan anekdot tersebut.
2. Implementasi program pengembangan kompetensi konselor ini merujuk pada panduan yang menyertainya, dan menerapkan prinsip kerja yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga kurang atau bahkan tidak dapat efektif bila dilaksanakan tanpa merujuk panduannya atau tidak sesuai dengan prinsip kerja tersebut.
Tantangan Implementasi Produk
Kemauan menjadi faktor penting utama disamping faktor-faktor penting lainnya dari diri konselor untuk terlibat aktif sebagai subjek sasaran program pengembangan kompetensi ini. Faktor kemauan konselor, harus dirangsang kemunculannya karena hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa sebagian besar konselor kurang melakukan aktifitas belajar secara berkelanjutan untuk perkembangan personal dan profesional.
Program pengembangan kompetensi konselor ini, dirancang bagi konselor yang telah ditentukan karakteristiknya (terbatas) maka penyelenggara implementasi program harus memastikan bahwa konselor yang akan datang/sebagai peserta program betul-betul mereka yang telah ditentukan sebelumnya.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Berdasarkan uji efektifitas produk, perangkat instrumen pengembangan kompetensi konselor berdasarkan SKKI hasil penelitian ini, telah teruji secara signifikan dapat mengembangkan kompetensi konselor. Dengan demikian, program pengembangan kompetensi konselor dengan prosedur serupa ini merupakan program yang direkomendasikan untuk mengembangkan kompetensi pada konselor yang bertugas di SMA.
Rekomendasi
1. LPTK Penyelenggara Pendidikan Profesional Konselor
Hasil penelitian ini direkomendasikan menjadi bahan pertimbangan atau inspirasi dalam merancang, merevisi, atau mengembangkan materi dan strategi perkuliahan (kurikulum) pada pendidikan profesional konselor, khususnya pada materi-materi yang ditengarai kurang dikuasai oleh konselor sehingga menjadi objek pengembangan program pengembangan kompetensi konselor dalam penelitian ini.
a. Terkait dengan penyempurnaan isi dan strategi penyampaian kurikulum hendaknya dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal :
1) Pada mata kuliah konseling individual maupun kelompok memuat kegiatan mensimulasikan dan mempraktekkan layanan bimbingan dan konseling dengan memperhatikan variasi cakupan masalah yakni pribadi, sosial, belajar, serta karir dengan berbagai pendekatan secara sungguh-sungguh.
2) Pada mata kuliah konseling individual maupun kelompok sebaiknya dimasukkan materi “evaluasi keberhasilan konseling” menurut pendekatan yang digunakan.
3) Pada mata kuliah studi kasus hendaknya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengobservasi pelaksanaan praktik “konferensi kasus” yang dilakukan oleh mahasiswa (senior) dalam kegiatan praktik PPL kasus di sekolah mitra.
4) Secara kontinyu LPTK hendaknya mengadakan pertemuan dengan para konselor supervisor mahasiswa dalam melaksanakan praktek PPL-BK dari berbagai sekolah, guna mendiskusikan temuan terkait dengan pelaksanaan PPL mahasiswa. Diskusi dapat memberikan informasi dalam kerangka meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan profesional konselor.
b. Membuka program dengan kurikulum khusus bagi guru pembimbing yang masih berlatar belakang pendidikan D/3 jurusan/program studi bimbingan dan konseling untuk melanjutkan S-1, guna mendukung percepatan dan pemerataan secara kuantitas maupun kualitas tersedianya guru pembimbing/konselor yang berlatar pendidikan S-1 program studi bimbingan dan koseling, dan memiliki kesiapan untuk melanjutkan pendidikan profesi.
c. Segera mengembangkan program pelatihan sebagai kelanjutan dari program pengembangan kompetensi yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Berikut ini kurikulum yang sesuai kebutuhan subjek sasaran program untuk diterapkan dalam program kelanjutan tersebut.
1) Program Pelatihan Konseling individual dengan mempraktekkan teknik-teknik yang praktis untuk diterapkan pada kasus-kasus faktual di sekolah masing-masing konselor peserta pelatihan, dan dilakukan supervisi dalam proses pelaksanaan prakteknya.
2) Program Pelatihan “Konseling Kelompok” dengan mempraktekkan teknik-teknik yang praktis untuk diterapkan pada kasus-kasus faktual di sekolah masing-masing konselor peserta pelatihan, dan dilakukan supervisi dalam proses pelaksanaan prakteknya.
3) Program Pelatihan “Asesmen Non-tes dalam Bimbingan dan Konseling” dengan mempelajari konsep hingga praktek. Setiap konselor peserta pelatih-an menghasilkan suatu perangkat instrumen yang berkualitas dan relevan untuk diterapkan dalam layanan bimbingan dan konseling, serta dalam proses pengembangannya dilakukan supervisi.
4) Program Pelatihan “Perancangan program BK” dengan mempelajari konsep hingga praktek. Setiap konselor peserta pelatihan menghasilkan suatu “Program Bimbingan dan Konseling” berdasarkan kebutuhan sekolah masing-masing, dan dalam proses pengembangannya dilakukan supervisi.
5) Program Pelatihan “Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling” dengan mempelajari konsep hingga praktek. Setiap konselor peserta pelatihan melakukan praktek mengevaluasi program bimbingan dan konseling di sekolah masing-masing, dan membuat laporannya. Dalam proses pelaksana-an kegiatan tersebut dilakukan supervisi.
6) Program Pelatihan “Metode Penelitian” dengan mempelajari konsep hingga praktek. Setiap konselor peserta pelatihan melakukan praktek meneliti dengan topik terkait dengan bidang bimbingan dan konseling, dari meran-cang proposal hingga melaksanakan penelitian dan menghasilkan suatu laporan penelitian. Dalam proses kegiatan tersebut dilakukan supervisi.
d. Menggiatkan penelitian yang bermuara pada pengembangan praktik penerapan berbagai pendekatan konseling dalam konteks Indonesia guna memperkaya khasanah keilmuan konseling lintas budaya.
e. Memikirkan dan mengembangkan strategi pengembangan kompetensi dosen agar dalam LPTK penyelenggara pendidikan profesional konselor tersebut me-miliki tenaga-tenaga ahli yang spesifik menekuni pendekatan konseling ter-tentu, disamping keahliannya sebagai pengampu mata kuliah-mata kuliah tertentu.
2. Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
ABKIN sebagai asosiasi profesi konselor, perlu melakukan upaya yang mendukung internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional dalam melaksanakan tugas profesional para konselor. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan berkoordinasi atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, yakni:
a. Melakukan pengawasan dan supervisi terhadap berbagai hal terkait dengan implementasi isi buku “Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal” serta pemikiran yang mendasarinya pada tataran praksis di lapangan, seraya terus melakukan penyempurnaan yang relevan.
b. Mendorong realisasi penyelenggaraan Program Pendidikan Profesi Guru BK Prajabatan (PPG BK), yang dalam bulan September 2009 masih pada taraf pelaksanaan verifikasi lapangan dilakukan oleh tim yang ditugaskan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi kepada LPTK calon penyelenggara program PPG yang telah dinyatakan lulus didasarkan atas hasil evaluasi dokumen usulannya untuk menyelenggarakan program PPG BK.
c. Melakukan asesmen untuk membuat pengelompokkan konselor berdasarkan area kompetensinya, dan terhadap kelompok-kelompok yang telah dibentuk tersebut dilakukan pembinaan secara berkelanjutan berdasarkan program pe-ngembangan kompetensi yang dirancang menurut hasil asesmen kebutuhan yang telah dilakukan.
d. Secara kontinyu menyelenggarakan kegiatan yang memberi kesempatan kepada para konselor supervisor mahasiswa calon konselor untuk bertukar pengalaman (dengan sejawat dari berbagai daerah dan mendiskusikan temuan-temuan terkait dengan praktik penyelenggaraan PPL-pendidikan prajabatan konselor).
e. Mengadakan lomba penelitian dengan tema-tema tertentu bagi konselor dan pendidik konselor sesuai dengan kebutuhan pengembangan profesi BK S-1.
f. Mangadakan pemilihan guru pembimbing/konselor teladan, dengan memasuk-kan ”penelitian” dan ”artikel ilmiah-hasil penelitian” yang telah dilakukan dan ditulis oleh konselor sebagai bagian dari butir kriteria penilaian.
g. Melanjutkan salah satu strategi pengembangan kompetensi mahasiswa pra-jabatan konselor yang telah dilakukan selama ini, yaitu berkoordinasi dengan LPTK penyelenggara pendidikan profesional konselor untuk melibatkan mahasiswa dalam berbagai penyelenggaraan kegiatan organisasi profesi di tingkat propinsi maupun nasional, baik dalam kepanitiaan maupun sebagai peserta.
h. Melakukan kaji ulang rumusan kode etik, salah satu hal yang perlu dipikirkan dan dikembangkan adalah pengaturan pemberian sanksi bagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh konselor sesuai dengan kualifikasinya.
3. Pemerintah
Pemerintah melalui instansi-instansi terkait maupun bersama organisasi profesi konselor (ABKIN) perlu melakukan upaya:
a. Memperbaharui data guru pembimbing/konselor di lapangan setiap jangka waktu tertentu secara kontinyu, baik jumlah maupun kualifikasi pendidikannya guna memperoleh peta pemerataan dalam hal kuantitas dan kualitas guru pembimbing. Data tersebut digunakan untuk membuat kebijakan yang terkait dengan penyediaan guru pembimbing/konselor dalam ratio yang ideal pada setiap sekolah menengah umum maupun kejuruan dengan kualifikasi pendidikan minimal S-1 BK dan pada saatnya kelak minimal semua konselor telah melalui program pendidikan profesi (konselor tersertifikasi).
b. Mengupayakan percepatan dan pemerataan bagi guru pembimbing/konselor yang masih berlatar belakang pendidikan D-3 jurusan/program studi bimbingan dan konseling untuk melanjutkan pendidikan S-1 program studi BK.
c. Membenahi sistem penempatan guru pembimbing/konselor dengan menutup kran yang selama ini terbuka bagi guru-guru yang berlatar pendidikan non bimbingan dan konseling untuk beralih fungsi menjadi guru pembimbing/ konselor, maupun dalam penerimaan pegawai negeri sipil calon guru pembim-bing/konselor.
d. Membenahi sistem pengangkatan pengawas guru pembimbing/konselor dengan menutup kran yang selama ini terbuka bagi kepala sekolah/guru yang berlatar pendidikan non bimbingan dan konseling untuk diangkat menjadi pengawas melaksanakan supervisi kepada guru pembimbing/konselor di lapangan. Selan-jutnya, dengan latar belakang pendidikan mereka minimal S-1 BK serta penga-laman praktik sebagai konselor, memberikan bekal untuk menjalankan tugas-nya sebagai pengawas dalam melakukan supervisi kepada guru pembimbing/ konselor, tidak hanya melakukan pendekatan secara administratif, tetapi lebih kepada substantif yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara akademik dalam kerangka pandang bimbingan dan konseling.
e. Memantau dan melanjutkan fasilitasi perencanaan berbagai program yang terkait dengan upaya pengembangan kompetensi konselor, baik secara konsep maupun implementasinya melalui pendidikan prajabatan dan dalam jabatan.
4. Kepala Sekolah
Sikap positif kepala sekolah yang direkomendasikan untuk ditunjukkan dalam kebijakan yang dibuatnya guna mendukung penyelenggaraan bimbingan dan konseling profesional, berdasarkan temuan penelitian ini yaitu:
a. Mengkaji berbagai hal yang relevan dalam kerangka memenuhi kebutuhan menambah personil konselor pada masing-masing sekolah yang dipimpinnya.
b. Memberikan fasilitas yang representatif untuk penyelenggaraan BK profesional
c. Pembuatan kebijakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut senan-tiasa memperhatikan pelaksanaan bimbingan dan konseling profesional.
d. Memberikan kemudahan bagi guru pembimbing/konselor untuk mengikuti program pengembangan kompetensi profesionalnya.
e. Merespon secara positif setiap kesempatan yang diberikan kepadanya untuk mengikuti berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan pemahamannya dan/atau keterampilannya menyelenggarakan bimbingan dan konseling profesional di sekolah.
5. Konselor
Konselor sebagai individu subjek sasaran program pengembangan kompetensi, hendaknya:
a. Mengembangkan ”berfikir positif” dalam melaksanakan tugas profesinya memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
b. Memotivasi diri untuk dapat menghadapi situasi yang kurang mendukung penyelenggaraan bimbingan dan konseling profesional di sekolah, selanjutnya terus mengupayakan perbaikannya.
c. Merespon secara positif, kesempatan yang diberikan kepadanya untuk mengikuti berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kompetensinya dalam menyelenggarakan bimbingan dan konseling profesional di sekolah.
d. Merespon secara positif kesempatan yang diberikan kepadanya untuk mem-berikan kontribusi bagi pengembangan profesi konselor.
e. Mengapresiasi setiap upaya yang telah dilakukannya terkait dengan tugas profesi memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, agar dapat menumbuhkembangkan optimisme dalam menjalankan tugasnya.
6. Peneliti Lanjut
Kepada peneliti lanjut, disarankan untuk:
a. Segera mengembangkan program kelanjutan dari program yang telah dikembangkan dalam penelitian ini, dan merealisasikan implementasinya dengan kurikulum sesuai kebutuhan subjek sasaran program seperti yang telah dipaparkan pada butir 1.c.1) – 1.c.6).
b. Menggunakan rancangan eksperimen sungguhan dalam menguji efektifitas program agar diperoleh keyakinan empirik dan validitas internal yang tinggi terhadap efiktifitas program. Atau, tetap menggunakan pra-eksperimental desain tetapi dengan kelompok komparasi (intec-group comparison) yang dapat memberi keyakinan empirik atas pengembangan kompetensi dengan lebih meyakinkan dibanding menggunakan kelompok tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) Kerjasama dengan Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2008). Rambu-rambu Analisis Potensi Siswa, Layanan Akademik dan Pengembangan Diri dalam KTSP untuk SMA.
-------, (2008). Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling: Alur Pikir Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Ahman. (2007). ”Pengembangan Profesionalisme Konselor di Indonesia: Menyongsong Era Kredensialisasi-sertifikasi, Akreditasi dan Lisensi Profesi Bimbingan dan Konseling”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Psikologi Pendidikan dan Konseling pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan, 21 November.
Asrori, M. (1990). Unjuk Kerja Petugas Bimbingan dalam Melaksanakan Konseling Dikaji dari Latar Belakang Pendidikan dan Iklim Organisasi Sekolahnya. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan .
Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Bartlett, J. R. (2004). “Needs assessments: the key successful and meaningful school counseling programs”, dalam Erford (ed.) Professional school counseling, a handbook of theories, programs, and practices. Texas: Caps press.
Borg, W.R., & Gall, M.D. (1983). Educational Research: An Introduction. New York New Jersey: Prentice Hall, Inc.
-------, (1989). Educational Research: An Introduction. New York New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Bowers, L.J., dan Hatch, A.P. (2002). The National Model for School Counseling Programs. American School Counselor Association.
Craig, R.L, dkk. (1978). Training and Development Handbook: A Guide to Human Resource Development. New York: McGraw-Hill Book Company.
Creswell, J.W. (2008). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. 3th New Jersey: Pearson Education, Inc.
Cushway, B. (1996) Human Resource Management: Manajemen Sumber Daya Manusia (Perencanaan-Analisis-Kinerja-Penghargaan). Alih bahasa: Rahadjeng, P.T. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Dahlan, M.D. (2005). Pendidikan dan Konseling di Era Global: dalam Perspektif Prof.Dr.M.Djawad Dahlan. Bandung: RIZQI press.
Danim, S. (2002). Inovasi Pendidikan: dalam Upaya peningkatanProfesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depertemen Pendidikan Nasional. (2008). Panduan Profesi Guru Prajabatan.
Erford, B.T. (ed.). (2004). Professional School Counseling: A Handbook of Theories, Programs & Practices. Austin, Texas: CAPS Press.
Fraenkel, R.J., & Wallen, E.N. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill, Inc.
Furqon, (2000). Peningkatan Kinerja Profesional Guru Pembimbing melalui Penelitian Kolaboratif Guru – Dosen (Pengembangan Model Penelitian Tindakan Kolaboratif sebagai Alternatif Peningkatan Kinerja Profesional Guru Pembimbing di SMU Kota dan Kabupaten Bandung). Laporan Penelitian. FIP UPI Bandung : tidak diterbitkan.
Gladding, S.T. (1992). Counseling A Comprehensive Profession. 2nd ed. New York: Macmillan Publishing Companya.
-------, (1995). Group Work: A Counseling Specialty. New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice-Hall
Gysbers, N.C., & Henderson, P. (1988). Developing and Managing Your School Guidance Program. Washington, D.C.: American Association for Counseling and Development.
-------, (2006). Developing and Managing Your School Guidance and Counseling Program, 4th edition. Alexandria: American Counseling Association.
Hajati, K. (2007). Pengembangan Instrumen Pengukur Kompetensi Konselor Sekolah. Laporan Penelitian. Jakarta: FIP-Universitas Negeri Jakarta: tidak diterbitkan.
Kartadinata, S. (2003). “Kebijakan, Arah, dan Strategi Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling di Indonesia, dalam Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju ke arah Standar Internasional”. Kumpulan Makalah Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Bandung: Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia.
Kartadinata, S. (2007). “KTSP Pengembangan Diri Hikmah atau Musibah: Tinjauan Kritis Implementasi KTSP Pengembangan Diri dari Perspektif Bimbingan dan Konseling”. Materi pada Seminar Nasional, Bandung.
Kerlinger, F.N. (1990). Fundations of Behavioral Research. 3rd ed. ( Alih bahasa L.R. Simatupang, dan H.J. Koesoemanto). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Laporan Hasil Uji Kompetensi Guru SMA dan SMK DKI Jakarta Tahun 2005. Penelitian. Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta, kerjasama dengan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Tidak diterbitkan.
Mangkunegara, P. (2003). Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama.
Marjohan. (1993). Tingkat Penguasaan Konselor Kemampuan Profesional Konseling dan Penerapannya dalam Layanan Bimbingan di Sekolah: Studi Deskriptif-Analitik terhadap Para Konselor Negeri di SMA Kotamadya Padang. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
McMillan, J.H., & Schumacher, S. (1993). Research in Education A Conceptual Introduction. New York: Harper Collins College Publishers.
Murad, A., (2003). “Perumusan Profil Konselor Standar”. Makalah pada Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling. Bandung.
Natawidjaja, R. (2006). “Pengembangan Program Pendidikan Akademik dan Profesi Bimbingan dan Konseling pada Sekolah Pascasarjana”. Makalah pada Seminar Nasional. Bandung.
Nurhisan, A.J. (1993). Kualitas Hubungan Guru Pembimbing dengan Siswa dalam Penyuluhan dan Hubungannya dengan Perilaku Efektif Siswa. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
-------, (1998). Bimbingan Komprehensif: Model Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (Studi Pencarian Model Bimbingan untuk Peningkatan Mutu dan Sistem Manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling di Beberapa SMU Negeri Jawa Barat). Disertasi pada Program Pascasarjana IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Hasil Kongres X ABKIN di Semarang 15-16 April .
-----------, (2007). “Standar Kompetensi Konselor (SKK)”. Makalah. pada Konvensi Nasional XV ABKIN di Palembang 1-3 Juli.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 74 tahun 2008 tentang Guru.
Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Scarra, D.T. (2004). School Counseling: Foundations and Contemporary Issues. Canada: Brooks/Cole.
Schmidt, John.J. (1999). Counseling in Schools: Essential Services and Comprehensive Programs. 3rd. Boston: Allyn and Bacon.
Shertzer and Stone. (1980). Fundamentals of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.
Sugiyono, (2006). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D). Bandung: Alfabeta.
Suherman, dkk. (2008). Bimbingan & Konseling: Konsep & Aplikasi.Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Suprijanto, (2007). Pendidikan Orang Dewasa: dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Ritchie, M.H. (1990). Point/Counterpoint: a response—Counseling is not a profession- yet. Dalam Counselor Education and Supervision, Vol. 29 (4) 220-227.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional). (2003). Bandung: Fokusmedia.
Wiersma, W., (1991). Research Methods in Education: An Introduction. 5th Ed., Boston: Allyn and Bacon.
Yusuf, S & Nurihsan, J. (2003). “Panduan Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling Berbasis Perkembangan”, Makalah pada Konvensi Nasional ABKIN XIII, Bandung
*) Kartika Hajati, dosen pada Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP Universitas Negeri Jakarta (UNJ), kandidat doktor pada bidang bimbingan dan konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
sangat bermanfaat buat pengetahuan bru..
BalasHapusnice, alhamdulillah
BalasHapusboleh minta instrumennya?
BalasHapus