Senin, 16 Mei 2011

Pendekatan Konseling Spiritual Untuk Mengembangkan Hikmah Ibadah Bagi Pemulihan Pecandu Napza

Pendekatan Konseling Spiritual  Untuk Mengembangkan Hikmah Ibadah Bagi Pemulihan Pecandu Napza

(Penelitian Tindakan Kolaboratif dalam Upaya Mengembangkan Hikmah Ibadah untuk Mencapai Perkembangan Kemampuan Bio-Psiko-Sosio-Spiritual Pemulihan Pecandu NAPZA di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putra Lembang Bandung

Oleh
Cucu Maesaroh *)


Abstract: This research is aimed at finding a formula of spiritual counseling approach to the developing the blessing of worship for the rehabilitation of drugs addict provided by Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putra Lembang (Drugs Addicts Social Rehabilitation Organization). It applied  the qualitative method by using collaborative action research approach. The gained results are : (1) the change in physical, social, and mental-spiritual structures which affect the personal maturity; (2) the change in personality with noble character which can give advantages to the addicts themselves, family environment, and social environment around them; (3) the development of balanced intelligence maturity among intellectual intelligence, emotional intelligence, mental intelligence, and spiritual intelligence of drugs addicts which can become an internal factor of personal strength and unity to reach the true happiness; and (4) can reach divine potential, so, the addicts can solve their life problems wisely, including the problems of relapses, with this potential.

Kata kunci : Pendekatan konseling spiritual, hikmah ibadah, pemulihan pecandu NAPZA.

Penelitian ini dirancang atas dasar kondisi objektif yang dihadapi pecandu NAPZA di dalam menjalani pemulihan, seringkali harus keluar masuk atau berulang-ulang mengikuti pemulihan pada balai pemulihan yang berbeda atau yang sama, disebabkan suatu kondisi perilaku kekambuhan kembali menggunakan NAPZA atau terjadinya kegagalan dalam menjalani pemulihan. Balai pemulihan sosial bagi pecandu NAPZA, keberadaannya bertujuan untuk mempersiapkan pecandu NAPZA agar mampu menjalani pemulihan secara sehat dan wajar, namun dalam kenyataannya, pecandu menunjukan perilaku relapse. Dari sini nampak ada masalah dalam proses pertolongan dalam pemulihan bagi pecandu NAPZA, yang belum menyentuh metode terpadu bio-psiko-sosio-spiritual. Maka untuk itu diperlukan rumusan pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA

Data Badan Narkotika Nasional (BNN, 2007), bahwa pecandu NAPZA di Indonesia meningkat tajam dalam 10 tahun terahir yang menunjukan fenomena sosial pecandu NAPZA adalah remaja.
Usia transisi yang dialami remaja cenderung membawa dampak psikologis disamping membawa dampak fisiologis, dimana perilaku mereka cenderung berpikir pendek dan ingin cepat dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan. Namun, tidak sedikit jalan yang ditempuh adalah jalan yang sesat dan mengandung risiko seperti NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif). Karena proses berpikir seperti itu, remaja tidak mampu lagi membedakan hal baik atau buruk untuk dijadikan acuan perilaku yang sesuai dengan konsepsi ‘halal dan haram’ sesuai perintah dan larangan agama yang dianutnya. Selain itu remaja cenderung menutupi eksistensi kehidupannya dengan mengabaikan  ajaran  agama yang  dianutnya  dan  nilai  normatif  yang  ditanamkan  pada dirinya dalam menyelesaikan persoalan. Pada akhirnya, NAPZA-lah menjadi solusi dalam memecahkan berbagai persoalan hidupnya.
Moore (1999) dalam penelitiannya disimpulkan bahwa remaja yang tidak mempunyai komitmen agama akan berisiko empat kali lebih besar terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kendler (1997) dalam penelitian “Psychopathology, and Subtances Use and Abuse”, yaitu peranan agama dalam pemulihan bagi pecandu NAPZA sangat penting.
Dengan kondisi perilaku remaja tersebut, sering kali pecandu NAPZA mengalami kegagalan dalan menjalani pemulihan dan tidak mampu lagi membangkitkan kesadaran spiritual. Sesungguhnya, kesadaran dan kekuatan spiritual akan diperoleh jika remaja mendekatkan dirinya dengan ketaatan dan amaliyah ibadah kepada Tuhan-Nya ketika dihadapkan pada berbagai persoalan hidupnya.
Hubungan spiritual manusia dengan Rabbnya ketika ibadah akan memunculkan kekuatan spiritualnya berupa limpahan Ilahiah atau petikan spiritual berupa al-hikmah. Tekadnya bertambah kuat, kemauannya semakin keras, dan semangatnya kian meningkat sehingga ia pun lebih memiliki kesiapan untuk menerima ilmu pengetahuan atau hikmah (Najati, 2005).
Hikmah merupakan karunia Allah berupa pemahaman terhadap ma’rifat Allah. Hikmah dapat menambah kemulian atau mengangkat (derajat) manusia sebagai hamba-Nya. Pemiliknya akan mencerminkan ciri-ciri para Nabi yang ada pada mereka. Hikmah yang dimilikinya akan menuntun dirinya kapada kemaslahatan yang tepat dalam melaksanakan semua aktivitas dan perbuatan sehari-hari sehingga mampu mencegah dan menjaga diri dari akhak-akhlak yang tidak diridhoi-Nya. Karena itu hikmah tidak dianugrahkan kepada setiap orang, akan tetapi terlahir dari sejumlah faktor dan sebab yang merupakan fadhilah dan nikmat dari Allah. Selanjutnya, Faktor meraih hikmah ibadah, meliputi: (a) berdasarkan ilmu syariat; (b) ikhlas dan takawal; (c) syukur dan sabar; dan (d) berdoa dan tawakal. Sedangkan faktor penghalang hikmah ibadah, meliputi: (a) hawa nafsu; (b) kebodohan; (c) kesombongan; (d) keras dan kasar (Nashir, 1995).
Kesadaran spiritual atau fitrah beragama manusia tidak berkembang secara otomatis, tetapi melalui suatu proses  (pengamalam yang bermakna melalui pendidikan). Dimulai dari kondisi belum memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan Tuhan (ibadah mahdlah) dan hubungan dengan sesama manusia (ibadah gair mahdlah). Dengan demikian diperlukan konseling agar memiliki kesungguhan atau kemampuan untuk menjalin hubungan dengan Allah swt melalui aktivitas ketaatan dan amaliyah ibadah ibadah mahdlah dan  ibadah gair mahdlah. (Yusuf, 2007)
Kesadaran spiritual yang sungguh-sungguh pada diri pecandu NAPZA akan merupakan pondasi terhadap relapse dan perekat bagi dirinya dalam membingkai keberhasilan pemulihannya. Bagaimanapun juga pemulihan bagi pecandu NAPZA bukan persoalan yang mudah, dibutuhkan waktu panjang dan berkelanjutan, serta tanpa henti melalui usaha yang serius.
Salah satu teori yang membahas tentang pemulihan pecandu NAPZA adalah Developmental Models of Recovery yang terdiri dari atas lima tahapan, meliputi: (a) transisi; (b) stabilitas; (c) pemulihan dini; (d) pemulihan menengah; dan (e) pemulihan akhir dan pemeliharaan. Dikatakan oleh Gorski (2001) bahwa Developmental Models of Recovery berati tidak hanya melangkah dari pematangan terhadap NAPZA (abstience), tetapi juga mencapai keadaan yang nyaman dan bermakna. Artinya, pemulihan tidak hanya diarahkan untuk mencapai kenyamanan fisik dan psikologis tanpa NAPZA, tetapi juga membantu makna dalam hidup. Dengan ditemukan makna hidup maka relapse dapat dialihkan pada keinginan untuk memenuhi makna dalam hidup yang sehat, waras dan produktif. Tujuan pemulihan diawali oleh stabilitas fisik, selanjutnya diarahkan agar dapat memandang dirinya serta lingkungannya melalui sudut pandang yang positif disertai dengan penerimaan diri, sehingga pecandu NAPZA menyadari dirinya sebagai individu yang memiliki peran, hak serta kewajiban di dalam masyarakat.
Selanjutnya sehubungan dengan pentingnya dimensi agama dalam kesehatan, menurut Clinebell (1991) dalam Hawari (2004), pada tahun 1984 World Health Organization (WHO) telah menambahkan dimensi agama sebagai salah satu dari empat pilar kesehatan, yaitu kesehatan manusia seutuhnya meliputi: (a) sehat secara jasmani/fisik (biologik), (b) sehat secara kejiwaan (psikiatrik/psikologik), (c) sehat secara sosial, dan (d) sehat secara spiritual (kerohanian/agama). Dengan kata lain, manusia yang sehat seutuhnya adalah manusia yang beragama dan mampu membangkitkan kesadaran spiritual serta mampu memaknai perjalanan spiritual.
Tujuan konseling spiritual dalam proses pertolongan bagi pemulihan pecandu NAPZA, adalah sebagai upaya membantu membangkitkan kesadaran dan semangat kepercayaan yang telah menyimpang dari pada nilai-nilai normatif dan ajaran agamanya, yang dikarenakan adanya kekosongan jiwa dari ke-Tuhan-an sebagai dampak dari NAPZA, dengan membantu pecandu untuk berkembang sesuai dengan eksistensi dan fitrah-Nya, dalam mencapai tujuan hidupnya. Untuk itu konselor hendaknya membantu kehidupan pecandu di dunia sekarang, dan di akhirat nanti, selanjutnya konseling sebaiknya diarahkan pada pendekatan dengan melihat hakekat manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia yang sesuai dengan firah manusia sebagai ‘makhluk tauhid’ dengan segenap kemuliaan dan keterbatasan (keunikan dari sifat-sifat setiap individu) yang memerlukan pengarahan secara jelas untuk penyelesaian masalahnnya secara bijak, baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai yang terkadung dalam Alquran dan As-Sunnah.
Dengan demikian konseling bagi pemulihan pecandu NAPZA hendaknya ditangini secara holistik dan menggunakan metode terpadu dengan memperhatikan tumbuh kembangnya empat pilar kesehatan, yaitu kesehatan manusia seutuhnya meliputi: (a) sehat secara jasmani/fisik (biologik), (b) sehat secara kejiawaan (psikiatrik/psikologik), (c) sehat secara sosial, dan (d) sehat secara spiritual (kerohanian/agama). Para pecandu NAPZA diharapkan mampu berada  pada jalur-jalur mental dan emosional (bio-psiko-sosio) yang sehat dan wajar, agar tercipta perilaku baru atau ahlak mulia sebagai perekat dan penguat terhadap relapse. Untuk itu, konseling yang diberikan bukan sekadar proses memberikan pertolongan, nasihat dan dukungan sosial saja, tetapi juga harus merujuk kepada pecandu dengan Maha Penciptanya, yakni Allah swt. Konseling yang diberikan diarahkan untuk mengembalikan keimanan dan ketakwaan serta kesadaran spiritual, yang akan membawa pecandu pada eksistensi dirinya dan dapat menemukan citra dirinya, sesuai dengan kebenaran yang hakiki dan kemenangan yang abadi untuk meraih kebahagian kehidupan yang hakiki.
Konseling spiritual dapat diartikan sebagai: proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki kemampuan untuk mengambangkan fitrahnya sebagai mahluk beragama (homo religions), berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), dan mengatasi masalah-masalah kehidupan melalui pemahaman, keyakinan, dan praktik-praktik ibadah ritual agama yang dianutnya. Selanjutnya tujuan umum konseling spiritual adalah memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan konseli untuk mengembangkan kesadaran spiritualitasnya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, konseling dapat mencapai kehidupan yang bermakna. Kesadaran spiritual konseli yang baik diyakini akan berpengaruh secara positif dan fungsional terhadap aspek-aspek kehidupan pribadi lainnya (Yusuf, 2007).
Tujuan utama intervensi spiritual (kerohanian/agama) dalam konseling adalah untuk meningkatkan proses penyesuaian dan pertumbuhan spiritual konseling. Hal ini terjadi karena konseling yang sehat spiritualnya akan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupannya. Kategori intervensi tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, tingkah laku, dan interpersonal dengan Sang Pencipta (Noor, 2006).
Pada akhirnya life long counseling akan menjadi relevan diaplikasikan dalam membingkai pemulihan bagi pecandu NAPZA, karena didalamnya terkandung berbagai keistimewaan dan keluasaan jangkauan yang meliputi hak keduniawian dan keakhiratan.

Metode
 Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan collaborative action research, suatu penelitian yang dilakukan di tengah-tengah situasi yang riil dalam rangka mencari dasar bagi petugas-petugas untuk bertindak dalam mengatasi suatu kebutuhan praktis yang mendesak. Penelitian ini tertuju kepada usaha untuk memperbaiki situasi. Penyelenggaraan penelitian ini biasannya dilakukan dengan kerja sama antara para ahli, peneliti, dan praktisi (Natawijaya, 2008).
Kolaboratif mengacu pada konsep konstruktivisme yang dalam hal ini disebutkan bahwa, sangatlah sangatlah umum bagi konselor untuk saling bekerja dengan para ahli, yang akan menjadi tugas yang menantang karena adanya beragam ide dalam menghadapi suatu kasus yang sama (Bertolino & O’Hanlon, 2002).
Adapun pelaksanaan kolaboratif dalam tindakan pada kajian ini melibatkan antara peneliti, petugas jabatan fungsional (pekerja sosial), petugas jabatan struktural (ka. balai & kasi pemulihan), tim Assatidz Daarul Tauhiid, dan  tim Sholat Centre Jawa Barat.
Metode analisis kualitatif dilaksanakan untuk memperoleh keleluasaan dalam menggambarkan permasalahan realitas yang kompleks tentang layanan praktik pemulihan yang dilakukan oleh balai pemulihan sosial bagi pecandu NAPZA, sehingga menghasilkan analisis fakta-fakta yang akurat tentang rumusan dan implikasi pendekatan konseling spiritual untuk mengambangkan hikmah ibadah bagi pemulihan bio-psiko-sosio-spiritual pecandu NAPZA.
Subyek penelitian pada kajian tindakan ini adalah pecandu NAPZA yang sedang menerima layanan pemulihan di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putra Lembang Bandung, yang berjumlah 10 orang yang dipilih secara purposive random sampling. Kriteria subyek penelitian, meliputi: (a) pecandu NAPZA  yang sedang menjalani pemulihan atau pematangan terhadap NAPZA yang berusaha untuk mencapai keadaan yang nyaman dan bermakna  (abstinennce); (b) pecandu yang berada dalam keadaan tidak mabuk (sobriety), atau berusaha hidup secara nyaman tanpa menggunakan NAPZA; (c) pecandu yang ingin meraih kembali keadaan kesehatan fisik, phisik, sosial dan spiritual secara penuh dan optimal; dan (d) bebas dari kecanduan terhadap NAPZA.

Hasil
 Hasil penelitian yang dideskripsikan mencakup: (1) esensi dan impilkasi pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA, yang terdiri atas konseling amaliyah ibadah dan konseling aplikasi sholat khusyu; dan (2) rumusan pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA.

Pencapaian Esensi dan Implikasi Pendekatan Konseling Spiritual untuk Mengembangkan Hikmah Ibadah bagi Pemulihan Pecandu NAPZA
Pertama (Tindakan ke-1),  dengan konseling amaliyah ibadah data empirik menunjukan bahwa, “konseling amaliyah ibadah mahzoh dan ibadah goir mahzoh” untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA, cukup berpengaruh terhadap perubahan bio-psiko-sosio-spiritual, yang berimplikasi terhadap siklus kehidupan sehari-hari selama menjalani pemulihan, yakni adanya kedasaran semangat perbaikan diri pada pecandu NAPZA melalui praktek amalan ibadah-ibadah, dengan menunjukan sikap; (a) berusaha menegagkan sholat 5 (lima) waktu tepat waktu dan dilakukan secara berjama’ah di mesjid yang dilanjutkan dengan dzikir, impilkasi pecandu mampu bersikap lebih sabar dan santun, keadaan ini ditunjukan kondisi perilaku pecandu lebih rileks dalam menanggapi permasalahan; (b) melaksanakan sholat sunnah dhuha pagi hari sebelum melakukan aktivitas, impilkasi menimbulkan sikap optimisme pada masa depan; (c) melaksanakan puasa sunnah senin – kamis, implikasinya pecandu menjadi lebih mampu mengendalikan pemikiran-pemikiran negatif; (d) berusaha membaca Alquran secara tartil dan memaknai artinya, implikasinya berperilaku sesuai dengan akidah Islam dan tuntunan Allah (fitrah, hati dan akal); dan (e) berusaha berwulu dengan baik, implikasinya mampu menghadirkan kebersihan dan kesehatan (jasmani dan rohani)
Adapun implikasi konseling amaliyah ibadah mahdlah dan ibadah gair mahdlah untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA, yaitu adanya perubahan pada ‘aspek bio’; (a) kesadaran untuk berobat; (b) kesadaran menjaga kesehatan dan kebersihan; (c) bersuci secara teratur; (d) berolah raga secara rutin dan bersungguh-sungguh; dan (e) beraktivitas/melakukan rutinitas tugas asrama. Perubahan pada ‘aspek psiko’ ditunjukan dengan adanya; (a) kesadaran mengendalikan konflik internal dan eksternal; (b) kesadaran mengendalikan perilaku dan pemikiran negatif; dan (c) kesadaran untuk bisa lebih memahami diri sendiri dan orang lain., dan adanya kesadaran untuk bersikap lebih optimis dan tenang. Selanjutnya perubahan pada aspek sosio, ditunjukan adanya perubahan pada; (a) kesadaran  memaknai berelasi dan beretika sosial; (b) kesadaran terhadap  kepedulian sosial; (c) kesadaran memahami nilai dan norma; (d) kesadaran untuk mampu membangun kepercayaan; (e) kesadaran bersikap positif; (f) kesadaran  memaknai berelasi dan beretika sosial; (g) kesadaran terhadap  kepedulian sosial; (h) kesadaran memahami nilai dan norma; (i) kesadaran untuk mampu membangun kepercayaan; (j) kesadaran bersikap positif. Kemudian perubahan pada ‘aspek spiritual’ ditunjukan terhadap adanya; (a) kesadaran menegakkan nilai-nilai keimanan; (b) kesadaran melaksanakan ibadah wajib dan sunnah; (c) kesadaran mewujudkan ahlak mulia; (d) kesadaran memahami Sang ‘Aku’ dan  Tuhan-Nya (dengan mengenal dirinya maka Ia akan mengenal Tuhan-Nya), dan (e) berusaha memaknai  nilai aktivitas sebagai Ibadah.
Selanjutnya, berdasarkan temuan dengan mengukur salah satu hormon tubuh yang berperan untuk mengukur parameter stress dan kondisi fisikologis yaitu pada hormon kortisol, menunjukan nilai kadar kortisol serum pagi berada pada posisi normal dengan hasil: 8 – 15 bila mengacu pada nilai rujukan ideal 5 – 25, artinya keadaan kadar kortisol tidak kekurangan dan tidak kelebihan. Kedaan ini sangat diperlukan bagi respon tubuh yang seimbang, sehingga mampu mengelola situasi atau keadaan stress, serta mampu mengembangkan perilaku yang kondusif dan sehat secara wajar.
Kedua (Tindakan ke-2), dengan konseling aplikasi sholat khusyu, hasil temuan menunjukan bahwa perubahan pada ‘aspek bio’;  (a)  adanya stamina kesehatan yang cukup baik; (b) bisa menjaga kebersihan dan kesehatan fisik secara lebih baik dengan membagi pola aktivitas secara lebih baik; (c) memperhatikan penampilan fisik dengan berpakaian lebih rapih dan menjaga kebersihannya; (d) menjaga pola hidup  sehat dan wajar; dan (e) berpenanpilan lebih energik dan dinamis, serta adanya sikap proaktif bilamana merasakan kesehatan terganggu. Perubahan yang ditunjukan oleh partisipan pada aspek ‘psiko’ yaitu adanya; (a) kemampuan dalam mengendalikan konflik baik yang sifatnya internal dari dirinya maupun konflik yang ditimbulkan dari faktor ekternal sekitarna; (b) kemampuan dalam mengendalikan perilaku maladaptif dan berupaya menciptakan perilaku yang kondusif; (c) kemampuan membentuk ahlak mulia yang Islami; (d) kemampuan untuk bersikap lebih realistik, optimis, dan berpikir lebih tenang atau bersikap lebih relaks,  atau lentur ‘tumaninah’; dan (e) tumbuhnya kematangan psikologis atau emosinal secara lebih proaktif. Selanjuntnya perubahan yang ditunjukan oleh partisipan pada aspek ‘sosio’, yaitu; (a) adanya kemampuan untuk menjalani dan memperbaiki hubungan silaturahmi dengan lebih baik, dengan memulai ucapan salam  terlebih dahulu; (b)  timbulkan sikap kepedulian sosial dengan rasa empati terhadap rekan sekamar khusus, umumnya terhadap semasa lainnya; (c) menunjukan sikap rendah hati dengan budi pekerti yang lebih Islami; (d) menunjukan sikap yang lebih kreatif disertai dengan rasa tanggung jawab sosial yang cukup baik atau bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatannya; dan (e) memiliki semangat hidup tidak hanya untuk dirinya tetapi juga terhadap kualitas hidup bersama. Kemudian aspek “spiritual’ perubahan perilaku keagamaan yang ditunjukan oleh partisipan, yaitu pada kesadaran spiritual untuk; (a) memulai semua aktivitasnya dengan mengucapakan basmallah dan mengakhirinya dengan kalimat hamdallah; (b) mampu menegangkan amaliah ibadah harian wajib secara istikomah; (c) menunjukan sikap atau perilaku yang lebih santun dan lebih lembut; (d) mampu menyingkapi hidup dengan lebih pasrah, dengan sikap ketundukan untuk  berusaha patuh dalam menjalankan perintah-perintah oleh-Nya, serta menjauhi semua larangan-Nya; (e) mampu mengingkapi beban persoalan kehidupan untuk lebih ridho; (f) adanya upaya untuk selalu beusaha memperbaiki nilai-nilai ibadah, yang ditunjukan dengan adanya sikap kegigihannya dalam mencari ilmu.
Berdasarkan temuan tes laboratorium terhadap hormon kortisol dalam tubuh pecandu NAPZA, setelah diberikan “konseling aplikasi sholat khusyu” menunjukan pada kadar kortisol dalam kondisi cukup stabil dan baik; tidak kekurangan dan juga tidak kelebihan, dengan respon ketahanan tubuh yang seimbang, yakni masih bertahan pada posisi nilai rujukan diantara nilai 5 – 25 , yakni berada pada posisi normal dengan hasil: 8 – 15 atau berada pada kondisi kadar kortisol tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. 

Rumusan Pendekatan Konseling Spiritual Untuk Mengembangkan Hikmah Ibadah Bagi Pemulihan Pecandu NAPZA

Studi ini menghasilkan rumusan yang terdiri atas :
a.      Tujuan  Konseling
Secara umum, tujuan pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA ini adalah untuk mewujudkan perilaku baru pada diri pecandu NAPZA dengan pribadi ‘ahklak mulia’ yang menghiasi dirinya berdasarkan asmaul husna Ilahi serta mencontoh keteladanan mulia Rasulullah saw. dan mampu memfungsikan qolbu wahdaniyyun yang terpancar dari Nur Ilahiah. Selain itu mampu melaksanakan keberfungsinya secara lebih optimum selama menjalani pemulihan, sehingga dapat meraih kebahagian yang hakiki.
b.      Kualifikasi Konselor
Konselor pendekatan konseling spiritual menyandang profesi yang sangat mulia, karena profesi ini sejalan dengan tugas para Nabi dan Rasul Allah untuk mengajak ‘mengingatkan dengan nasihat’, membantu dan membimbing konseli (pecandu NAPZA) menuju kepada jalan kehidupan yang lurus sesuai dengan tuntunan-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Dengan kualifikasi ini, maka persyaratan minimal konselor, sebagai berikut: (1) konselor memiliki kualifikasi atas dasar keimanan, ketaqwaan dengan menjunjung tinggi tuntunan Allah swt dan Rosulullah, dan harus tercermin dari kualitas spiritual dan moral yang tinggi, kepribadian dengan akhlak yang mulia, juga  mengusai pengetahuan tentang keterampilan profesi konseling dan syariat Islam; (2) konselor memiliki kualifikasi sikap tulus dan ikhlas; yaitu kemampuan untuk bersikap menghormati/menghargai konseli dan teman sejawat tanpa pamrih serta kerelaan untuk membantu dalam memberikan konseling; (3) konselor memiliki kualifikasi sikap sabar; yaitu ketika dihadapkan kesulitan dalam menghadapi konseli dan teman sejawat, baik berupa perkataan maupun perbuatan; (4) konselor memiliki kualifikasi sikap lembut, yaitu menunjukkan sikap kelembutan dan menggunakan perkataan penuh kelembutan melalui tutur kata halus dan lembut dan menghindari sifat keras dan kasar ketika proses konseling berlangsung; (5) konselor memiliki kemampuan untuk menjaga rahasia, yaitu konselor harus memberi jaminan, menjaga dan mengormati dan memelihara informasi berkenaan dengan rahasia mengenai konseli, dan menghormati hak-hak konseli; (6) konsoler dalam proses konseling “menasehati atau mengingatkan konseli” hendaknya menyakini bahwa hasil akhirnya masih tergantung pada kudrot dan irodat Allah-Nya.
c.       Nuansa Konseling
Nuansa konseling dibingkai sesuai dengan tuntunan Ilahiah dan Rosul-Nya atau bernuansa Islam, sebagai berikut: (1) pelaksanaan konseling pada tahapan intervensi pemulihan ‘bimbingan mental psikologi’ dan ‘bimbingan moral keagamaan’ dengan pendekatan konseling spiritual, pemberian materi kajian difokuskan pada konsep tematik nilai-nilai ajaran Islami, yang meliputi pemaknaan konsep; sabar, syukur, rendah hati, memahami ilmu, taqwa dan iman, tawadlu, marah yang dirahmati, adab berinteraksi dan berelasi, tegar, mandiri, kreatif, dan produktif; (2) proses konseling harus disesuikan dengan hakikit manusia kepada Sang Pecipta, yakni melaksanakan aktivitas pendampingan terhadap konseli, hendaknya mampu mengembangkan fitrah hidayah manusia melalui upaya membangkitkan kesadaran spiritual ‘menasehati atau mengingatkan’ terhadap konseli, agar memiliki kemampuan secara sungguh-sungguh dalam menuju-Nya, untuk menggapai pintu hidayah dan petunjuk-Nya. Sehingga konseli akan pandai mengambil hikmah dari semua aspek kehidupannya, baik dalam keadaan nikmat maupun ujian melalui perwujudan rasa syukur. Amaliyah ibadah menjadi sarana Ibadah dan sebagai wujud kecintaannya kepada Allah swt. agar lebih dekat dengan Sang Maha Pecipta Allah swt.; (3) pelaksanaan konseling seyogianya dimulai dengan membaca Kalam Allah  Swt. ‘Bismillah’, dan diakhiri dengan untaian kata  ‘alhamdulillah wa syukurillah’. Dan jika memungkinan pilihlah tempat-tempat yang suci bukan tempat yang tergolong maksiat. Dengan pertimbangan, bahwa di tempat-tempat yang suci didalamnya ada Nur Ilahiah berserta para Malaikat-Nya, rahmat Allah, petunjuk Allah, yang memancarkan kedamaian yang hakiki.
d.      Prosedur Konseling
Prosedur konseling mencakup: Pertama tahapan pelaksanaan kegiatan, meliputi tahap awal (taaruf), tahap penerimaan (tafahun), tahap keseimbangan (taawun), tahap intervensi (takaful) dan tahap akhir (berdo’a dan bertawakal).
Kedua teknik konseling, yang terdiri atas konseling amaliyah ibadah dan konseling aplikasi sholat khusyu. Pelaksanaan konseling amaliyah ibadah diberikan pemahanan tentang hikmah wudu, hikmah sabar, hikmah sabar, hikmah sabar, hikmah syukur, hikmah dzikir, hikmah doa dan hikmah membaca alquran. Pada pelaksanaan konseling aplikasi sholat khusyu diarahkan untuk membantu membangkitkan kesadaran spiritual konseli agar mendapatkan makna dan hikmah dari sholat yang ditegagkannya. Konseling yang diberikan dengan mengarahkan keseimbangan sinergi akal dan ruh yang diberikan melalui metode relaksasi jiwa dan tubuh, serta pikiran dan hati dengan fokus pada zikir (ingat kepada Sang Pecipta) disertai dengan totalitas kepasrahan diri “terapi pasrah diri” hanya kepada-Nya, bahwa tubuh ini bukan yang utama, yang utama adalah apa yang ditiupkan Sang Pecipta yaitu ruh sehingga konseli dapat menyadari keberadaan ruh yang ada di tubuh. Pada akhirnya konseli dapat mencapai relaksasi secara fisikologis yang secara otomatis dapat meraih ketenangan jiwa.
Ketiga startegi pelaksanaan konseling terdiri atas : (a) konseling individu; (b) konseling keluarga; dan (c) konseling kelompok.
Keempat metode kegiatan konseling dilaksanakan dengan metode keteladanan, metode penyadaran dan metode penalaran logis.
e.       Penilaian Keberhasilan Pelaksanaan Konseling
Penilaian yang ditekankan di sini ialah konseli menunjukan perubahan perilaku dengan akhlak mulia “akhlakul karimah” dalam kehidupannya, yang ditunjukan tidak relapse, berani mengatakan tidak terhadap NAPZA, hidup sehat dan aras tanpa NAPZA memiliki kematangan kepribadian dengan kecerdasan yang seimbang antara intelektual, emosi, mental, dan spiritual. Dengan perkataan lain adanya kelerasan pada perkembangan kemampuan bio-psiko-sosio dan spiritual selama menjalani pemulihan.

Pembahasan
 Dengan melaksanakan amaliyah ibadah dalam aktivitas kehidupan sehari-hari  yang disertai dengan ketaqwaan dan keimanan yang baik, benar dan kokoh telah menjadi perekat, penguat dan pondasi bagi pecandu NAPZA selama menjalani pemulihan untuk mengatasi kemungkinan akan terjadi relapse, yang disebabkan organ tubuh pecandu telah tertanam efek dari kecanduannya yang berpengaruh terhadap sistem batang otak atau saraf belakang, dan bilama muncul perubahan yang drastis dalam hidupnya dan tidak mampu mengendalikannya sehingga menyebabkan stress dengan kegalauan akan memicu timbulnya sugesti (craving) atau hasrat ingin memakai kembali NAPZA untuk mengalalihkan konsentrasi pikirannya kepada perasaan yang menjadi pencetus relapse.
Implikasi “Konseling Amaliyah Ibadah” untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA, dengan merujuk pada tuntunan Ilahiah dan Rosulullah akan membuka fitrah manusia, dengan menyebarkan cahaya, daya hidup, kesucian dan menyebarkan pintu-pintu kebaikan bagi seluruh penghuni bumi serta keberkahan hidup yang luas, disertai petunjuk-Nya dan cahaya Ilahiah ‘bersinar’ tidak pernah redup bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Pada  akhirnya dengan mampu menyingkapi hikmah di balik seluruh aktivitas ketaatan dan amalan ibadah yang dilakukan secara baik dan benar yang berdasarkan tuntunan cahaya Ilahiah, akan mampu menghantar pecandu NAPZA pada kepribadian berakhlak mulia, dan terciptanya keselaran jasmani dan rohani untuk mencapai kesempurnaan menurut pandangan Allah swt. Dengan perkataan lain pecandu NAPZA akan berusaha menunjukan perilaku hidup sehat tanpa NAPZA dan hidup produktif, dengan berperilaku dan beraktivitas sesuai dengan perintah-perintah oleh-Nya dan berusaha meninggalkan larangan-larangan oleh-Nya selama menjalani pemulihan.
Selanjutnya pencapaian esensi dan impilkasi pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA dengan konseling aplikasi sholat khusyu. Penemuan empirik menunjukan, bahwa pecandu NAPZA memiliki kesadaran spiritual yang kuat untuk menegagkan sholat secara khusyu mampu melahirkan keimanan dan ketakwaan lebih stabil pada diri pecandu. Pecandu NAPZA menjadi lebih mengenal dirinya yang secara langsung berimplikasi terhadap perilaku ketundukan dan kepatuhan kepada Sang Pecinta-Nya. Sehingga terlahir kemampuan untuk mengubah pemahaman terhadap dirinya menjadi optimis dan energik, yang ditunjukan dengan sikap lebih lembut/sopan dan tawadlu, menjadi hamba yang pandai bersyukur, percaya diri, lebih sanggup bersabar dalam menghadapi berbagai beban persoalan kehidupan, dan terciptanya kesadaran ingin lebih banyak tahu “ilmu/pengetahuan” tentang kajian nilai-nilai Islam, serta terciptanya ketenangan yang diliputi perasaan bahagia. Dengan kondisi tersebut akan lebih mudah bagi pecandu NAPZA untuk mencapai perkembangan kemampuan bio-psiko-sosio-spiritual bagi pemulihannya, karena dengan memiliki kekuatan keimanan dan kesadaran spiritual yang kokoh dapat dijadikan perekat, penguat, dan pondasi bagi terwujudnya keberhasilan selama menjalani pemulihan sebagai beban berat dalam hidupnya dan perjalanan yang sangat panjang dan tidak berahir dan baru berahir ketika kematian menjemputnya.
Selanjutnya “konseling aplikasi sholat khusyu” berdasarkan hasil tes hormon kortisol tersebut hasilnya cukup berpengaruh terhadap kondisi kadar kortisol dalam darah, yang menghantarkan pikiran lebih tenang, kondisi fisik lebih kendur atau badan terasa enteng. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis partisipan, yang ditunjukkan bahwa kondisi dirinya jauh lebih rileks, yang menjadi shalat menjadi tumaninah dan dapat memasuki, menerima atau mendapatkan rasa khusyu dalam sholat menjadi lebih mudah. Dengan sholat khusyu pun kesehatan lahir menjadi lebih baik. Dengan benar-benar sholat ‘khusyu’ akan menghantarkan pecandu NAPZA pada perolehan kesehatan yang paripurna, dan dapat merasakan ketenagan jiwa, karena pecandu mampu menjalin hubungan baik dengan Allah yang langgeng dalam shalatnya “ .....(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS. Ar-Ra’d: 28)
Selanjutnya hikmah sholat khusyu cukup berpengaruh pada kepribadian pelakunya, yang ditunjukan dengan sikap tenang, dan mampu menghindari kondisi terburuk dalam menghadapi berbagai tekanan dalam kehidupannya. Adapun implikasi “konseling amaliyah ibadah”, akan mewujudkan sikap dan perilaku dalam wujud “akhlak mulia”. Dengan shalat menghantarkan pecandu NAPZA pada pribadi dengan akhlak Islami, sehingga dengan sholat - nya akan mampu menghantarkan menjadi perilaku dengan ahlak mulia , “innash shalatan tanha a’anil fahsya i’wal mungkar”. Karena dengan sholat Rahmat dan Anugera Allah swt (kelembutan-Nya) menjadi terbuka bagi pencerahan dirinya dalam menemukan kebahagian dan makna dari kehidupan.
Pada akhirnya dengan ‘konseling aplikasi sholat khusyu’ untuk mengembangan hikmah ibadah  bagi pemulihan pecandu NAPZA, akan berpengaruh terhadap upaya-upaya kepulihan dengan kondisi bio-psiko-sosio-spiritual yang dirasakan jauh lebih baik, sehingga pecandu NAPZA dapat kembali melaksanakan keberfungsian secara lebih optimum juga dapat meraih kebahagian yang hakiki.

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan penilitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, secara keseluruhan tujuan penelitian telah dicapai dengan ditemukan rumusan pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan bio-psiko-sosio-spiritual pecandu NAPZA di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putra Lembang Bandung.
Kedua, pecandu NAPZA mampu mengenal dirinya dan hubungannya dengan Maha Pecipta (Allah swt.); mampu mencapai keselarasan empat dimensi pilar kesehatan secara holistik, yaitu agama/spiritual, organo-biologik, psiko, dan sosial secara optimal; berkembangnya kematangan kecerdasan yang seimbang antara intelektual, emosi, mental, dan spiritual; terwujud dalam perilaku ahlak mulia. Kondisi ini sangat diperlukan sebagai perekat, penguat, dan pondasi bagi pecandu dalam mengendalikan relapse, sehingga mampu meraih kebahagian yang hakiki.
Ketiga, menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam menumbuh kembangkan dan membangkitkan kesadaran spiritual dengan kondisi piskologis yang lebih relaks, keadaan ini ditujukan oleh salah satu hormon kortisol yang ada dalam tubuh pecandu NAPZA. Hormon kortisol tugasnya adalah mengatur parameter stres dan mengukur kondisi relaksasi secara psikologis terhadap ketenangan jiwa yang berpengaruh terhadap tingkah laku dan emosi. Hasil laboratorium menunjukkan kadar hormon kortisol serum pagi berada pada posisi normal, yaitu 8–15, bila mangacu pada nilai rujukan ideal 5–25.  Dengan kondisi ini pecandu mampu menata jiwanya dalam mengelola persoalan pada kondisi psikologis yang jauh lebih tenang.
 Keempat, konseling aplikasi sholat khusyuk menunjukkan hasil yang cukup signifikan terhadap kematangan kepribadian yang mencakup tatanan bio-psiko-sosio-spiritual. Aspek bio, pecandu menunjukan dan merasakan badannya terasa lebih enteng dan menjadi lebih sehat. Aspek psiko, pecandu merasakan hatinya lapang, menunjukan sikap lebih tenang dengan emosional yang lebih stabil. Pada aspek sosial pecandu menujukan sikap lebih arif dan bijak serta tidak egois. Adapun aspek spiritual, pecandu merasakan ada perubahan dalam sikap dan perilaku untuk lebih taat pada Allah Swt. disertai kepasrahan total kepada kehendak-Nya. Adapun implikasi berdampak terhadap perubahan keadaan jiwa dan perilaku yang mengantarkan pecandu menjadi pribadi berakhlak mulia. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya sholat memiliki kekuatan mengubah perilaku manusia dari perbuatan keji dan mungkar” (Q.S. Al-Ankabuut: 45).
Kelima, Pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan pecandu NAPZA terbukti efektif membawa pecandu NAPZA ke arah kebenaran yang hakiki (al-haq) dan kemenangan yang abadi (al-falah), serta menghindarkan diri dari kerugian yang hakiki (al-khusran) di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Pecandu NAPZA pun mampu menapaki perjalanan spiritual untuk meraih mutiara-mutiara hikmah yang penuh makna dalam meraih kebahagian hidup yang hakiki.
Saran penelitian ditujukan kepada berbagai pihak berikut. Pertama, Departemen Sosial RI. sebagai instansi pemerintah yang memiliki kewenangan strategis, sudah saatnya meluncurkan model penanganan pemulihan bagi pecandu NAPZA yang berbasis Islami, secara holistik, komprehensif, berencana, dan berkelanjutan melalui pengembangan model yang mampu membangun individu (pecandu NAPZA) pada fitrahnya yang diciptakan sebagai ‘makluk tauhid’, sehingga dapat menghantarkan pecandu NAPZA pada kebahagian yang sejati saat ini di dunia dan kelak di akhirat.
Kedua, Balai Pemulihan atau lembaga-lembaga pemulihan di Indonesia yang mayoritas petugas (konselor) dan pecandu bergama Islam, seyogianya menggunakan konsep kajian konseling Islami dalam menangani pemulihan terhadap pecandu NAPZA.
Ketiga, Konselor (pekerja sosial), seyogianya selalu meningkatan pengetahuan konseling dan pencerahan nilai-nilai keislaman secara lebih mendalam yang meliputi nilai-nilai akidah, syariah, dan akhlak sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan hadist Rasul secara berkesinambungan. Hal ini diikuti dengan aktualisasi atau pengamalan nilai-nilai keimanan dan ketakwaannya dalam kehidupan sehari-hari, disertai kepribadian sebagai seorang muslim ‘ahklakul karimah’, sehingga mampu menjadi teladan yang baik bagi konseli yang dibimbingnya.
Keempat, peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji lebih mendalam lagi, sehingga pendekatan konseling spiritual untuk mengembangkan hikmah ibadah bagi pemulihan bio-psiko-sosio-spiritual pecandu NAPZA dapat dijadikan model konseling yang baku untuk menangani pumulihan terhadap pecandu NAPZA.


Daftar Rujukan

Alquran dan Terjemahan, (2007). Bandung: PT Syaamil Cipta Media.
Gorski, T. (2001). Modern Alcohol and Drug Out Patient Treatment: An Overview of The Recovery Process. TLC. The Living Centre Available online at: http://.tletx.com/ar pages/recovery overview.htm.
Hawari, Dadang. (2004). Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa
Najati, Utsman. (2005). Psikologi Dalam Al-Quran: Terapi Al-Quran Dalam Penyembuhan Gangguan Jiwa. Bandung: Pustaka Setia
Natawijaya, Rochman. (2008). Integritas Pribadi dan Karya Pendidikan, Penelitian, Bimbingan dan Konseling dalam Dimensi Kesejagatan. Bandung: UPI
Nashir, Mohammad. (1995). Al-Hikmah. Bandung: Pustaka Hidayah
Noor, Saper. (2006). Isu-Isu Kounseling Perspektif Islam. Kuala Lumpur: Pustaka Salam
Yusuf, Syamsu, L.N. (2007). Konseling Spiritual Theistik (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Pendidikan Bidang Bimbingan dan Konseling pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: UPI



________________________

Biodata  Penulis :

*)  Cucu Maesaroh: Sarjana Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, dan memperoleh gelar Magister Sosiologi dari Program Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, serta  Promovendus pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.  Saat ini menjabat sebagai Pekerja Sosial pada Departemen Sosial RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar