BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Asal mula Thailand secara tradisional dikaitkan dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, yaitu kerajaan Sukhotai yang didirikan pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian diteruskan kerajaan Ayutthaya yang didirikan pada pertengahan abad ke-14 dan mempunyai wilayah kekuasaan yang lebih besar dibandingkan Sukhotai. Kebudayaan Thailand dipengaruhi kuat oleh Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa negara besar Eropa dimulai pada abad ke-16. Meski mengalami tekanan yang kuat, Thailand tetap bertahan sebagai satu-satunya negara diAsia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh negara Eropa. Namun demikian, pengaruh barat termasuk ancaman kekerasan, mengakibatkan berbagai perubahan pada abad ke-19 dan diberikannya banyak kelonggaran bagi pedagang-pedagang Britania.
Negara Thailand mengambil bentuk Monarki Konstitusional dengan sistem demokrasi parlementer, dimana kekuasaan dan wewengan raja bersifat terbatas. Sedangkan urusan pemerintahan negara dijalankan oleh Perdana Mentri, yang dilantik sang Raja dari anggota-anggota Parlamen dan biasanya adalah pemimpin partai mayoritas.
- Rumusan Masalah
1. Perkembangan islam dithailand
2. Problema Minoritas Muslim Thailand
3. Minoritas Muslim Thailand dan Kebijakan Pemerintah
- Tujuan Masalah
1. Ingin mengetahui dan menambah wawasan tentang perkembangan Islam diThailand.
2. Ingin Mengetahui seperti apa problema minoritas Muslim Thailand.
3. Ingin mengetahui seperti apa minoritas Muslim Thailand dan kebijakan Pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan islam di thailand
Sebelum Islam masuk dan berkembang di thaland, masyarakat disana telah [1]menganut suatu kepercayaan yang kuat yaitu Hinduisme dan Budhahisme.
Mengenai masuknya islam ketahailand ada beberapa pendapat para ahli sejarah.
1. Pada abad- 10 Islam masuk didaerah Thai dan masuknya Islam disana merupakan negeri melayu yang pertama menerima Islam, hal ini dibuktikan dengan adanya cacatan sejarah diNasti Sung.S.Fatmi dalam buku”Islam comes to Malaya”. Disana dijelaskan bahwa Wekh yang berasal dari fattam menjalan perdagangan.
2. Sebagian sejarahwan menelusuri dari zaman Ayuthaya pada abad ke-13 ketika orang dan persa yang bersaudara yaitu Syekh Ahmad dan Muhammad Syaid, yang waktu itu disebut “Chaek Chan Sen” suatu cabang mazhab Syai’ah menetap dikerajaan tersebut dan melakukan perdagangan yang luas.
Dan jumlah pemeluknya, Islam adalah agama kedua yang cukup penting di [2]Muangthai, menurut gambaran resmi, masyarakat muslim merupakan kelompok minoritas dalam kerajaan. Lepas dari sekedar mereka sebagai minoritas, tantangan kaum muslim melayu terhadap pemerintah diperumit oleh dominasi demografi dan kedekatan geografis mereka. Karna mereka merupakan penduduk mayoritas di empat provinsi.
B. Problema Minoritas Muslim Thailand
Sejak tahun 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih Negara-negara diMelayu Utara: yaitu Patani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala yang kemudian menjadi provinsi di Thailand sementara negara di Melayu Utara yang lain: Keda, Kelantan, Perlis dan Terengganu. Oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari malaysia. [3]
Sejak penyatuan kelima negara di Melayu Utara kedalam bagian dari Thailand, terjadi benturan budaya antara Muslim melayu dan Bugis Thailand. Pada awal pemerintahanThailand yang dikuasai Jendral Luang Pibulsongkram, yang memimpin 1938-1944, Marshal Sarid Thanarat, 1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya, kebijakan nasionalisme budaya Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi- upaya penggunaan budaya Thai secara kuat diseluruh Thailand, termasuk wilayah Selatan, membuat benturan budaya yang keras, yang menimbulkan resistensi sangat kuat bagi Muslim Melayu di Thailand Selatan. Dua peristiwa yang sangat mengenaskan pada tahun 2004 sangat menarik perhatian semua pihak baik di Thailand maupun di luar Thailand.
- Minoritas Muslim Thailand dan Kebijakan Pemerintah
Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi masalah yang sama dibangsa Moro diFilifina. Problem yang dihadpi oleh kaum Muslim Thailand dan Filifina adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non-Muslim dalam negara yang sama. Mereka berada dalam dilema bagaimana melakukan rekonsilasi antara keyakinan Islam Fundamental mereka dengan perlunya menjadi warga negara yang baik (Full citizenship) dinegara-negara yang didominasi oleh non-Muslim.
Persoalan integrasi dan asimilasi di satu sisi serta bagaimana melestarikan nilai- [4]nilai budaya dan agama adalah persoalan mendasar bagi kedua kelompok minoritas Muslim di dua negara ini. Kebijakan pemerintah yang memaksakan asimilasi dan integrasi- dalam perspektif masyarakat Muslim di kedua negara itu dipandang tidak fair, karena dapat membahayakan dan menghilangkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim. Hal ini dapat dimengerti, karena secara kultural, baik dari segi Agama, bahasa dan budaya, minoritas Muslim di Thailand maupun Filipina sangat berbeda dengan teman senegaranya. Muslim Thailand misalnya, meski dari segi politik, merupakan bagian dari bangsa Muangthai, mereka merupakan bagian dari bangsa Melayu berbahasa dan berbudaya Melayu, dan secara geografis terletak berbatasan dengan negara Malaysia, yang penduduknya juga mayoritas bangsa Melayu, berbahasa dan berbudaya Melayu. Andaikan mereka dapat memilih, mereka nampaknya akan lebih memilih menyatu dengan negara Malaysia atau memisahkan diri menjadi negara tersendiri. Karena itu, kebijakkan integrasi dan asimilasi pemerintah mendapat respon yang keras dari minoritas dikedua negara itu dan telah melahirkan konflik bersenjata antara kelompok minoritas dan pemerintahan.
Minoritas Muslim Thailand (Akar Sejarah)
Minoritas Muslim di Muangthai tinggal di empat provinsi bagian selatan: Pattani, Yala, Satun dan Narathiwat, juga termasuk sebagian dari provinsi Songkhala. Seluruh provinsi ini dulunya termasuk wilayah Kesultanan Petani. Kapan tepatnya Kerajaaan Petani beralih ke Agama Islam, hingga kini belum diketahui dengan pasti. Namun proses islamisasi dikalangan penduduknya secara lebih intensif terjadi pada abad ke-12
Hingga ke-15 Syekh Syaid dari Kampong Pasai memainkan peranan yang sangat menentukan bagi proses Islamisasi kerajaan Patani yang berikutnya berubah menjadi Kesultanan. Dengan berdirinya kesultanan Patani, wilayah ini kemudian tidak hanya meneguhkan diri sebagai pusat kekuasaan politik dan dunia dagang, namun juga menjadi tempat persemaian wacana agama dan intelektual. Dengan ketiga unsur tersebut, Patani pada zaman kesultanan termasuk suatu wilayah yang kosmopolit.
Institusi sosial politik kesultanan setidaknya telah berupaya menopang proses [5]Islamisasi dengan cara mempraktekan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun usaha yang lebih lanjut untuk mempertajam akar Islamisasi masyarakat ini terhalang oleh instabilitas politik kesultanan, terutama setelah Patani masuk dalam priode “ratu-ratu patani” (976-1101/ 1568-1688). Instabilitas tersebut berawal ketika Raja Kali berusaha memberontak dan mengambil alih singgasana dari Raja Lela. Dalam perjalanan historis berikutnya, Patani disamping mengalami konflik internal juga harus berhadapan dengan gencarnya upaya kerajaan Thai-Budha di Chao Phraya (kemudian menjadi Bangkok, ibu kota Thailan sekarang) yang berusaha menyatukan kesulthanan Patani kedalam wilayah kekuasaannya. Usaha ini berhasil dengan jatuhnya kesulthanan Patani pada tahun 1202/1786. Meskipun kesultanan Patani telah jatuh, namun kebijakan invansi damai oleh kerajaan Thai sedikit membantu, sehingga tidak membuat kaum Muslim Patani hanya tinggal sejarah. Dalam taraf tertentu Patani masih menjadi daerah tujuan berkunjung, dan tempat mengeyam pendidikan dini bagi anak-anak Muslim.
Namun demikian, disisi lain, tradisi dan peradaban Hindu-Budha cenderung menguat setelah kesultanan Patani mengalami masa kemundurannya hingga institusi politik kesultanan tersebut benar-benar jatuh kekuasaan Thai Budha pada abad ke-18. Kekuatan dan keunggulan thai Budha atas kemudian Patani Islam semakin terbukti ketika Budha berhasil menempel pada institusi politik Thai modren, yang kemudian juga berhasil menempel pada idiologi negara Thailand.
Secara kultural, baik dari segi agama, bahasa dan budaya, minoritas Muslim Muangthai yang tinggal diThailand Selatan, merupakan bagian dari bangsa Melayu, apalagi tempat tingggalnya secara geografis berbatasan dengan negara-negara Melayu Malaysia. Namun dari segi politik, mereka merupakan bagian dari bangsa Muanggthai, sejak mereka secara definitif dimasukan kedalam kerajaan Thai, dibawah kekuasaan Chulalongkorn atau Rama v pada tahun 1902. Letak geografis keempat provinsi itu, serta ikatan-ikatan budayanya telah membantu memupuk suatu rasa keterasingan dikalangan mereka terhadap lembaga sosial, budaya dan politik Thai.
Sebenarnya Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari [6]kerajaan Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada dibawah pemerintahan Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang seagama, sebahasa, sebudaya, dan sebangsa. Dibawah pemerintahan Muangthai yang menganut Agama Budha sebgai agama resmi negara, mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai minoritas. Disamping itu, mereka terisolasi dan birokrasi negara dan pemerintahan, bukan saja karena pusat pemerintahan jauh dari daerah itu, dan perasaan terasing dari birokrasi negara, tetapi disebabkan oleh perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan. Sehingga asimilasi dan integrasi yang diharapkan pemerintah menjadi sulit tercapai. Kaum Muslim Thailand sebaliknya terkesan cenderung mengisolasi diri, hal itu karena mengalami kesulitan beradaptasi.
Perasaan terasing dan ketidak puasan itu semakin kuat ketika kaum bangsawan Patani dicopot dari semua kekuasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan kepada birokrat Bangkok atau dari provinsi-provinsi Utara, yang memiliki bahasa, agam dan budaya yang berbeda dengan masyarakat Muslim Patani.
Karena itu, yang menjadi persoalan bagi minoritas Muslim diThailand sejak [7]dulu adalah: bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam proses politik sebuah negara yang didasarkan atas kosmologi Buddhis, birokrasi yang mewakili negara didominasi oleh orang Thai-Buddhis. Berbagai upacara dan ritual kenegaraan seluruhnya Buddhis dari segi bentuk dan isinya, dan yang paling penting adalah bahwa birokrasi memiliki kekuasaan untuk mengubah nilai-nilai dan lembaga-lembaga sosial dan budaya, termasuk nilai-nilai keagamaan untuk disesuaikan denagn kebutuhan negara. Dalam aspek ekonomi, Thailand pernah menikmati rata-rata pertumbuhan tertinggi didunia dari tahun 1985, yaitu rata-rata 9% pertahun. Tekanan spekulatif yang meningkat terhadap mata uang Thailand, Bath, pada tahun 1997 menyebabkan terjadinya krisis yang berdampak pada melemahnya sektor keuangannya dan memaksa pemerintah untuk mengambangkan Bath. Setelah sekian lama dipatok pada nilai 25 Bath untuk satu dolar AS, Bath mencapai titik terendahnya pada kisaran 56 Bath pada januari 1998 dan ekonomi melemah sebesar 10,2% pada tahun yang sama. Krisis ini meluas kekrisis Finansial Asia. [8]
Konflik diThailand Selatan sangat kental dngan nilai-nilai Agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buthis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-,masing masyarakat. Apabila dilihat lebuh dekat, identitas Muslim Melayu diSelatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya ditiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat memiliki identitas keislaman dan kemelayuan yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu daripada dengan etnis lain, terutama Thai. Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat ditiga provinsi ini, diatas 70% dibandingkan dengan provinsi lain diSelatan: Satun dan Songgkhala.
Ekonomi Thailand mengalami pemulihan dari krisis pada tahun 1999, menguat 4,2 % dan tumbuh 4,2 % dan tumbuh 4,4% pada tahun 2000. Pertumbuhan ini, sebagian besar merupakan hasil dari ekspor yang kuat yang meningkat sekitar 20% pada tahun yang sama.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sebelum Islam masuk dan berkembang di Thailand, masyarakat disana telah menganut suatu kepercayaan yang kuat yaitu Hinduisme dan Budhahisme. Secara kultural, baik dari segi agama, bahasa dan budaya, minoritas Muslim Muangthai yang tinggal diThailand Selatan, merupakan bagian dari bangsa Melayu, apalagi tempat tingggalnya secara geografis berbatasan dengan negara-negara Melayu Malaysia. Namun dari segi politik, mereka merupakan bagian dari bangsa Muangthai, sejak mereka secara definitif dimasukan kedalam kerajaan Thai, dibawah kekuasaan Chulalongkorn atau Rama v pada tahun 1902. Letak geografis keempat provinsi itu, serta ikatan-ikatan budayanya telah membantu memupuk suatu rasa keterasingan dikalangan mereka terhadap lembaga sosial, budaya dan politik Thai.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Suhaimi, M,Ag (2006), Cahaya Islam diUfuk Asia Tenggara. Pekanbaru: Suska Press.
Dr. Helmiaty M,Ag (2002), Dinamika Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: suska Press.
Dr. Badri Yasin, M,A, (1993), Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo.
[1] Suhaimi, Cahaya Islam diUfuk Asia Tenggara, Pekanbaru: Suska Press, 2006, Hlm 229.
[2] Ibid, hlm 230.
[3] Helmiaty, Dinamika Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Suska Press, 2002, Hlm 196.
[4] Ibid, Hlm 197.
[5] Ibid, Hlm 199.
[6] Ibid, Hlm 203.
[7] Badri Yasin, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993, Hlm 67.
[8] 0p-Cit, Helmiaty, Hlm 211.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar