BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat mulai ketika manusia mengagumi dunia dan
berusaha menerangkan berbagai gejala dunia. Apabila kita sungguh-sungguh
hidup dengan sadar di dunia ini, tak dapat tiada kita tentu akan berhadapan
dengan berbagai pertanyaan dan persoalan. Hasrat akan mengerti itu menyatakan
diri dalam bermacam-macam pertanyaan yang sungguh-sungguh tidak mudah dijawab
sekaligus. Yang dapat bertanya demikian hanya manusia, sedangkan hewan ia hanya
memiliki pengetahuan terbatas untuk kelangsungan hidupnya, selain itu hewan
juga tidak dapat bertanya dan tidak mempersoalkan apa yang dialaminya. Manusia
dianugerahi sifat-sifat Tuhan, salah satunya adalah sifat “Mengetahui”, karena
hal itu maka Tuhan memberikan manusia akal dan pikiran untuk menerima ilmu
pengetahuan yang disampaikannya melalui wahyu-wahyu Nya. Selain itu manusia
juga harus mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut.
Manusia semenjak dilahirkan di dunia ini dihadirkan
dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan yang selalu ingin dicari jawabannya. Ini jugalah
yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan yang
mendorong manusia yang menjadi mahluk yang paripurna.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia yang
disebabkan oleh dua hal utama, yakni pertama manusia mempunyai bahasa
yang mampu mengkomunikasi informasi dan jalan fikiran yang melatarbelakangi
informasi tersebut. Kedua yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah kemampuan berfikir menurut suatu
alur kerangka berfikir tertentu.
Selain itu wahyu pertama yang
turun di Gua Hira’, manusia merupakan makhluk pertama yang disebut sebanyak dua
kali. Namun, manusia tetap Man the
Unknown. Mengetahui hakikat manusia bukanlah pekerjaan mudah. Kita tidak
mengetahui manusia secara utuh, yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia
terdiri dari bagian-bagian tertentu, Akan tetapi perlu kita ketahui manusia
tidak sesederhana itu. Manusia mempunyai banyak keistimewaan dibanding makhluk
lainnya, diantaranya adalah potensi untuk menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka kami akan
membahas materi yang berkaitan dengan “hakikat manusia sebagai penerima dan
pengembang ilmu pengetahuan dalam berbagai paradigma”
B. Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
Bagaimana hakikat manusia sebagai penerima dan
pengembang ilmu pengetahuan dalam berbagai paradigma?
C.
Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami bagaimana hakikat
manusia sebagai penerima dan pengembang ilmu pengetahuan dalam berbagai
paradigma.
BAB
II
PEMBAHASAN
Manusia memiliki kemampuan menalar,
kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang
ada. Menurut Jujun S. Suriamantri (2009:39)
secara simbolis manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa,
dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. Hal ini berarti
manusia sebagai individu yang menerima ilmu dari leluhur sebelumnya dan
mengembangkan ilmu yang diterimanya secara sungguh-sungguh tersebut agar mampu
bertahan hidup. Selanjutnya menurut Jujun S Suriamantri (2009:39) manusia
memilkirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar
untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Hal ini berarti bahwa manusia
memiliki tujuan tertentu yang lebih tinggi dalam hidup, sehingga manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan yang diterimanya sehingga membuat manusia
menjadi makhluk yang berbeda dari makhluk lainnya.
Menurut Amsal
Bakhtiar (2012:98) pengetahuan diperoleh dari berbagai sumber yakni antara
lain:
A. Empirisme
Empiris merupakan
pengalaman, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Menurut David
Hume (dalam Amsal Bakhtiar, 2012:100) menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi
keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atu kemestian sebab akibat.
B. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan
bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan, manusia memperoleh
pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Akal selain bekerja karena ada
bahan dari indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak
berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi dapat disimpulkan bahwa akal dapat
menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
C. Instuisi
Menurut Henry Bergson
(dalam Amsal Bakhtiar, 2012:106)
intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi, intuisi mengatasi sifat lahiriah
pengetahuan simbolis yang bersifat analisis, menyeluruh, mutlak dan tanpa
dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Jadi intuisi adalah sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika.
D. Wahyu
Wahyu adalah
pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para
nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan. Pengetahuan dengan jalan ini
merupakan kekhususan para nabi, sehingga membedakan para nabi dengan manusia
lainnya. Wahyu Allah berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang
yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental.
Menurut
Jujun S. Suriamantri (2009:40) menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan
manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang diterima dan dimilikinya yakni:
manusia memiliki bahasa yang mampu mengkomunikasikan suatu informasi, dan
manusia mampu berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.
Ada berbagai
pendapat yang berbeda dalam memandang hakikat manusia sebagai penerima dan
pengembang ilmu, yakni antara paradigma Pakar Barat dengan Paradigma Islam.
Adapun perbedaannya hakikat manusia antara kedua paradigm ini adalah sebagai
berikut:
A.
Hakikat Manusia dari Sudut Pandang (Paradigma) Pakar Barat
Hakikat Manusia dari Sudut Pandang (Paradigma) Pakar Barat
Berbicara tentang hakikat manusia menurut pandangan Barat tidak terlepas
bagaimana mereka memandang manusia. Dibawah ini adalah aliran-aliran filsafat
yang mencoba menggali lebih dalam tentang hakikat manusia.
1.
Aliran Monoisme ialah Paham yang menganggap bahwa seluruh semesta,
termasuk manusia, hanya terdiri atas satu asas, satu zat. Faham ini terbagi
kepada dua
aliran yaitu:
a.
Paham Materialisme
Paham ini berpendapat semua yang dilihat adalah materi, serba
benda, serba zat. Itulah sebenarnya hakikat. Maka manusia sebagai materi
(terdiri atas darah, daging dan tulang), sifat dan tingkah lakunya harus
sejalan dengan sifat dan tingkah laku alamiah, yakni terikat dengan hukum alam,
otomatis harus pada hukum kausalitas. Apa yang disebut dengan ruh, jiwa,
pikiran dan perasaan tidak lain adalah fungsi atau kerja badan yang terdiri
dari zat untuk merespon stimulus yang datang dari alam. Maka manusia hanyalah
membutuhkan pengalaman, latihan dan pendidikan adalah sarananya . Untuk itu
kurikulum harus sesuai dengan kodrat alamiah. “yang ada dalam wujud adalah zat.
Zat dan sifat badan tidak pernah tinggal dalam dua zaman”. Bagi mereka yang
berpandangan empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna
penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para
sufi. Paham pemikiran materialisme ini memberikan implikasi terhadap pemahaman
Jhon Lock tentang pengembangan sumber daya manusia yang mengatakan bahwa setiap
manusia lahir dalam keadaan kosong dan pengalamannya-lah yang memberikan ilmu
pengetahuan (Empirisme). Jhon Lock (dalam Irma Suryani, 2010) berpendapat bahwa
pendidikan memberikan tujuan membawa anak didik untuk dapat memilih yang baik
dari yang jahat dan mengendalikan nafsu-nafsunya serta dapat mengikuti apa yang
dituju akal sebaik-baiknya dengan dibantu sepenuhnya oleh panca indera. Aliran
positivisme juga berasal dari pemahaman ini, yang berpendapat bahwa sumber ilmu
pengetahuan berasal dari fakta dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang benar
adalah melalui penelaahan fakta yang ada melalui panca indera. Dengan kata lain,
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah diperoleh melalui pengamatan dan
pengalaman panca indera.
b.
Paham Idealisme
Paham ini juga disebut dengan spritualisme, rasionalisme.
Bagi penganut aliran ini fungsi mental adalah segalanya. Karena itu jasmani
atau tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan,
keinginan dan dorongan jiwa manusia. Karena itu hakikat manusia adalah jiwa.
Jiwa merupakan asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia. Sedangkan
jasmani tanpa jiwa akan tiada berdaya sama sekali. Filsafat Idealisme memandang
bahwa realitas akhir ialah Roh, bukan materi (fisik). Idealisme mengemukakan
bahwa pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena akal
dapat membedakan bentuk spritual dari benda-benda yang diluar penjelmaan
material, sehingga pengetahuan yang diperoleh melalaui indra tidak pasti dan
tidak lengkap. Aliran idealisme mengarahkan pengembangan ilmu pengetahuan di
sekolah sebagai pengaktifan kembali ide rohani yang berasal dari ide besar
(Tuhan). Kaum idealis percaya bahwa anak, merupakan bagian dari alam spritual,
yang memiliki pembawaan spritual sesuai dengan potensi aktivitas. Oleh karena
itu filsafat idealisme, menekankan pada pertumbuhan rohani. Hakikat segala yang
ada, juga manusia adalah idea. Idea (Ruh) itu non materi karena itu ia tidak
menempati ruang. sedangkan Materi adalah manifestasi ruh dalam arti lain kenyataan
materi ini adalah kekeliruan pandangan kita saja. Pada saat ini pendidikan harus dilaksanakan
untuk mengembangkan potensi jiwa. Pendidikan bukanlah karena faktor luar,
pengalaman, melainkan ditentukan oleh faktor dalam (potensi-potensi hereditas).
Paham pemikiran ini melahirkan teori pendidikan yang bernama Nativisme yang
dipelopori oleh A. Scophenhour, yang mengatakan manusia sejak lahir telah
membawa potensi. Potensi tersebut akan berkembang sendirinya. Kedudukan
lingkungan (pendidikan) tidak mempengaruhi potensi yang dimiliki oleh manusia
tersebut. Potensi tersebut akan teraktualisasi bila ada sentuhan atau stimuli
dari luar diri manusia (lingkungan) dimana manusia itu berada. Posisi
lingkungan merupakan sarana bagi pengembangan potensi yang dimiliki manusia.
Akan tetapi sifatnya hanya membantu merangsang tumbuhnya potensi pasif yang
dimiliki manusia menjadi potensi aktif.
2.
Aliran Dualisme
Aliran ini melihat realita semesta sebagai
sintesa dua kategori yaitu, benda mati dan makhluk hidup. Demikian pula manusia
merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga. Bagi aliran ini
pendidikan adalah masalah latihan mind (yakni daya-daya jiwa), meskipun
demikian jasmani tetap mengambil peranan aktif yang penting dalam semua
aktifitas. Dengan demikian segala aktifitas manusia merupakan kerja sama antara
jasmani dan rohani. Aliran ini kemudian melahirkan aliran baru dalam dunia
pendidikan yaitu konvergensi yang dipelopori oleh William Sterm. Paham ini
merupakan perpaduan antara nativisme dan empirisme. Menurut mereka memang
manusia memiliki kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu
hanya dapat berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar
(lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar (potensi dan bakat) dan
ajar (bimbingan). Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan potensi/bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar
(lingkungan), bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan baik.
B.
Hakikat Manusia dari Sudut Pandang (Paradigma) Pakar Timur
(Islam)
Di dalam Al-qur’an ada tiga kelompok istilah
yang digunakan untuk menjelaskan manusia secara totalitas, baik fisik maupun
psikis diantaranya:
1.
Kelompok al-basyar, secara bahasa maknanya fisik manusia.
Al-Qur’an menggunakan kata al-basyar untuk menjelaskan manusia sebanyak 36 kali
dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna (dua). Dari
penjelasan ayat-ayat yang menjelaskan al-basyar tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian al-basyar secara istilah tidak lain adalah manusia pada
umumnya, yaitu manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang sangat bergantung
pada kodrat alamiahnya, seperti makan, minum dan berhubungan seks, tumbuh, berkembang
dan akhirnya mati, hilang dari peredaran kehidupan dunia.
2.
Kelompok al-Insan
Kata al-Insan yang sejenisnya yaitu al-ins, al-nas dan al-unas.
Kemudian kata al-Insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali,
masing-masing dalam 63 ayat dan 43 surah. Menurut Ibnu Mansur al-insan
mempunyai tiga asal kata yaitu: (1) Anasa, yang berarti melihat, mengetahui dan
meminta izin, maka ia memiliki sifat-sifat potensial dan aktual untuk mampu
berfikir dan bernalar. (2) Nasiya, yang berarti lupa menunjukkan bahwa potensi
manusia untuk lupa dan bahkan lupa ingatan. (3) Al-unas yang berarti jinak, ini
menunjukkan bahwa manusia menunjukkan sikap ramah dan mudah mengenalkan diri
dengan lingkungan. Selanjutnya al-ins. Istilah al-Ins dalam al-Qur’an
disebutkan sebanyak 18 kali masing-masing 17 ayat dan 9 surah.
Biasanya selalu dihubungkan penjelasannya
dengan al-jin. Aisyah binti al-Syati menyimpulkan al-ins berarti jinak sebagai
lawan al-jin yang berarti buas. Yang mana keduanya selaku hamba Allah yang
senantiasa diwajibkan mengabdikan diri kepada Allah disepanjang hidupnya.
Al-ins dipakai al-Qur’an dalam kaitannya dengan berbagai potensi jiwa manusia
yaitu potensi manusia untuk menjadi baik atau buruk, maka manusia terlihat
sangat bergantung kepada pengaruh lingkungan. Selanjutnya kata al-unas terdapat
dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali, masing-masing dalam 5 ayat dan dalam 4 surah.
Berdasarkan penggunaan kata al-unas dalam berbagai konsteks ayat yang
menjelaskan al-uns tersebut dapat disimpulkan bahwa ia selalu dihubungkan
dengan kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal,
maupun kelompok orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Dari situ dapat
dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan ia akan selalu
membentuk kelompok sesuai dengan suku, bangsa, dan lain-lain.
Kemudian istilah berikutnya adalah al-nas
disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 243 kali, masing-masing 54 surah dan 230
ayat. Diantara kata yang terpenting mengikuti istilah al-nas adalah ya ayyuhan
nas (wahai manusia). Allah menggunakan istilah ini yang berlaku umum, bukan
hanya untuk ummat muslim. Jika dianalisa ayat yang menggunakan ya ayyuhan nas
akan ditemukan bahwa ayat-ayat itu mengajarkan nilai-nilai yang dipandang baik
untuk seluruh manusia. Dengan demikian menurut al-Qur’an, sifat dasar manusia
sebenarnya adalah saling mencintai. Itulah nilai universal umat manusia. Dan
untuk menegasklan universal itu, al-Qur’an memulai ayat ayat tersebut dengan ya
ayyuhan nas (wahai manusia.).
3.
Bani Adam
Secara bahasa bani adalah bentuk jamak dari
ibnun, yang berarti anak. Istilah bani adam dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak
7 kali, masing- masing dalam 7 surah dan 7 ayat. Dari keseluruhan ayat yang
menggunakan kata bani adam tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk
yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistimewaan
itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam.
Dengan kata lain bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam relasi dengan
Tuhan (hablun min al-Allah) dan relasi dengan sesama manusia (hablun minannas) dan relasi dengan alam (hablun min al ‘alam).
Tugas manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi, yakni pemelihara dan
penjaga amanah Allah.
C.
Perbedaan Paradigma Barat Dan Islam Memandang Manusia Sebagai
Penerima dan Pengembang Ilmu Pengetahuan
Beranjak dari penjelasan sebelumnya, maka dapat
dipahami bahwa perbedaan hakikat manusia sebagai penerima dan pengembang ilmu
pengetahuan menurut paradigma barat dan Islam adalah:
1.
Barat memandang bahwa manusia pada hakikatnya adalah sebagai
sosok makhluk yang merdeka tanpa terikat oleh nilai-nilai ilahiyah. Manusia
bebas berbuat sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan dalam Islam walaupun manusia diberi kebebasan akan
tetapi kebebasan itu tidak mutlak dimana ia sanggup berbuat semaunya dalam masa
dan tempat yang dikehendakinya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang
terikat oleh rasa tanggung jawab, tidak menghalangi kebebasan orang lain,
nilai-nilai agama dan moral yang dianut masyarakat, undang-undang yang berlaku,
kebersamaan dan keadilan serta akal logika. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap
kamu pemimpin dan setiap kamu akan mempertanggung jawabkan atas kepemimpinanmu”.
(H.R. Bukhari).
2.
Menurut Islam pendidikan tidaklah diukur dengan penguasaan
atau supremasi atas segala kepentingan duniawi saja akan tetapi sampai dimana
kehidupan duniawi memberikan aset untuk kehidupan di akhirat kelak. Berbeda
dengan pendidikan di Barat yang bertitik tolak dari filsafat pragmatisme yang
mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu, tempat, situasi dan berhenti pada
garis hajat, yang bertitik tolak dari filsafat pendidikannya adalah
kegunaan/utilitas, yang diukur dari kepentingan duniawi saja.
3.
Menurut Islam konsep hakikat manusia tidak sama dengan paham
materialisme yang mengatakan bahwa manusia terlahir suci, bersih seperti kertas
putih. Orang tua dan lingkungannyalah yang yang mewarnai dan mengarahkan kemana
anak akan dibawa. Sedangkan dalam Islam, manusia sejak lahir telah memiliki
berbagai bentuk potensi yang bisa dikembangkan. Tanpa potensi tersebut, manusia
akan sulit untuk mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil Allah.
Konsep fitrah manusia juga berbeda jauh dengan paham idealisme yang melahirkan
teori nativisme A. Scophenhour, yang mengatakan manusia sejak lahir telah
membawa potensi. Potensi tersebut akan berkembang sendirinya. Kedudukan
lingkungan sama sekali tidak mempengaruhi potensi yang dimiliki oleh manusia
tersebut. Sedangkan dalam Islam, mengakui adanya pengaruh yang besar dari luar
diri manusia, baik insani maupun non insani dalam mengembangkan dan
memodifikasi potensi yang dimilikinya. Konsep fitrah menurut Islam juga berbeda
dengan paham dualisme yang melahirkan teori konvergensi yang dipelopori oleh William
Stern yang mengatakan bahwa sejak lahir manusia telah membawa sejumlah potensi
yang akan berkembang bila mendapatkan sentuhan dari lingkungannya. Sedangkan
dalam Islam perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh
lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas sejauh
mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk kepribadian
manusia, tapi ada kalanya juga lingkungan yang lebih dominan, atau kedua-duanya
sama-sama dominan.
4.
Otoritas. Dalam pandangan barat tidak mengenal istilah
otoritas dalam keilmuan, menurut mereka ilmu atau teori dianggap benar manakala
belum ada teori lain yang bisa menumbangkan teori tersebut. Dalam pandangan
barat tidak ada pengetahuan yang bersifat mutlak dan absolut. Sedangkan menurut
Islam sebagaimana dikemukakan Al-Attas, kebenaran pengetahuan itu terbagi
kepada dua macam. Pertama, Produk manusia berupa teori-teori yang telah
terbukti kebenarannya. Kebenaran ini bersifat relatif. Kedua, risalah atau
pesan yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari Allah. Kebenarannya bersifat
absolut. Otoritas yang tertinggi dalam paradigma Islam adalah al-Qur’an
kemudian al-Sunnah yang terbukti keabsahannya baru kemudian produk (hasil
pemikiran manusia. Dengan demikian, paradigma Islam memiliki otoritas yang
bertingkat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun dari uraian di atas dapat di simpulkan sebagai
berikut:
1.
Manusia mempunyai banyak keistimewaan
dibanding makhluk lainnya, diantaranya adalah potensi untuk menerima,
menalar yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuan yang ada.
2.
Lebih luas lagi manusia adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dan
keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan,
peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam. Dengan kata lain bahwa manusia
adalah makhluk yang berada dalam relasi dengan Tuhan (hablun min al-Allah) dan
relasi dengan sesama manusia (hablun minannas) dan relasi dengan alam (hablun min al ‘alam).
Tugas manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi, yakni pemelihara dan
penjaga amanah Allah.
3.
Manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya (empirisme), manusia memperoleh
pengetahuan dengan menangkap objek dengan menggunakan alat indrawi yakni akal yang dapat menghasilkan
pengetahuan tentang objek yang betul-betuk abstrak (Rasional), pengetahuan yang
diperoleh melalui hati atau perasaan tanpa dibantu oleh penggambaran secara
simbolik atau pengetahuan yang didapat secara langsung dan seketika (intuisi),
dan pengetahuan yang diperoleh oleh Allah kepada manusia lewat perantara para
Nabi.
4.
Hakikat manusia
dari paradigma pakar barat secara garis besar manusia dilihat dapat dilihat
dari dua aliran yang masing-masing aliran mempunyai bagiannya, paham yang
menganggap bahwa seluruh alam semesta, termasuk manusia hanya tediri dari atas
satu asas, satu zat (monoisme). Dan aliran dualisme yang memandang bahwa
realita semesta sebagai sintesa dua kategori yakni benda mati dan dan makhluk
hidup.
5.
Hakikat manusia
dari paradigma timur megatakan bahwa manusia di kelompokan menjadi tiga yakni
kelompok al-basyar, kelompok al-insan dan kelompon bani Adam.
B. Saran
Pemakalah
menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak
kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan
yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa
pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Daftar
Rujukan:
Bakhtiar, Amsal.
2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Ramayulis. 2008.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia
Suhar. 2010. Filsafat
Umum (Konsepsi, sejarah, dan aliran). Jakarta: Gaung Persada Press
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sianar
Harapan.
irmasuryanisiregar. 2010. hakikat-manusia-sebagai-penerima. (irmasuryanisiregar.blogspot.com diakses tanggal 5 September 2013 pukul
16.00 wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar