Kamis, 21 April 2011

Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling

KONSEP DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING
1.      Pengertian Konseling menurut para ahli
      Shertzer dan Stone, Konseling adalah intraksi dimana konselor berupaya meningkatkan pengertian tentang diri klien dan lingkungan klien dalam rangka mengembangkan atau memperjelas tujuan, nilai dan perilaku klien dimasa yang akan datang. Paterson, Konseling adalah proses yang melibatkan hubungan pribadi antara seorang konselor dengan satu atau lebih klien dimana konselor menggunakan metode-metode psikologis tas dasar pengetahuan yang dimilikinya. Smith, Konseling adalah suatu proses dimana konselor mambantu konseli membuat interaksi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian yang perlu dibuatnya. McDaniel, Konseling adalah suatu rangkaian pertemuan langsung dengan individu yang ditunjukan kepada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaiakan dirinnya secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya. Toibert, Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar.
2.      Hal-hal yang pokok yang terkandung dalam konseling dapat dirumuskan sebegai berikut:
    a)Konseling melibatkan dua orang yang saling berintraksi dengan jalan mengadakan komunikasi langsung, mengemukakan dan memperhatikan dengan seksama isi pembicaraan, gerakan-gerakan isyarat, pandangan mata dan gerakan –gerakan lain dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman kedua belah pihak yang terlibat di dalam intraksi itu. b) Model intraksi di dalam konseling itu terbatas pada dimensi verbal, yaitu konselor dan klien saling berbicara. Klien berbicara tentang semua yang ingin disampaikan tentang dirinya dan dipihak lain konselor mendengarkan dan menanggapi hal-hal yang dikemukakan klien dengan maksud memberikan bantuan atau membicarakan hal itu. c) Interaksi antara konselor dan klien berlangsung dalam waktu yang relative lama dan terarah kepada pencapaian tujuan. d) Tujuan dari hubungan konseling adalah terjadinya perubahan pada tingkah laku klien. e) Konseling merupakan proses yang dinamis, dimana individu dibantu untuk dapat mengembangkan dirinya, mengembangkan kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi masalah-masalah yang sudah dihadapi. f) Konseling didasari atas penerimaan konselor secara wajar tentang diri klien, yaitu atas dasar penghargaan terhadap harkat dan martabat klien.
Oleh karenanya pengertian konseling dapat dirumuskan, konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
3.      Tujuan Konseling
      Didalam konseling dikenal dengan teknik umum dan teknik khusus yang dimana teknik umum adalah teknik yang digunakan atau dipakai sepanjang konseling. Sedangkan teknik khusus adalah teknik yang digunakan tergantung oleh jenis atau tingkat masalah yang dibicarakan.
      Tujuan konseling individual juga dapat dibagi menjadi dua yakni tujuam umum yang bertujuan untuk mengentaskan masalah klien dan tujuan khusus yang terimplementasi dari fungsi-fungsi bimbingan dan konseling: Fungsi pemahaman, Fungsi pengentasan, Fungsi pencegahan, Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, Fungsi advokasi.
Namun lebih jauh lagi Muhammad surya menjelaskan secara rinci tujuan konseling:
a. Perubahan tingkah laku atau prilaku ; Tujuan konseling adalah menghasilkan perubahan pada perilaku yang memungkinkan klien hidup lebih produktif dan memuaskan serta dapat menyesuaikan diri dengan baik di masyarakat.
b. Kesehatan mental yang positif; Tujuan konseling adalah pemeliharaan, pemulihan kesehatan mental yang baik atau harga diri, maka situasi konseling harus ditandai dengan tidak adanya ancaman
c. Pemecahan masalah ; Hal ini didasarkan pada fakta bahwa banyak orang mempunyai masalah dimana mereka tidak sanggup merencanakan solusinya sendirinya. Maka mereka datang pada konselor karena percaya konselor dapat membantu mereka untuk memecahkan masalahnya.
     Didalam Prayitno dan Erman Amti (1995) telah mengutip beberapa pendapat mengenai tujuan konseling di antaranya dari jones, Pepinsky dan Pepinsky, Tolbert dan Blocher yakni:
a.       Agar klien dapat mencapai perkembangan yang semakin baik dan semakin maju.
b.      Untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien.
c.       Untuk mengatasi suatu masalah atau gangguan.
d.      Agar klien dapat menyesuaikan dirinya baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan.
e.       Mewujudkan kesejahteraan, baik bagi diri pribadi maupun masyarakat.
f.       Agar individu dapat memahami dirinya sendiri dapat memberikan reaksi (tanggapan) terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan dan dapat mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan hidupnya.
Pada bagian teratas kita mengetahui apa itu konseling dan lain-lain. Namun yang lebih esensial yang perlu kita ketahui adalah bahwa konseling individual dianggap sebagai upaya layanan yang paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengetasan masalah klien. Bahkan dikatakan layanan konseling individual merupakan “Jantung hatiinya” pelayanan bimbingan secara menyeluruh. Hal ini mengandung arti bahwa apabila layanan ini telah memberikan jasanya, maka masalah klien akan teratasi secara efektif dan upaya-upaya bimbingan lainnya tinggal mengikutinya atau berperan sebagai pendamping atau dengan kata lain, konseling merupakan layanan inti yang pelaksanaannya menuntut persyaratan dan mutu usaha-usaha yang benar-benar tinggi. Ibarat seorang jejaka yang menaksir seorang gadis, apabila jejaka itu telah mampu memikat “jantung hati” gadis itu, maka segala urusan dan kehendak akan dapat di selenggarakan dan dicapai dengan lancar.
      Hal ini dapat terjadi karena, layanan konseling individual yang tuntas telah mencangkup sebagian fungsi-fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan bahkan fungsi advokasi.
KAREKTERISTIK KLIEN DAN KONSELOR
1.      Karekteristik Klien
Semua individu yang diberi bantuan professional oleh seorang konselor atas permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain dinamakan klien. Shertzer dan Stone (1987) dalam Sofyan S. Willis mengemukakan keberhasilan konseling ditentukan oleh tiga unsure yakni:
a.       Kepribadian Klien
Maksudnya adalah seorang konselor harus benar-benar mampu memahami diri klien atau kepribadiannya baik itu instropet maupun ekstropet. Apabila hal ini dapat dikuasai oleh seorang konselor maka tindakan atau langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk membantu klien.
b.      Harapan Klien
Didalam hal ini mengandung arti kebutuhan klien dalam arti psikis bukan material. Makin banyak dicapai kebutuhan psikologis maka orang semakin kuat psikologisnya. Muhammad Surya (2003) ada beberapa kebutuhan atau harapan yang harus dipenuhi
Ø  Memberi dan menerima kasih sayang
Ø  kebebasan
Ø  Memiliki kesenangan
Ø  Menerima stimulus ( rangsangan)
Ø  Perasaan mencapai prestasi
Ø  Memiliki ketenangan
Ø  Memiliki harapan
Ø  Memiliki tujuan hidup secara nyata.
c.       Pengalaman dan pendidikan Klien
Dalam hal ini juga sangat menentukan keberhasilan dari proses konseling karena semakin banyak pengalaman dan tinggi pendidikannya maka semakin mudah untuk menyampaikan apa yang menjadi permasalahan. Salah satu factor mungkin banyak pengalaman.

       Didalam proses konseling pasti seorang konselor akan menemukan berbagai macam kendala baik itu dari segi alat maupun wawasan tentang diri klien. Oleh kerananya sudah menjadi keseharusan kita mempelajari aneragaman klien. Berikut ini akan di uraikan berbagai jenis ragam klien yang akan dihadapi oleh seorang konselor (Sofyan S. Willis).
a.       Klien suka rela
Klien suka rela dapat diartikan klien yang hadir atas dasar kesadaran sendiri, berhubung ada maksud dan tujuan. Secara umum klien yang suka rela dapat dikenali melalui ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Hadir atas kehendak sendiri.
Ø  Segera dapat menyesuaikan diri dengan konselor
Ø  Mudah terbuka, seperti segera mengatakan persoalan.
Ø  Bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling
Ø  Berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas
Ø  Sikap bersahabat, mengharapkan bantuan dan bersedia mengungkap rahasia walaupun menyakitkan.
b.      Klien terpaksa
Klien terpaksa adalah klien yang kehadirannya bukan atas keinginannya sendiri. Dia datang atas dorongan orang lain sepeti orang tua atau orang lain. Adapun karekteristik klien terpaksa ini adalah sebagai berikut:
Ø  Bersifat tertutup
Ø  Enggan berbicara
Ø  Curiga terhadap konselor
Ø  Kurang bersahabat
Ø  Menolak secara halus bantuan konselor
c.       Klien Enggan
Klien yang banyak bicara pada dasarnya berprinsip enggan untuk dibantu. Dia hanya senang untuk berbincang-bincang dengan konselor tanpa ingin menyelesaikan masalah. Disamping itu ada juga yang diam saja karena tidak suka diberi bantuan oleh konselor. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi klien seperti ini adalah:
Ø  Menyadarkan akan kekeliruannya
Ø  Memberi kesempatan agar dia dibimbing oleh orang lain saja atau mencari lawan bicara yang lain.
d.      Klien bermusuhan atau menentang
Klien terpaksa yang bermasalah cukup serius bisa menjelma menjadi klien bermusuhan. Sifat-sifatnya adalah:
Ø  Tertutup
Ø  Menentang
Ø  Bermusuhan dan
Ø  Menolak secara terbuka.
Adapun cara-cara yang efektif untuk menghadapi klien tersebut adalah:
§  Ramah, bersahabat, dan empati
§  Toleransi terhadap prilaku klien yang Nampak
§  Tingkatkan kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai bahasa tubuh klien.
§  Memahami klien atau keinginannya yaitu tidak sudi dibimbing.
§  Mengajak suatu negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentang konseling.
e.       Klien Kritis
Klien kritis adalah seseorang yang menghadapi musibah seperti kematian (Orang tua dll), kebakaran rumah, diperkosa, dan sebagainya. Beberapa gejala perilaku klien yang kritis adalah:
Ø  Tertutup atau menutup diri dari dunia luar
Ø  Amat emosional, tak berdaya, ada yang histeri
Ø  Kurang mampu berfikir rasional
Ø  Tidak mampu mengurus diri dan keluarga.
Ø  Membutuhkan orang yang amat dipercayai.
Sedangkan menurut Lendemen (1994) melukiskan karekteristik klien sebagai berikut:
v  Keadaan fisik yang menderita, sesak, tak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, pencernaan terganggu, lemah,sesak nafas.
v  Perasaan hampa, tegang, kelelahan, hilang rasa kehangatan, dan menjauh dari orang banyak.
v  Kadang-kadang keasyikan dengan khayalan kematian.
v  Kadang-kadang timbul perasaan bersalah terhadap kejadian atau kegagalan yang di alami, atau menyalahkan diri secara berlebihan.
v  Berubah pola-pola kegiatan, gelisah, tanpa arah, mencari aktivitas tapi tanpa motivasi untuk merumuskannya.
2.      Kualitas dan Pendidikan konselor.
Kualitas konselor adalah semua kreteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan. wawasan, keterampilan dan nilai yang  dimilikinya yang akan memudahkannya dalam mejalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan dengan berhasil (Sofyan S.Willis)
Didalam Muhammad Surya ada beberapa karekteristik kualitas konselor yang terkait dengan keefektifan konseling yakni:
a.       Pengetahuan mengenai diri sendiri.
Mengenai pengenalan diri sendiri sangat penting karena:
Ø  Seorang konselor yang mengetahui persepsi dirinya dengan baik, cenderung untuk mengetahui persepsi diri klien yang sedang dibantu.
Ø  Keterampilan konselor yang digunakan untuk memahami dirinya adalah keterampilan yang sama untuk memahami diri klien.
Ø  Konselor yang telah memiliki keterampilan yang digunakan untuk memahami diri sendiri, kemungkinan konselor dapat mengajarkannya kepada klien.
Ø  Seorang konselor harus mempunyai wawasan yang luas tentang dirinya sendiri.
Seorang konselor yang berkualitas mampu memahami hal-hal sebagai berikut:
¨      Menyadari kebutuhannya sebagai konselor
¨      Menyadari perasaannya.
¨      Menyadari apa yang membuat cemas dalam konseling dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi kecemasan.
¨      Menyadari kelebihan dan kekurangan pada dirinya,
b.      Kompetensi
Kompetensi mempunyai makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, social dan moral yang harus di miliki oleh konselor untuk membantu klien. Seorang konselor senantiasa berusaha untuk menjadi kompoten dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Secara berkelanjutan senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan tentang perilaku dan konseling, antara lain melalui bacaan, menghadari konferensi atau seminar, mengiuti pelatihan, berdikusi dengan rekan sejawat.
Ø  Senantiasa mencari pengalaman-pengalaman hidup yang baik yang dapat membantunya meningkatkan kompetensi dan mempertajam keterampilan.
Ø  Senantiasa mencoba berbagai gagasan dan pendekatan dalam konseling.
Ø  Senantiasa melakukan penilaian dalam setiap langkah konseling untnuk mencapai keefektifan konseling.
c.       Kesehatan psikologis yang baik
Karekteristik konselor yang memiliki kesehatan psikologis yang baik antara lain:
Ø  Mencapai pemuasan kebutuhannya seperti kebutuhan rasa aman, memelihara, kekuatan, seksual, perhatian di luar hubungan  konseling.
Ø  Tidak membawa pengalaman masa lalu dan masalah pribadi diluar konseling ke dalam konseling.
Ø  Menyadari titik penyimpangan dan kelemahannya yang dapat membantu mengenal situasi yang terkait dengan masalah.
Ø  Tidak hanya mencapai kelestarian hidup, tetapi menjadi kehidupan dalam kondisi yang baik.
d.      Dapat dipercaya
Ciri-ciri konselor dapat dipercaya adalah:
Ø  Dapat dipercaya dan konsisten seperti dalam menempati janji dalam setiap perjanjian konseling.
Ø  Baik secara verbal maupun non verbal menyatakan akan menjaga kerahasiaan.
Ø  Membuat klien tidak merasa menyesal membuka rahasia dirinnya.
Ø  Bertanggung jawab terhadap semua ucapan dalam konseling sehingga klien mendapatkan lingkungan yang bersifat mendukung.
e.       Kejujuran
Kejujuran yang mutlak adalah yang mempunyai makna seorang konselor harus terbuka, otentik, dan sejati dalam penampilannya. Adapun alasan mengenai seorang konselor harus jujur adalah:
Ø  Tranparasi atau keterbukaan memudahkan konselor dan kliennya berintraksi di dalam suasana keakraban psikologis.
Ø  Kejujuran memungkinkan konselor untuk memberikan umpan balik yang belum di perhatikan.
Ø  Kejujuran konselor merupakan ajakan sejati kepada klien untuk menjadi jujur.
Ø  Konselor dapat menjadi model bagaimana manjadi manusia yang jujur dengan cara-cara yang kontruktif.
f.       Kekuatan atau diri
Maksud di dalam hal ini adalah seorang konselor harus mempunyai kekuatan yang secara tidak langsung jika klien berada disekitar konselor maresa terlindungi atau aman.
g.      Kehangatan
Mempunyai makna sebagai satu kondisi yang mampu manjadi pihak yang ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain. Kehangatan sangat diperlukan dalam proses konseling karena:
Ø  Dapat mencairkan kebekukan suasana.
Ø  Mengundang untuk berbagi pengalaman emosional,
Ø  Memungkinkan untuk menjadi hangat dengan dirinya sendiri.
h.      Pendengar yang aktif
Alasan menjadi pendengar yang baik adalah :
Ø  Menunjukan komunikasi dengan penuh kepedulian
Ø  Merangsang dan memberikan klien untuk bereaksi secara spontan terhadap konselor.
Ø  Menimbulkan situasi yang mengajarkan.
Ø  Klien membutuhkan gagasan yang baru.
Salah satu factor penghambat adalah ketakutan konselor dalam keterlibatan, yang berarti lebih dekat dengan permasalahan, menjadi peka, membuang kesalahan-kesalahan, dan sangat bertanggung jawab pada masalah yang dihadapi.
i.        Kesabaran
Konselor yang sabar memiliki kualitas sebagai berikut:
Ø  Memiliki toleransi terhadap ambigiutas (Bermakna ganda) yang terjadi dalam konseling sebagai konsekuensi dari kompleknya manusia.
Ø  Mampu berdampingan dengan klien dan membiarkannya untuk mengikuti arahnya sendiri meskipun mungkin konselor mengetahui adanya jalan yang lebih singkat.
Ø  Tidak takut akan pemborosan waktu  dalam minatnya pertumbuhan klien.
Ø  Dapat mempertahankan tilikan dan pertanyaan yang akan disampaikan dalam sesi dan digunakan kemudian.

j.        Kepekaan
Konselor yang memiliki kepekaan menunjukan kualitas atau karekteristik :
Ø  Peka terhadap reaksi dirinya sendiri dalam konseling, membacanya secar reflex, terampil dan penuh perhatian sebagaimana dilakukan terhadap klien.
Ø  Mengetahui bilamana, dimana, dan beberapa lama melakukan penelusuran klien.
Ø  Mengajukan pertanyaan dan mengaitkan informasi yang di pandang mengancam oleh klien dengan cara-cara yang arif serta peka terhadap hal-hal yang mudah di sentuh dalam dirinya.
k.      Kebebasan
Peranan konselor sangat penting yang berkaitan dengan kebebasan karena:
Ø  Konselor akan memahami klien lebih nyata.
Ø  Membawa klien dalam hubungan yang lebih akrab
Ø  Mengurangi keinginan untuk melawan.
Ø  Makin banyak kebebasan terciptakan dalam konseling, makin banyak kebebasan klien dalam dirinya.
l.        Kesadaran holistic atau utuh
Disini mempunyai arti bahwa konselor menyadari keseluruhan orang (Klien) tidak mendekatinya hanya dengan meneropong dari satu aspek tertentu saja. Ini tidak berarti bahwa konselor harus ahli dalam semua aspek akan tetapi mampu mendekati klien dari berbagai dimensi.
Didalam dalam andi mampiere kualitas konselor adalah:
a.       Kesadaran akan diri dan nilai-nilai
b.      Kesadaran akan pengalaman budaya.
c.       Kemampuan menganalisis toiper sendiri.
d.      Kemampuan berlayanan sebagai “ Teladan” dan “ Pemimpin” atau orang “Berpengaruh”
e.       Alturisme
f.       Penghayatan etik yang kuat.
g.      Tanggung jawab.
Didalam layanan konseling individual digunakan berbagai pendekatan salah satunya pendekatan atau teknik High-Touch yang mengentas aspek-aspek pribadi klien dalam seluruh proses konseling yang dibangunnya. Dengan High-touch klien didekati dirinya, dibedah dan dimasuki, digerakan dan dibangkitkan unsure-unsur kemandiriannya. Seiring dengan pembedahan diri klien itu, kemampuannya pun digunakan. Dengan teknik-teknik khusus yang bernuansa high-touch konselor mengembangkan dan membina klien untuk memiliki kompetensi yang berguna, khususnya untuk mengatasi masalah yang dialaminya. Pendekatan high-touch ini diselenggarakan atas suasana yang telah dibangun melalui pendekatan high-touch.

TAHAP-TAHAP KONSELING
Secara menyeluruh dan umum, proses konseling perorangan dari kegiatan paling awal sampai kegiatan akhir, terentang dalam lima tahap, yaitu:
1)      Pengantaran
Proses pengantaran mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan prinsip dasar yang menyertainya. Proses pengantaran ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, tidak menyalahkan, penuh pemahaman, dan penstrukran yang jelas. Apabila proses awal ini efektif, klien akan termotivasi untuk menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan.
2)      Penjajakan
Proses penjajakan dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki ruang sumpek atau hutan belantara yang berisi hal-hal yang bersangkut paut dengan permasalahan dan perkembangan klien. Sasaran penjajagan adalah hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal lain perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini adalah berbagai hal yang selama ini terpendam, tersalahartikan atau terhambat perkembangannya pada diri klien.
3)      Penafsiran
Apa yang terungkap melalui panjajagan merupakan berbagai hal yang perlu diartikan atau dimaknai keterkaitannya dengan masalah klien. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek-aspek realita dan harapan klien dengan bebagai variasi dinamika psikisnya. Dalam rangka penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis, dapat memberikan manfaat yang berarti.
4)      Pembinaan (intervensi)
Proses pembinaan ini secara langsung mengacu kepada pengentasan masalah dan pengembangan diri klien. Dalam tahap ini disepakati strategi dan intervensi yang dapat memudahkan terjadinya perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan oleh sifat masalah, gaya dan teori yang dianut konselor, serta keinginan klien. Dalam langkah ini konselor dan klien mendiskusikan alternatif pengentasan masalah dengan berbagai konsekuensinya, serta menetapkan rencana tindakannya.
5)      Penilaian
Upaya penilaian melalui konseling diharapkan menghasilkan terentaskannya masalah klien. Ada tiga jenis penilaian yang perlu dilakukan dalam konseling perorangan, yaitu penilaian segera, penilaian jangka pendek, dan penilaian jangka panjang.
Penilaian segera dilaksanakan pada setiap akhir sesi layanan, sedang penilaian  pasca layanan selama satu minggu sampai satu bulan, dan penilaian jangka panjang dilaksanakan setelah beberapa bulan. Fokus penilaian segera diarahkan kepada diperolehnya informasi dan pemahaman baru (understanding), dicapaianya keringanan beban perasaan (comfort), dan direncanakannya kegiatan pasca konseling dalam rangka perwujudan upaya pengentasan masalah klien (action). Penilaian pasca konseling, baik dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun jangka panjang mengacu kepada pemecahan masalah dan perkembangan klien secara menyeluruh.
Setiap penilaian, baik penilaian segera, jangka pendek, maupun jangka panjang, perlu diikuti tindaklanjutnya demi keberhasilan klien lebih jauh. Tindaklanjut itu dapat berupa pemeliharaan kondisi, konseling lanjutan, penerapan teknik lain, atau berupa alih tangan kasus.
Dewa Ketut Sukardi (1988) mengemukakan ada dua fase dalam konseling, fese pertama adalah fase masa pembentukan dan fase kedua adalah face memperlancar pengambilan keputusan positif yang terdiri dari :
1.      Tahap persiapan                                 5. Tahap Eksplorasi
2.      Tahap Klarifikasi                                6. Tahap konsilidasi
3.      Tahap Struktur wawancara                7. Tahap Perencanaan
4.      Tahap relasi                                        8. Tahap penutupan.
Menurut Sofyan S. Willis secara umum proses konseling dibagi atas tiga tahapan, yakni:
1.      Tahapan awal konseling
Tahapan awal konseling bertujuan untuk:
a.       Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien
b.      Memperjelas dan mendefinisikan masalah
c.       Membuat penafsiran dan penjajagan
d.      Menegosiasikan kontrak
2.      Tahap pertengahan
Tahap pertengahan bertujuan untuk :
a.       Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu dan kepedulian klien lebih jauh.
b.      Menjaga agar hubungan konseling selalu terpilihara
c.       Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak.
3.      Tahap Akhir konseling
Tujuan dari tahap ini adalah:
a.       Merumuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai.
b.      Terjadinya transfer of learning pada diri klien
c.       Melaksanakan perubahan perilaku
d.      Mengakhiri hubungan konseling.
TEKNIK MEMULAI HUBUNGAN KONSELING
1.      Menerima Klien
Kesediaan klien dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor dapat menerima klien sebagaimana adanya secara positif. Dalam arti konselor tidak menuntut klien tampil dengan kondisi, cara, sikap tertentu, dan tidak memberikan label-label tertentu pada klien. Konselor meyakini dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan dengan klien dalam beberapa hal, seperti perbedaan latar belakang, status ekonomi, usia, profesi, pendidikan, norma dan nilai-nilai yang dimiliki, dan sebagainya. Konselor yang dapat menerima klien secara positif dengan sikap ramah tamah, hangat dan penuh perhatian akan memberikan dampak positif kepada klien. Klien akan merasa bahwa dia benar-benar diterima, dipahami, diperhatikan, dan merasa bahwa konselor benar-benar siap membantunya.
Penggunaan teknik menerima klien secara tepat akan mempengaruhi hubungan konseling selanjutnya. Klien yang merasa diterima sebagaimana adanya akan mau menjelaskan proses dan hasil konseling secara sukarela dan sungguh-sungguh. Hal ini tentu akan membantu mempercapat tercapainya tujuan konseling yang diharapkan. M. Surya (1988) penerimaan terhadap klien berkaitan dengan pemahaman dan sangat mempengaruhi hubungan antar manusia yaitu hubungan antara konselor dengan klien. Menerima klien berkaitan dengan rasa hormat tehadap individu sebagai pribadi yang memiliki harga diri. Sejalan dengan itu Tylor (dalam M. Surya: 1988) mengidentifikasi ada dua komponen penerimaan.
a.       Kemampuan menerima kebenaran bahwa individu berbeda satu sama lain, demikian juga cara-cara dan perilaku yang ditampilkan.
b.      Perwujudan diri yang berlangsung dalam pengalaman, bahwa setiap orang memiliki pola yang komplek dalam berbuat, berfikir dan merasa.
Penerimaan menggambarkan menerima individu sebagaimana adanya, dengan menghormati individu sebagai manusia yang memiliki martabat, akan membantu memperlancar hubungan konseling. Contoh: Mengucapkan salam, berjabat tangan, mempersilahkan klien duduk, menyebut nama klien (kalau sudah kenal namanya) atau menanyakan nama klien (kalau belum kenal), memperkenalkan nama konselor, membicarakan hal-hal yang menarik yang sempat ditangkap dari pertemuan yang singkat itu dan sebagainya. Cara konselor seperti ini akan menggambarkan penerimaan yang positif dari konselor, dan akan menimbulkan rasa diterima secara penuh pada diri klien.
2.      Kehangatan
Menurut L. Brammers (1979:38), kehangatan menerima merupakan kondisi 1) Penuh persahabaran 2) penuh perhatian yang ditunjukan dengan ekpresi don verbal seperti senyuman, kontak mata dan berbagai ekpresi non verbal lainnya yang menunjukan adanya perhatian kepada klien. Ekpresi non verbal tersebut diperkirakan akan dapat menumbuhkan rasa aman, tenteram, penuh kekeluargaan pada diri klien, sehingga klien merasa betah berkomunikasi dengan konselornya. Untuk menciptakan suasana hangat dapat dengan menampilkan posisi sikap badan (posture) yang agak sedikit membungkuk kedepan, kontak mata, ekspresi wajah yang ramah dan sentuhan.
Posisi sikap badan yang sebaiknya adalah: 1) duduk dengan posisi badan menghadap klien dan menunjukan sikap responsive, 2) posisi tangan di atas pangkuan dan melakukan gerakan-gerakan tangan yang mengikuti komunikasi verbal, 3) duduk dengan kepala condong kepada klien untuk menunjukan bahwa konselor “bersama” klien. Kontak mata hendaknya berisi “ungkapan” memperhatikan dan keinginan untuk mendengarkan serta merespon ungkapan-ungkapan klien.
Ekpresi wajah hendaknya kelihatan responsifm tidak kaku, tidak dingin, dan tidak juga menyeramkan atau mencemaskan klien. Untuk itu konselor perlu menampilkan senyum yang tulus. mengangukan kepala sebagai tanda setuju atau mengerti apa yang diungkapkan klien.
3.      Keterbukaan
Keterbukaan konselor diperlukan agar klien dapat terdorong untuk menjadi terbuka kepada konselor. Konselor dapat menyampaikan penerimaannya yang positif dengan mengatakan bahwa dia menghargai kedatangan klien tepat waktunya sesuai dengan perjanjian atau konselor menyatakan kegembiraannya karena dipercaya untuk membicarakan masalah yang dialami klien dan sebagainya.
Agar klien menjadi terbuka, Egan (1982) memberikan rambu-rambu sebagai berikut:
a.       Konselor jangan terlalu bersikap formal professional, dan hindarkan berbagai stereotype, karena akan menimbulkan kekakuan. Sikap formal professional ialah apabila konselor menghadapi klien sebagai tamu yang akan berurusan dengan atasan atau antara guru dengan murid.Sikap yang tidak formal professional ialah sikap antara dua orang sahabat yang akrab, namun perlu diingat bahwa konselor hendaklah menempatkan diri sebagai orang  yang “lebih” atau “di atas” klien, dalam arti kewibawaan konselor dihadapan klien perlu dijaga. Kondisi semacam ini akan dapat ditampilkan konselor apabila dia memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Streotipe ialah apabila konselor member label negative tertentu kepada klien yang dasarkan pada penampilannya. Streotipe akan mewarnai sikap, penerimaan dan tindakan konselor terhadap klien, yang mau tidak mau akan berpengaruh besar pada hubungan konseling.
b.      Berbuatlah spontan tetapi tidak sembarangan. Dalam hal ini konselor secara spontan menanggapi klien baik dari segi perilaku tertentu misalnya salam atau menepuk bahu yang sifatnya dengan klien, namun tentu saja cara dan isi gurauan tidak sembarangan misalnya yang mengarah kepada hal –hal yang bersifat sembrono, cabul dan yang dapt menyinggung perasaan orang lain. Konselor dapat ketawa lepas dan tidak ketawa yang dibuat-buat, dan memuji dengan sebenarnya.
c.       Jangan menunjukan sikap mempertahankan diri. Dalam hal ini konselor hendaklah menunjukan keobjektifannya, dalam arti dia dapat menerima kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang sebagai manusia dapat saja terjadi. Sikap mempertahankan diri secara terus menerus dapat berakibat terjadinya perdebatan yang tidak berkesudahan.
d.      Berusahalah untuk tetap konsisten, Hindarkan ketidaksesuaian antara nilai dan perilaku, antara yang difikirkan dan dirahasiakan dengan apa yang dikatakan, sehingga kelihatan bijaksana. Konselor perlu “bersih” dari cacat moral, perilaku konselor hendaklah sesuai dengan norma yang berlaku. Apabila konselor mengatakan sesuatu baik, maka dia harus mematuhinya. Kekonsistenan antara pembicaraan pertama dan selanjutnya dengan klien hendaklah diperhatikan, termasuk juga kekonsistenan dalam berdisiplin.
e.       Konselor hendaklah mau membagi diri dan pengalamannya dengan klien. Pengalaman-pengalaman tertentu yang sifatnya positif dan diperkirakan dapat dijadikan contoh oleh klien, apabila disampaikan kepada klien akan membantu bagi tercapainya keterbukaan. Sedikit banyak pengalaman seseorang aka nada kesamaannya dengan pengalaman orang lain. Apabila kesamaan itu kelihatan oleh masing-masing secara langsung dapat menumbuhkan rasa “Kebersamaan”, dan akhirnya tumbuhlah saling keterbukaan.
4.      Penerimaan positif dan penghargaan.
Penerimaan positif dan penghargaan akan menghasilkan perasaan diterima dan perasaan betah pada diri klien. Untuk melakukan ini, maka pada diri konselor haruslah ada: 1) kesediaan untuk memandang bahwa setiap individu itu berbeda antara satu dengan yang lain dalam segala bentuk dan caranya. 2) adanya kesediaan untuk memandang bahwa setiap individu itu memiliki pengalaman, usia, pemikiran, dan perasaan masing-masing. Untuk menunjukan kesan penerimaan positif dan penghargaan, menurut Egan, ada bentuk perilku yang ditunjukan konselor yakni:
a.       Secara aktif memperhatikan dan mendengarkan klien. Semua orang tidak terkecuali klien, ingin diperhatikan dan didengarkan. Kebutuhan untuk didengarkan dan diperhatikan akan menonjol pada diri orang yang sedang mengalami masalah. Dapat diibaratkan orang sedang mengalami masalah seperti orang hanyut mendapatkan sepotong kayu untuk dipegang. Bentuk  nyata kegiatan konselor yang memperhatikan dan mendengarkan ini ialah dengan cara memahami dan merespon pembicaraannya dengan tepat.
b.      Menunda pendapat yang mengkritik. Walau pada awalnya konselor melihat bahwa ada beberapa hal pada diri klien terdapat kesenjangan atau kekeliruan yang perlu disampaikan untuk segera diubah dan diperbaikinya, maka tidaklah perlu segera disampaikan. Penyampainya perlu menunggu waktu yang tepat. Keadaan ini lebih disebabkan bahwa kebanyakan orang agak sensitive untuk dikritik. Kritikan yang disampaikan tidak pada waktu yang tepat walau itu positif dapat melenceng dari sasaran yang diinginkan.
c.       Berkomunikasi, memahami dan berempati secara tepat. Bicara konselor yang terstruktur secara sistematis dan jelas akan menumbuhkan kepercayaan klien untuk menyampaikan sesuatu yang sedang dirasakan dan dialaminya, namun hendaklah diiringi dengan pemahaman yang dalam serta empati.
d.      Menampilkan kehangatan atau keramahtamahan. Kehangatan dan keramahtamahan adalah kunci bagi tumbuhnya keakraban dan kepercayaan. Sikap dingin dan sinis akan dapat membuat klien menjadi menjauhkan diri dari konselor, yang akhirnya tentu saja membuat klien menjadi tidak terbuka.
e.       Membantu mengenali klien dan mengusahakan sumber-sumber yang didapatkannya. Banyak klien yang tidak menyadari akan dirinya secara penuh. Berbagai potensi positif yang sering kali tidak terlihat oleh klien, dan hal-hal yang negatiflah pada diri dan lingkungannya yang selalu menonjol dimata dan dipikirannya sehingga menggangu hidupnya selama ini. Untuk itu konselor membantu menunjukan sesuatu yang terdapat dalam dirinya dan orang guna dimanfaatkannya beserta berbagai sumber lain yang dapat didayagunakannya.
f.       Menyediakan dorongan dan support. Dalam melakukan sesuatu seringkali orang membutuhkan dorongan dari orang lain. Dorongan itu dapat menumbuhkan sikap optimis dalam pencapaiannya. Begitu juga halnya dengan klien yang seringkali pertama-tama dibutuhkannya ialah dorongan konselor, sehingga barulah dia bergerak untuk berbuat. Dalam hal ini dorongan dari konselor bahwa pada dasarnya dia dapat keluar dari masalah yang sedang dialaminya akan menumbuhkan keterbukaan dia pada konselor.
g.      Membantu klien bekerja pada setiap tahap proses bantun. Membantu klien bekerja mulai dari tahap awal permulaan konseling sampai masalah yang dialaminya betul-betul terentaskan menjadi kewajiban konselor juga. Ini bukan berarti konslelor harus selalu mengikuti klien dalam melakukan usaha-usahanya melakukan kegiatan, namun konselor dapat melakukan tindakan pemantauan dan memberikan dorongan setiap kali klien menyampaikan keberhasilannya.
5.      Jarak Duduk.
Wawancara biasa berbeda dengan wawancara konseling, khususnya dalam jarak duduk. Jarak duduk antara konselor dan klien, akan mempengaruhi situasi dan suasana konseling. Jarak duduk yang terlalu jauh akan memberikan kesan kurang akrab. Sedangkan jarak duduk yang terlalu dekat akan menjadikan klien maupun konselor merasa terganggu yang akhirnya dapat menjadikan salah tingkah. Keadaan ini akan berdampak menurunkan daya konsentrasi selama proses konseling berlangsung.
Posisi duduk antara konselor dank lien haruslah berhadapan secara sejajar. dalam menyelenggarakan konseling, jarak duduk yang sebaiknya adalah antara 80 cm sampai 100 cm, dengan tidak memakai pembatas atau meja. Tujuan jarak duduk yang demikian agar konselor dapat dengan mudah menangkap isyarat-isyarat yang ditampilkan klien, baik gerakan-gerakan atau isyarat non verbal, sehingga konselor dapat memberikan respon secara tepat, mulai dari awal konseling sampai terakhirnya konseling. Ditinjau dari sisi lain, jarak duduk seperti yang sudah diuraikan terdahulu kadang kala kurang menguntungkan, miasalnya bila klien seorang wanita yang memakai pakaian yang merusak pandangan mata konselor. Dalam keadaan seperti ini dilanjutkan konselor menggunakan batas duduk antara konselor dengan kliennya. Jadi dapat disimpulkan bahwa jarak duduk tergantung pada situasi dan kondisi tertentu, dan situasi tertentu jarak duduk dapat dipertimbangkan. Terutama bila kondisi tersebut mengganggu kelancaran konseling
6.      Sikap Duduk
Salah satu factor yang mempengaruhi suasana konseling adalah sikap duduk konselor selama menghadapi klien. Konselor yang duduk dengan seenaknya akan member kesan santai, dan ini akan ditangkap oleh klien bahwa konselor kurang serius dan kurang menerima klien. Klien tidak serius diperhatikan dan merasa konselor tidak serius serta kurang siap untuk memberikan bantuan kepada klien. Sikap duduk yang terlalu tegap juga akan memberikan kesan tertentu kepada klien, klien merasa bahwa dirinya sedang berhadapan denga  orang yang mengadili atau mengintrogasinya. keadaan ini akan membuat klien takut dan ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya.
Posisi duduk yang diharapkan adalah berhadapan dengan klien. Bila konselor duduk disebuah kursi yang mempunyai sandaran, maka konselor hendaknya tidak duduk bersandar, rileks, ataupun menghadapi klien dalam posisi yang sedikit memiring. Konselor haruslah duduk dengan sikap yang menunjukan penerimaan dan keseriusan dalam mengikuti dan  membahas permasalah klien, sehingga proses konseling tidaklah dialami oleh konselor dengan suasan santai, melainkan betul-betul merupakan usaha yang penuh kesungguhan dan ketulusan untuk membantu klien. Sikap duduk konselor bisa berbentuk sedikit condong kedepan dan tanpa memegang sesuatu apapun ditangannya.
W. S. Wingkel (1991:332) menjelaskan sikap duduk yang diharapkan dalam wawancara konseling, adalah sedikit membungkuk kedepan, duduk tidak bersandar, tangan diletakkan diatas paha dan kedua kaki harus kebawah. Sikap duduk yang  demikian akan memberikan kesan bahwa konselor memiliki perhatian yang besar terhadap klien, dan benar-benar siap untuk memberikan bantuan.
Walaupun sikap duduk yang diharapkan adalah seperti yang diuraikan terdahulu, namun perlu disadari  bahwa sikap duduk yang demikian tidaklah kaku. Selama proses konseling berlangsung. Konselor dapat saja menggerak-gerakkan tangan untuk memberikan respon terhadap isi pembicaraan klien, baik untuk tujuan memberi penguatan maupun mempertegas isi pembicaraan. Sikap duduk yang baik memberikan kesan positif kepada klien, disamping konselor juga lebih bebas untuk memberikan respon yang bersifat non verbal.
7.      Kontak Mata
Kontak mata adalah pusat pandangan konselor yang tertuju pada sasaran yang tepat pada klien. Sasaran yang tepat adalah bila pandangan konselor ditunjukan pada sesuatu secara wajar, sehingga menimbulkan kesan bahwa konselor manaruh perhatian penuh kepada klien. Winkel (1991) mengemukakan bahwa kontak mata dapat mendorong tanggapan verbal dan atau menyatakan sikap dasar konselor pada klien.
Pusat pandangan konselor yang diharapkan selama melakukan konseling adalah berkisar di sekitar daerah pas foto klien. Pandangan konselor tidak menantang biji mata klien, atau tidak memandang bagian tertentu saja pada bagian pas foto klien. Pandangan yang tertuju pada  bagian tertentu saja pada diri klien atau pandangan yang selalu berpindah-pindah pada bagian-bagian diri klien, akan mempengaruhi sikap klien. Biasanya klien akan canggung berbicara, tidak lancar mengemukakan masalahnya, risih, bahkan bisa menjadi salah tingkah, keadaan ini jelas menggangu jalannya konseling.
Lebih jauh Winkel (1991) menjelaskan bahwa kontak mata harus dapat menghindarkan kesan bahwa konselor memaksa, mengejar atau mempermasalahkan klien. Kontak mata yang memandang daerah pas foto klien secara wajar, akan memberi kesan bahwa konselor benar-benar memberikan kesempatan kepada klien untuk mengutarakan masalah dan klien merasa bahwa ia diterima apa adanya.
8.      Ajakan berbicara untuk berbicara
Wawancara konseling digunakan selama proses konseling berlangsung. Konselor akan dapat memahami dan mengetahui masalah klien dengan segala latar belakang dan latar depannya, bila konselor maupun melaksanakan wawancara yang memungkinkan klien bebas mengemukakan masalahnya.
Agar proses konseling berlangsung dengan baik, pada awal konseling, konselor hendaknya memakai wawancara dengan menggunakan teknik “ajakan terbuka untuk berbicara”. Menurut W. S Winkel (1991) ajakan terbuka untuk berbicara adalah konselor mempersiapkan klien untuk memulain menjelaskan masalah yang ingin dibicarakannya, dengan mangajukan satu kalimat pertanyaan atau kalimat pernyataan.
Konselor daiharapkan tidak menghujani klien dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Pertanyaan yang bertubi-tubi akan membuat klien ragu dan merasa diintrogasi, sehingga klien gugup dan takut untuk mengemukakan masalahnya. Disamping itu klien akan bingung untuk menentukan pertanyaan mana yang akan dijelaskan terlebih dahulu. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka pada konseling, konselor cukup menggunakan satu kalimat pertanyaan atau pernyataan yang dapat mengajak klien untuk memulai proses konseling. Kalimat yang diajukan benar-benar membuat kien mau mengemukakan secara terbuka segala hal yang difikirkan, dirasakan dan diinginkannya yang selama ini menggu klien dan kehidupannya. Ajakan terbuka untuk berbicara dapat dapat dimulai dengan menggunakan kalimat pertanyaan dan pernyataan terbuka yang disertai sikap, cara duduk, isyarat dan tekanan suara yang memberi kesan mengajak, contohnya konselor mengemukakan kalimat ajakan seperti  berikut :
Ø  “Ada yang bisa saya bantu”.
Ø  “Apa yang bisa kita bicarakan”.
Ø  “Tampaknya anda sangat kecewa”
9.      Penstrukturan
Dalam konseling konselor sering menemui klien yang belum mengetahui apa itu konseling atau masing ragu tentang beberapa aspek yang ada dalam konselng. Misalnya klien tidak mengetahui pengertian, tujuan, prinsip, asas, proses dan peranan konselor serta klien dalam hubungan konseling. Atau klien ragu tentang salah satu aspek konseling, seperti ragu tentang asas kerahasiaan, Untuk klien seperti ini perlu diberikan penstrukturan.
Penstruturan adalah penetapan batasan masalah oleh konselor tentang hakekat, batas-batas dan tujuan konseling pada umumnya dan hubungan tertentu khususnnya. Dalam melakukan penstrukturan konselor memberikan petunjuk tentang apa itu konseling, urutan langkah berfikir atau urutan tahap yang sebaiknya diikuti (W.S. Winkel 1991), sehingga dapat membantu klien memahami proses yang akan dijalani.
Tujuan penstrukturan adalah menjelaskan peranan konselor, peranan klien, dan proses konseling yang akan di jalani oleh klien. Atau dengan kata lain  tujuan penstrukturan adalah untuk memberikan penjelasan kepada klien tentang pengetian, tujuan, sifat, asas, prisnsip dan prosedur penyelenggaraan konseling (M. Surya. 1998). Menjelasan ini dimaksudkan agar klien dapat menjalani proses konseling secara sukarela. terlibat langsung, dan aktif dalam konseling. Lebih jauh diharapkan klien dapat menjalankan hasil konseling dengan penuh kesadaran dan bertanggungjawab atas hasil yang diperoleh.
Pestrukturan dapat berisi pengertian dan tujuan konseling, bentuk dan proses konseling, asas dan prinsip konseling, teknik-teknik konseling, peranan konselor dan peranan klien dalam konseling. Isi Penstrukturan yang akan diberikan tergantung kepada kebutuhan klien. Apakah penstrukturan akan diberikan secara penuh atau hanya sebagian saja, lebih banyak ditentukan oleh sajauh mana klien  membutuhkan sehingga proses konseling dapat berjalan lancar. Misalnya untuk klien yang belum mengetahui hakekat pelayanan bantuan melalui konseling, perlu diberikan penstrukturan penuh. Sedangkan terhadap klien yang masih ragu tentang aspek tertentu dari konseling dapat diberikan penstrukturan sebagian. Seperti klien yang meragukan asas kerahasiaan, konselor cukup hanya memberikan materi penstrukturan tentang asas kerahasiaan saja.
Penstrukturan dapat diberikan pada awal. di tengah proses konseling atau diakhir konseling. Sebagaimana diuraikan terdahulu, penstrukturan diberikan kepada klien yang belum tahu atau masih ragu-ragu tentang konseling. Oleh karena itu penstrukturan dapat diberikan langsung oleh konselor tanpa persetujuan klien, diminta oleh klien, atau diberikan langsung setelah ada pertanyaan dari klien.
Penggunaan teknik penstrukturan ini akan turut mewarnai proses konseling yang akan atau sedang dilakukan. Klien yang telah memahami secara baik apa itu konseling akan mau terlibat langsung. Sementara klien yang belum mengerti atau masing ragu-ragu tentang konseling akan enggan dan merasa terpaksa mengikuti proses konseling. Keadaan ini jelas akan menggangu pencapaian tujuan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal itu, maka penstrukturan hendaknya diberikan dalam bentuk kalimat pernyataan singkat, sederhana, jelas dan mudah dimengerti klien. Melalui penstrukturan yang diberikan, diharapkan klien terdorong untuk menjalani proses konseling dengan penuh, yang pada akhirnya klien dapat menjalankan dan menggunakan hasil konseling untuk mengatasi masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Mampiare (2010), Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Muhammad Surya (2003), Psikologi Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Nurihsan Achmad Juntika (2007), Bimbingan dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan, Bandung: Reflika Aditama
Prayitno (2004), Layanan Konseling Perorangan, Padang : UNP
Prayitno dan Erman Amti (2004), Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta
Sofyan S. Willis ( 2007), Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung: Alfabeta
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2009), Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yeni Karneli (2000), Teknik dan Laboratorium Konseling 1, Padang : DIP UNP

2 komentar: